JAMPRIBADI

Minggu, 11 April 2010

100 Tahun Kebangkitan Nasional

Sumber: Kompas tahun Mei 2008

100 Tahun Kebangkitan Nasional Indonesia

“pemerintah colonial Belanda mempunyai pangilan moral terhadap kaum pribumi Hindia Belanda”

Dalam pidatonya September 1901, ratu Wilhelmina secara tegas menyampaikan, pemerintahan colonial Belanda mempunyai pangilan moral terhadp kaum pribumi Hindia Belanda . Orasi Ratu Belanda dalam sidang pembukaan parlemen itu keudian disepakati sebagai momentum kelahiran faham atau aliran etis dalam kancah politik Kolonial Belanda.

Banyak pihak meyakini bahwa Ratu Wilhelmina mendapatkan inspirasi bagi pidatonya itu dari puisi “The White Man’s Burden” karya sastrawan Inggris Rudyard Kipling, yang dipublikasikan untuk pertama kali dua tahun sebelumnya.

The White Man’s Burden merupakan percikan permenungan Kipling atas nasib rakyat Filipina di tengah perang antara Amerika Serikat dengan Spanyol 1898, untuk memperebutkan negeri mereka. Pesan yang ingin disampaikan Kipling lewat syair tujuh bait adalah bangsa-bangsa Barat memikul tugas yang suci untuk mensejahterakan dan mengangkat derajat bangsa jajahanya diseluruh muka bumi.

Meskipun tidak sama sekali, puisi Kipling setidaknya bukan satu-satunya mataair inspirasi ratu Wilhelmina. Sebelum “The White Man’s Burden” diterbitkan dalam majalah McClure’s pada 1899, sejumlah pejabat pemerintahan, politisi, cendekiawan dan sastrawan Belanda telah mewacanakan gagasan itu.

Tunas pertama gagasan Etis di Belanda muncul dari Pieter Brooshooft (1845-1921), ia adalah seorang wartawan yang dikenal kritis pada masanya terhadap pemerintahan dan masyarakat Belanda.Seperti disebutkan sastrawan Indo-Belanda, Rob Nieuwenhuys dalam buku Oost Indische Spiegel (Cermin Hindia Belanda), antara 1883 dan 1884, Brooshooft menulis karangan sindiran yang menyoroti sikap masa bodoh warga Eropa di Hindia Belanda saat terjadi wabah kolera yang banyak menewaskan warga pribumi. Mereka baru peduli setelah terdapat warga kulit putih yang ikut menajdi korban penyakit tropis tersebut.

Pada 1887, Brooshooft juga melakukan perjalanan keliling pulau Jawa dan terkejut setelah melihat kondisi kehidupan kaum pribumi. Ia kemudin menyampaikan imbauan kepada 12 tokoh terkemuka Belanda untuk memahami dan memperhatikan keadaan yang sangat menyedihkan di Hindia Belanda yang terjadi akibat kebijakan pemerintah Den Haag.

Namun, diantara para tokoh Etissis, tak dapat disangkal Theodore Van Deventer (1857-1915) adalah yang paling dikenal dan berpengaruh di Belanda. Van Deventer adalah seorang praktisi hokum di Hindia Belanda yang kemudian menjadi politisi di Belanda. Saat masih menajdi penasehat hukum di berbagai perusahaan swasta di Hindia Belanda, van Deventer pernah menulis surat kepada orang tuanya. Di sana ia bilang harus dilalakukan sesuatu bagi kaum pribumi , jika tidak suatu hari nanti bendongan akan jebol dan lautan manusia akan menelan kita semua. Seperti tertulis dalam surat tertanggal 30 April 1886.

Beberapa tahun kemudian van Deventer membuat karangan yang terkenal dan diterbitkan dalam majalah De Gids (Panduan) pada 1899. Dalam tulisan yang berjudul Een Erschuld (utang budi) itu, ia menjelaskan bahwa Nederland menajdi Negara makmur dan aman karena adanya dana yang mengalir dari tanah jajahan di Hindia Belanda dan Asia Tenggara. Jadi sudah sepantasnya Belanda mengembalikanya.

Dalam tulisan itu van Deventer yang kemudian menjadi anggota parlemen dari Partai Liberal, bahkan mendesak untuk dikembalikanya seluruh dana hasil keuntungan yang diraup pemerintah Den Haag Dari Hindia Timur sejak 1867.

Balas Budi Setengah Hati

Meskipun politik Etis difatwakan langsung oleh Ratu Wilhelmina, Belanda tidak sampai menterjemahkan politik Etis ke dalam kebijakan colonial yang dilaksanakan secara konsekuen. Gagasan itu juga tidak mengakar secara luas dalam masyarakat Belanda di Hindia Belanda. Di negeri jajahan yang kemudian bernama Indonesia itu, paham Etis hanya dipahami sekelompok kecil pejabat, cendekiawan, sastrawan, dan wartawan yang meskipun jumlahnya kecil tetapi memiliki pengaruh yang besar.

Padahal Paham Etis sempat menjadi wacana politik yang hangat,. Seperti diungkap sejarawan Inggris DGE Hall dalam bukunya Sejarah Asia Tenggara (1988), politisi sosialis di parlemen belanda bahkan menajdikanya sebagai titik tolak untuk menyampaikan doktrin “ Pemerintah Hindia untuk Hindia” yang berisi gagasan untuk memberikan otonomi bagi Hindia Belanda.

Dalam buku Nieuwenhuys diatas, dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dick Hartono., disebutkan dalam prakteknya, haluan Etis hanya menghasilkan perbaikan system persekolahan dan sejumlah usaha lain yang dilakukan secara hati-hatiuntuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Pribumi. Pembangunan sarana irigasi, pendirian bank perkreditan rakyat, dan pengucuran bagi industri kerajinan rakyat adalah beberapa diantaranya.

Meski lewat politik Etis kaum pribumi mempunyai peluang lebih besar menikmati berbagai fasilitas ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, hal itu sama sekali tidak bertujuan untuk benar-benar mensejahterakan rakyat Hindia Belanda. Pendidikan yang ditujukan bagi kaum pribumi hanyalah bertujuan untuk menghasilkan tenaga birokrat rendahan dalam struktur pemerintah colonial. Politik Etis tidak lebih dari sekedar politik Balas budi setengah hati.

Faktor Eksternal

Bagaimanapun, paham politik Etis dalam berbagai kemajuan bagi kaum bumiputera yang dibawanya merupakan masa mulai memudarnya paham kolonialisme dan kekuasaan Belanda yang menyengsarakan. Kian terbukanya kesempatan bagi putera-puteri Indonesia untuk mengenyam pendidikan menengah dan tinggi, termasuk di STOVIA ( Tot Opleiding van Inslandsche Artsen/ Sekolah Kedokteran Bumi putera), yang sudah berdiri sejak 1898 tak hanya menghasilkan pemuda Indonesia yang berilmu, tetapi juga berwawasan luas dan sadar politik.

Meskipun tak dimaksud demikian, munculnya paham politik Etis merupakan factor internal Hindia Belanda yang memicu lahirnya kesadaran kebangsaan.

Kalau saja muncul paham Etis tak pernah muncul di Belanda, juga jika peristiwa internasional yang berdampak luas diatas tak pernah terjadi , mungkin tak akan lahir pula Dr Wahidin Sudiro Husodo, dan Dr Soetomo tokoh pendiri Boedi Oetomo, organisasi pergerakan Indonesia yang pertama, yang berdiri pada 20 Mei 1908, dan sampai sekarang disepakati sebagai hari Kebangkitan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar