JAMPRIBADI

Minggu, 11 April 2010

Unsur-unsur yang berbau feodal mana yang saat ini tidak cocok dalam kehidupan seorang birokrat yang demokratis masih tetap dipertahankan walaupun telah menjadi issue sentral untuk dikecam, yang diuraikan oleh Suhartono W, dalam bukunya “Serpihan Budaya Feodal”.

Feodal merupakan pola kekuasaan dengan pemilik tanah sebagai pemegang kekuasaan. Budaya feudal di Indonesia berlangsung sejak masa kerajaan sampai dengan masuknya pengaruh birokrasi yang berlandaskan legal rasional. Dengan kata lain bahwa budaya feodal adalah fragmentasi dari budaya nusantara secara keseluruhan yang menguntungkan pihak penguasa, sebaliknya rakyat mengalami penndasan dan terpinggirkan karena tanah yang menjadi dasar penentuan status seseorang tidak mereka punya. serpihan budaya feodal ini telah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi terutama oleh elit atas. Pihak-pihak yang mempunyai kepentingan memanfaatkan mengambil keuntungan dan melestarikannya tanpa memperhatikan dampak-dampaknya yang menyulitkan rakyat kecil. Rakyat kecil tidak lebih sebagai pelengkap penderitaan karena terakumulasinya kekuasaan ditangan penguasa dan keluarganya. Bebagai bentuk dari serpihan budaya feudal yang sampai saat ini masih kita temui dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah.

a) Symbol bahwa pihak elit feudal harus dihormati, sehingga rakyat kecil harus setia dan patuh terhadap segela kebijakan yang telah ditetapkan oleh para penguasa feudal. Perilaku dan simbol-simbol ini selalu disesuaikan dengan kedudukannya. Semakin tinggi jabatan seseorang maka simbolisme yang dipakai baik dalam pakaian, perabot rumah tangga, maupun juga gaya hidup juga harus tinggi. Konsekuensinya adalah penyesuaian kedudukan dan atribut yang dikenakan mengarah makin meningginya gaya hidup yang serba gemerlap. Pesta pora yang menciptakan biaya hidup tinggi untuk menghasilkan imbalan social politik. Biaya untuk hidup gemerlap itu berasal dari pajak-pajak yang biasanya diperoleh dari rakyat. Sikap ini merupakan perwujudan sikap yang hanya mementingkan kepentingan diri dan keluarganya saja, sementara kepentngan rakyat ditindas dan diperas. Budaya ini sampai sekarang masih dipertahankan oleh segelintir orang terutama orang yang masih mempunyai pengaruh atau kekuasaan dalam masyarakat. Namun pengaruh pendidikan yang tinggi dan teknologi yang semakin modern menjadikan budaya feudal seperti yang diungkapkan diatas tersebut mulai tidak berlaku.

b) Budaya yang hanya berorientasi pada kesenangan penguasa.

Budaya ini menunjuk pada sikap dan tingkah laku masyarakat yang berorientasi ke atas dan selalu menyembah ke atas, sebaliknya ia menyepak ke samping dan ke bawah ke masyarakat yang lebih rendah. Sikap dan tingkah laku ini terjadi karena berlakunya struktur feodal. Tipe budaya seperti ini adalah budaya yang mengharuskan dirinya jangan sampai melakukan kesalahan meskipun harus melakukan pembohongan dan mengorbankan kepentingan rakyat. Budaya seperti ini pada masa-masa sekarang lebih dikenal dengan budaya asal bapak senang. Birokrasi adalah sistem pemerintahan melalui mekanisme kontrol yang ketat, lewat aparatur-aparatur di setiap meja dan kantor. Urusan tidak akan selesai dalam satu meja saja tetapi berlangsung lewat meja yang sangat panjang. Kesannya birokrasi ini berbelit-belit dan membosankan. Maka ada kiat untuk mengatasi panjangnya perjalanan demokrasi ini dengan potong kompas. Yaitu dengan menembak puncak birokrasi caranya yaitu dengan menggunakan suap atau hal sejenis lainnya. Sebab dengan menguasai birokrasi tertinggi berarti aparatur di bawahnya tinggal mengikuti yang ada di atasnya. Di dalam birokrasi itu sendiri diciptakan sistem yang secara tidak sengaja yang memberi umpan birokrasi atasannya yaitu berbuat agar menyenangkan para birokrat baik secara resmi maupun pribadi. Budaya seperti ini masih sangat nampak pada kehidupan dewasa ini yaitu mempermudah segala urusan dengan menyenangkan pihak atas, tanpa ada upaya untuk meningkatkan kemampuan pribadinya. Tentu saja apabila hal ini tetap dipertahankan maka kebobrokan birokrasi akan semakin terlihat.

c) Lungguh dan lurah tetap memegang posisi sentral.

Peran lurah penting sekali dalam konteks operasionalnya. Lungguh merupakan asset yang tetap tinggi nilainya. Sedangkn lurah adalah pemberi bentuk dan pengembang asset. Lungguh dapat disamakan nilainya dengan tanah. Tanah mempunyai fungsi vital baik di pedesaan maupun perkotaan. Secara spasial pembangunan di perkotaan dan pedesaan memerlukan tanah. Di pedesaan lurah sebagai pemilik lungguh dapat memanipulasi dinamika lungguh dalam pembangunan pedesaan. Baik lungguh maupun lurah saling terkait khususnya dalam pengerahan masa untuk berbagai kepentingan. Peran lurah sangat efektif dan menjadi ujung tobak setiap persoalan yang berkaitan dengan masa.

d) Budaya pajak dan upeti.

Budaya pajak atau upeti adalah warisan dari budaya feudal masa kerajaan yang kemudian diadopsi oleh pemerintah kolonial. Penyerahan pajak dan upeti ini sepenuhnya untuk kepentingan penguasa tanpa ada timbal balik pada rakyat. Budaya pajak dan upeti ini biasanya dalam wujud paksaan, baik dalam bentuk maupun besarannya tanpa melihat kemampuan rakyat yang mereka kenai pajak atau upeti tersebut, sehingga aspek keadilan tidak ada dalam budaya ini. Budaya ini pada masa-masa kerajaan dan colonial sebenarnya sangat memberatkan rakyat kecil karena beban yang merek tanggung menjadi semakin besar. Budaya pajak dan upeti serta sumbangan dari pejabat bawahan kepada atasan memancarkan hubungan antara pemberi dan penerima sehingga merupakan hubungan yang serasi.

Tanpa pemberian pajak, upeti, hadiah, maka kehidupan berokrasi tidak akan marak. Tidak dapat dipungkiri bahwa upeti merupakan salah satu masukan bagi birokrat dan akan memperkaya birokrat sendiri. dengan upeti ia akan mampu menerobos rambu-rambu dan dengan memberi lampu hijau maka berokrat akan mengijinkan berbagai kepentingan menyimpang yang sebelumnya dilarang. Langkah jalan pintas ini akan mempercepat langkah-langkahnya agar cepat sampai tujuan. Namun jalan pintas ini sangat menyesatkan karena tidak meberi isi pada tingkah laku yang utuh yang dapat dipertanggung jawabkan.

Lebih lanjut mengenai budaya upeti, pemimpin yang melakukan extended taxes yang diperluas sebab hampir setiap kegiatan mendapatkan upeti atau sumbangan. Upeti pada dasarnya merupakan pajak okasional yang harus diberikan pada para pimpinan. Yaitu para patron mempunyai hajat besar atau hajat kecil dengan nilai yang fleksibel. Hal ini dimaksudkan agar menyenangkan para patron dengan berpartisipasi memberi sumbangan yang diperlukan untuk hajatan. Implikasi psikologis pemberian upeti adalah suatu usaha untuk menjaga hubungan agar tetap kekal. Hubungan psikologis ini dimaksudkan mampu memecahkan masalah ekonomi politis, sehinga pembayaran upeti ini tetap dilakukan meskipun klien dalam keadaan kurang siap.

e) Marknya aksi suap di kalangan birokrat.

Penyuapan secara umum dapat diartikan sebagai upaya mempermudah dalam mendapatkan sesuatu tanpa melakukan suatu tata aturan atau birokrasi yang sesuai dengan apa yang telah diatur. Penyuapan dengan berbagai bentuk; uang, barang-barang kesukaan patron oleh klien. Akibatnya patron akan semakin kaya, dan kekayaan ini jelas merupakan bentuk manipulasi feodal lewat pembayaran suap. Biasanya penyuapan ini digunakan untuk mengekalkan hubungan politis dengan lancar dan damai, biasanya patron akan mengadakan hubungan perkawinan dengan penguasa. Bawahan akan mengekalkan pemerintahan dan mencegah timbulnya perlawanan. ikatan perkawinan jelas akan memasukkan salah satu kelompok ke dalam inner group dan ada dalam political linkage. Budaya suap ini sampai sekarang marak dalam birokrasi di Indonesia. Untuk mempermudah tujuan mereka rela mengeluarkan banyak uang, suap sekarang marak dalam tes-tes Pagawai Negeri Sipil atau suap-suap dikalangan elit birokrat negara terkait dengan berbagai skandal korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar