JAMPRIBADI

Kamis, 11 November 2010

Peranan Perempuan masa Orla

PERANAN PEREMPUAN INDONESIA DALAM PERPOLITIKAN INDONESIA MASA ORDE LAMA
Oleh : Ana Ngatiyono
Abstract

Struggle of Indonesian nation to reach for the independence and or fill the independence cannot be discharged from level of role of Indonesia woman. Woman Existence in nationality movement have the long history and role which signifikan for growth of nation progress. But this woman role sometimes like assumed don’t too having an effect on and trifled by residing is though seen from its fact a lot of struggle in physical conducted by girls in opponent colonialism. At growth hereinafter progresifitas of woman movement in Indonesia mirror from awareness to develop;build the modern organization as movement bases. So that don’t surprise hotly they are a lot of club woman standing at a period of Old Order like Gerwani, Perwari, Aisyah, Wanita Katolik, Bhayangkari, etc. Organization standing to have the immeasurable pattern, vision, and or target which is fought for. From various all important the difference big role from organization of mentioned in filling independence and struggle through its own way in order to fighting for its rights.
Keyword : Woman, movement, Old Order, and Woman Organization
A. Pendahuluan
Peranan perempuan di Indonesia sudah dimulai sebelum Indonesia meraih kemerdekaanaya. Meskipun hanya terbatas pada aspek yang tertentu, tetapi dapat dijadikan sebagai tonggak awal semakin besarnya peranan perempuan Indonesia dalam pembangunan bangsa. Gerakan perempuan di Indonesia sudah mulai muncul pada akhir abad 19. R.A Kartini adalah salah satu tokoh terkemuka perempuan yang ikut berjuang demi kepentingan kaum perempuan pada masanya. Pekembangan perjuangan perempuan ini adalah akibat pengaruh dari politik etis yang telah membuat sadar betapa nasib perempuan Indonesia masih sangat terbelakang atau kedudukanya hanya sekedar teman belakang yang tugasnya tidak lapas dari melayani suami dan mengasuh anak atau lebih dikenal dengan istilah Jawa “konco wingking”. Kedudukan perempuan seperti ini sudah biasa pada masa penjajahan karena wanita Indonesia seperti terkungkung di dalam budaya feodalisme . Pengaruh warisan cita-cita Kartini untuk emansipasi wanita berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya, dan perhatian kaumnya, pada periode kebangkitan dan kesadaran nasional ini mulai juga untuk meningkatkan perjuangan wanita.
Selanjutnya muncul tokoh wanita generasi Kartini berikutnya yaitu Dewi Sartika. Perjuanganya yakni pengajaran bagi kaum perempuan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan derajat kaum perempuan pada masa itu yang tidak pernah diakui dan juga untuk meningkatkan kecakapan bagi kaum ibu. Dengan meningkatnya perjuangan wanita Indonesia untuk memperbaiki nasib, akhirnya didirikan organisasi wanita pertama pada tahun 1912 di Jakarta bernama “Putri Mardika”. Selanjutnya di Jawa didirikan Kartini Fonds yaitu beasiswa untuk mendirikan sekolah Kartini di seluruh pulau Jawa. Selain itu, masih banyak berdiri organisasi-organisasi wanita lainya di luar Jawa dan di daerah-daerah yang tujuanya tidak lain hanya untuk meningkatkan pendidikan bagi kaum wanita dan menuntut persamaan dengan kaum pria. Pada perkembanganya organisasi perempuan di Indonesia berdiri dengan dasar dan tujuan yang beragam, misalnya organisasi perempuan dengan basis agama ataupun organisasi perempuan dengan tujuan politik dan perjuangan kemerdekaan.
Organisasi-oraganisasi wanita tersebut dibangun untuk mewujudkan tercapainya hak-hak perempuan dan mengejar emancipatie kaum ibu Indonesia yang sejak dahulu tertindas oleh budaya patriarkhy masyarakat Indonesia. Oleh karena itulah, wanita Indonesia dari waktu ke waktu selalu meluaskan lapang pergerakanya, untuk mengejar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dan mengejar hak perempuan sebagai bangsa. Kedudukan antara laki-laki dan perempuan sama halnya seperti dua sayap seekor burung yang apabila dua sayap tersebut dibuat sama kuatnya, maka tidak heran apabila akan meraih cita-cita dan kemajuan setingi-tinginya. Perumpamaan ini bermakna untuk tuntutan agar dibuka pintu seluas-luasnya bagi perempuan Indonesia dalam upaya menuntut persamaan hak dan persamaan derajat bagi dirinya .
Kaum kolot yang masih mengagung-agungkan sistem feodalisme dan ideologi patriarki menjadi terheran-heran ketika mendengar semboyan dari salah satu organisasi perempuan Indonesia yakni Marhaeni Bandung yang menyatakan bahwa “ Kita tidak sudi ekonomi-ekonomian atau sosial-sosialan sahadja, kita tidak mendirikan perhimpunan sendiri, kita duduk dalam satu organisasi politik dengan kaum laki-laki , kita menjalankan aksi masa dengan kaum laki-laki itu!” . Hal ini menjadi gebrakan baru dalam perpolitikan Indonesia bahwa perempuan yang sekian lama hanya dianggap sebagai pelengkap saja kini sudah berkembang bahkan berpartisipasi dalam kegiatan politik negara. Perjuangan Marhaeni bandung ini selanjutnya berpengaruh besar terhadap gigihnya perjuangan wanita Indonesia dan buktinya yaitu semakin banyaknya berdiri organisasi-organisasi perempuan (misalnya Gerwani, Perwari, Wanita Katholik, Aisyah, HMI Wati, Maupun Bhayangkari) , dan membangkitkan organisasi perempuan tersebut dalam perjuanganya melawan kaum laki-laki. Mereka menganggap bahwa kaum laki-laki adalah musuh dan sebagai saingan yang sombong. Oleh karenanya perjuangan ini dilakukan dengan sangat gigih, meskipun mendapat banyak pertentangan dari kaum laki-laki.
A. Peranan Wanita Indonesia Masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1950)
Dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah membuka harapan dan lembaran baru perjuangan bangsa Indonesia, yakni bukan lagi untuk merebut kemerdekaan tetapi bagaimana bangsa Indonesia mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang telah dicapai dengan sebaik-baiknya. Perubahan arah perjuangan ini juga berlaku bagi perjuangan wanita Indonesia. Dengan kata lain, perjuangan memepertahankan kemerdekaan tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki saja, ternyata kaum wanita tidak ketinggalan ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Keterlibatan wanita Indonesia ini sebagian besar melalui PMI (Palang Merah Indoneia), dapur umum dan kurir.
Sebagai contoh nyata adalah perjuangan PRIP ( Perjuangan Rakyat Indonesia Putri) Pada tahun 1945-1948. Meskipun perjuangan PRIP dalam bidang pertahanan keamanan tidak begitu terlihat, namun perananya dalam mengobarkan semangat perjuangan harus diakui perananya. Dalam setiap pertempuran, selain persenjataan yang memegang peranan penting, logistik dan bahan makanan juga sangatlah penting. Dalam perjuangan di Front Ambarawa dan Semarang, persediaan logistik ini penting artinya, untuk itu diwujudkan dalam dapur umum. Selain dapur umum, masalah kepalangmerahan juga sangat dirasakan artinya bagi para pejuang. Munculnya istilah dapur umum ini terjadi pada awal proklamasi dan agresi militer Belanda I dan II. Dapur umum ini berarti bagian dari rumah atau tempat untuk kegiatan memasak, pencarian bahan makanan dan pelayanan makanan dan minuman bagi para pejuang. Bahan-bahan makanan biasanya dikumpulkan oleh para anggota PRIP dari dari kampung-kampung sekitar tempat revolusi yaitu sekitar Semarang dan Ambarawa. Selain dari hasil sukarela masyarakat, bahan makanan juga biasanya mendapat dari sumbangan organisasi-organisasi wanita antara lain Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) .
Selain dapur umum, keterlibatan anggota PRIP dalam perjuangan yaitu diwujudkan dalam kepalangmerahan. Pada waktu pertempuran di front Ambarawa dan Semarang mereka mengurusi masalah perawatan dan mengurusi anggota pasukan yang gugur. Di samping sebagai salah satu bentuk partisipasi rakyat terutama para wanita, kepalangmerahan ini juga sebagai bentuk rasa kegotongroyongan, sifat ringan tangan dan saling membantu yang merupakan sifat khas bangsa Indonesia. Obat-obatan yang tersedia pada waktu itu masih sangat sederhanan dan jenisnya belum beragam. Misalnya aspirin, naspro, obat merah, salep, perban, dan pelester. Obat-obatan yang berkaitan dengan kepalangmerahan ini biasanya didapat dari rumah sakit setempat dan juga dari Markas Besar Tentara dan Palang Merah Indonesia. Selain berperan dalam dapur umum dan Palang Merah, wanita Indonesia juga banyak yang berperan sebagai utusan atau kurir yang tugasnya membawa surat-surat penting untuk membawa berita penting dari kota yang bergerilya ke kota lain atau sebaliknya. Untuk menjadi kurir ini tidak semua wanita bisa melakukanya karena tugas yang mnereka ampu sangat sulit dengan resiko yang semakin besar. Biasanya para kurir setelah mengantarkan surat penting dari satu kota, pulangnya membawa keperluan sehari-hari seperti halnya bahan makanan ataupun pakaian dan sebagainya.
Perjuangan PRIP untuk ikut serta aktif di dalam kancah perjuangan nampaknya sangat terdorong oleh semangat revolusi yang besar. Keputusan untuk mendirikan organisasi seperti halnya PRIP ini adalah suatu langkah yang berani apalagi pada waktu itu masih banyak pertentangan kepada wanita untuk melakukan organisasi. Meskipun organisasi ini hanya sebatas dapur umum dan palang merah ataupun perjuangan garis depan dengan nama satu badan perjuangan maupun tergabung dengan organisasi perjuangan yang lain, namum setidaknya organisasi ini ikut berpartisipasi didalam perjuangan bangsa Indonesia masa revolusi.
Dalam kesibukan ikut serta baik dalam kegiatan fisik maupun dalam bidang sosial politik, kaum wanita berbenah diri untuk mengalang persatuan yang kuat. Konggres Wanita yang pertama kali diadakan oleh organisasi wanita setelah proklamasi di Kelaten pada tahun 1945 bertujuan untuk mempersatukan ideologi dan membentuk badan persatuan Wanita Indonesia (PERWANI) dan Wanita Negara Indonesia (WANI) yang dilebur (fusi) menjadi Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI). Pada bulan Februari 1946, lahir Badan Konggres Wanita Indonesia (KOWANI). Kemudian pada bulan Juni 1946 diselenggarakan konggres wanita Indonesia ke V di Madiun. Sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk menembus blokade ekonomi dan politik, konggres ini memutuskan untuk memulai hubungan dengan luar negeri agar gerakanya lebih diakui oleh dunia dan lebih berperan dalam perjuangan bangsa Indonesia secara umum dan perjuangan nasib perempuan secara khusus. Maka dari itu, Konggres Wanita Indonesia menjadi anggota Women’s International Democratic Federation (WIDF). Selanjutnya Konggres Wanita Indonesia ke VI diadakan di Magelang Jawa Tengah pada bulan Juli 1947. Dalam konggres ini diputuskan bahwa Kowani dipimpin oleh Dewan Pimpinan dan Badan Pekerja dihapuskan. Selanjutnya pada bulan agustus 1948 diselenggarakan Konggres Wanita VII di Solo. Dalam konggres ini lebih menekankan pada upaya menyatukan tenaga dan penyempurnaan organisasi, selain itu juga membantu perjuangan.
Pada waktu pasukan divisi Siliwangi hijrah ke Yogyakarta tahun 1948, sebagai akibat dari perjanjian Renville, Laskar Wanita Indonesia (LASWI) juga ikut hijrah ke Yogyakarta. Di kota Yogyakarta LASWI selalu ikut berperan dalam kegaiatan sosial dan menjadi penitia sosial. Tugas dari panitia sosial ini adalah menyiapkan dapur umum. Ketua panitia sosial ini adalah Ny.Utami Suryadana dan Ny.SY. Arujukartawinata sebagai wakil ketua.
Besarnya peranan wanita Indonesia sangat menonjol di beberapa kota di Indonesia terutama kota Yogyakarta sebagai salah satu basis revolusi. Peran wanita semakin diakui setelah pada tahun 1948, jawatan kepolisisn negara di Yogyakarta untuk pertama kalinya menerima siswa polisi wanita. Dan gagasan ini mendapatkan dukungan penuh dari Kowani sebagai induk dari organisasi wanita di Indonesia. Pada waktu Belanda melancarkan agresi miuliter Belanda II, Polisi Wanita meninggalkan tugasnya sebagai petugas keamanan dan beralih sebagai alat perjuangan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan. Mereka bersama-sama bergabung dengan para tentara dan laskar lainya untuk ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan .
Selain berperan dalam bentuk perjuangan fisik, perjuangan wanita Indonesia juga aktif di dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi wanita. Diantaranya dilaksanakan Permusyawaratan Seluruh Wanita Indonesia pada tanggal 26 Agustus sampai tanggal 2 September 1949. Pihak yang memprakarsai Permusyawaratan Wanita Seluruh Indonesia adalah Kowani yang dihadiri oleh 82 orang orang yang tergabung di dalam organisasi wanita seluruh Republik Indonesia. Panitia Permusyawaratan Wanita Seluruh Indonesia ini diketuai oleh Ny. Burdah Yusupadi dan anggotanya terdiri dari. Ny. Siti Sukaptinah, Sunaryo Mangunpuspito, Ny.Mr. Maria Ulfah Santoso, Ny. Supeni, Ny. S Akhmad Natakusumah, dan Ny. Th. Waladouw. Banyak peserta yang berasal dari luar Jawa harus melalui perjuangan karena harus terlebih dahulu melewati daerah yang masih diduduki oleh Belanda.
Dalam Permusyawaratan Wanita Seluruh Indonesia, diperoleh beberapa keputusan antara lain : a). Tujuan perjuangan wanita yaitu untuk memperjuangkan dan mewujudkan kemerdekaan yang penuh bagi bangsa Indonesia. b). Membentuk badan kontak bersama”Permusyawaratan Wanita Indonesia”, badan ini berkedudukan di Yogyakarta dengan kepenggurusanya sebagai berikut :
Ketua : Ny. Mr Maria Ulfah Santoso
Wakil Ketua : Ny. Artinah Syamsudin yang merangkap sebagai sekertaris.
Bendahara : Ny. Th Walandouw
Pembantu : Ny. Dm Hadiprabowo, Nn. Hariyati, Ny. Burdah, Ny. Supeni
Pujobuntoro, Ny. Aisyiah Hilal, Ny. D Susanto, Ny. Sunaryo Mangunpuspito, Ny. Brotowardoyo, Ny.Mr. Tuti Harahap.
Anggota Badan Kontak Permusyawaratan Wanita Indonesia antara lain Perkiwa, Muslimat, Wanita Taman Siswa, Budi Istri Bandung, Persatuan Wanita Pekalongan, Putri Nortowandowo, PERWARI Pontianak, PERWARI Pangkal Pinang, Partai Wanita Rakyat, PSII bagian wanita, Aisyah, Persatuan Wanita Katholik Indoinesia, Pemuda Putri Indonesia, Persatuan Wanita Kristen Indonesia, Gerakan Wanita Sedar, Putri Budi Sejati, dan lain sebagainya .
Pada dasarnya arah perkembangan organisasi wanita sampai tahun 1950 telah mencangkup beberapa hal. Pertama, sebagai kelanjutan dari kecenderungan pada masa sebelumnya, wawasan dan ruang lingkup perhatian wanita semakin meluas bukan hanya sebatas menangani permasalahan perempuan saja melainkan mereka berpartisipasi aktif dalam perjuangan politik dan pemerintahan agar dapat bersaing dengan pihak pria. Kedua, muncul organisasi-organisasi wanita yang beragam jenis dan tujuanya. Selain orgnisasi yang sudah ada sebelumnya seperti halnya organisasi yang berafiliasi pada partai politik dan organisasi berasaskan agama , muncul pula organisasi khusus pada kalangan tertentu seperti halnya dikalangan istri Angkatan Bersenjata, dan organisasi profesi lainya. Selain itu, dengan tumbuhnya paham-paham demokrasi dalam pemerintahan, kaum wanita berkeinginan untuk mendirikan partai politik wanita yang bertujuan menyalurkan aspirasi wanita sepenuhnya. Ketiga, ruang gerak organisasi wanita semakin meluas, tidak hanya berkutat pada ruang lokal atau kedaerahan serta nasional saja, tetapi gerakanya sudah meluas dikalangan internasional. Hal ini, dapat dibuktikan dengan masuknya Kowani sebagai anggota WIDF. Keempat, sebagai akibat orientasi gerakan yang diambil, kegiatan organisasi wanita semakin beragam. Organisasi wanita ini dipisahkan menjadi dua kelompok besar yakni organisasi wanita yang mendasarkan kegiatanya pada pencampaian kesejahteraan (welfare), antara lain memperhatikan permasalahan pendidikan, wanita, sosial maupun ekonomi. Organisasi yang kedua yaitu organisasi wanita yang berkecimpung pada permasalahan politik. Jumlah organisasi yang bertujuann untuk kesejahteraan jumlahnya lebih banyak dari pada organisasi wanita politik .
B. Perkembangan dan Peranan Organisasi Wanita Masa Orde Lama (1950-1965).
Pada awal tahun 1950 gerakan perempuan di Indonesia mengalami kekecewaan yang mendalam karena Soekarno yang telah berhasil mengalang kekuatan kolektif gerakan perempuan untuk menyokong perjuangan nasional, karena telah membantu mengagalkan sejumlah reform perkawinan yang telah diperjuangkan oleh gerakan perempuan termasuk juga Gerwani. Soekarno dianggap sebagai tokoh yang telah memberikan inspirasi yang besar kepada kaum perempuan, seperti halnya tercantum di dalam bukunya “Sarinah” yang telah menjanjikan kepada kaum perempuan kebebasan di dalam masyarakat Indoneia yang adil dan makmur kelak di kemudian hari. Secara khusus berbicara mengenai partisipasi perempuan dalam perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia, Soekarno menyatakan bahwa ketertarikan perempuan hanya dapat dipenuhi dari fase sosial yang akan datang setelah fase nasional. Untuk mempercepat datangnya sosialisme, perempuan harus “ ikut serta mutlak sehebat-hebatnya di dalam revolusi kita”. Sebaliknya laki-laki harus sadar bahwa mereka tidak akan berhasil tanpa kaum perempuan. Oleh sebab itu, laki-laki Jawa harus mulai menghilangkan sistem patriarki Jawa yang masih bertahan. Selain itu, Soekarno juga berseru bahwa kaum laki-laki yang harus menjadikan kaum perempuan sebagai roda perjuangan kita . Berbagai pernyataan akan perjuanganya terhadap kaum perempuan banyak diucapkan di dalam pidato setiap Konggres Perempuan dilaksanakan. Namun pada kenyataanya, Soekarno tidak konsisten terhadap apa yang diucapkanya dan tidak menepati janji untuk memperjuangkan gerakan kaum perempuan yang menolak ketidakadilan terhadap perempuan di dalam perkawinan dan keluarga. Persoalan inin muncul setelah pada tahun 1954, Soekarno menikahi Hartini. Organisasi wanita di Indonesia pada waktu itu melakukan pembelaan dan dukungan yang diberikan kepada Fatmawati (istri presiden Soekarno sebelumnya).
Organisasi perempuan pada umumnya, terutama yang beraliran keagamaan, menerima pembagian kerja bahwa wanita hanya ditempatkan dalam bidang sosial saja, sementara bidang seperti politik hanya diperuntukan untuk laki-laki karena hal itu sudah dianggap sebagai kodrat mereka sebagai seorang perempuan. Bahkan perjuangan politik seperti halnya dalam memperjuangkan UU Perkawinan hanya dilihat dari sudut pandang urusan perempuan saja. Pada perkembangan selanjutnya, organisasi-organisasi perempuan ini mulai aktif dalam kegiatan pembangunan sosial di bawah wadah organisasi wanita Indonesia yakni Kowani.
Pada masa demokrasi perlementer gerakan perempuan masih saja berkutat pada permasalahan sosial seperti halnya perjuangan pendidikan dan memeproleh kesempatan kerja. Perjuangan ini mendapatkan hasil setelah sedikit demi sedikit budaya patriarki mulai pudar dan wanita mulai berperan lebih besar lagi dalam perjuangan mengentaskan buta huruf dikalangan wanita dan banyak mendapatkan kesempatan kerja terutama dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Namun, hal itu tidak semuanya berjalan dengan lancar karena pada dasarnya waktu itu masih banyak terdapat praktek deskriminai terhadap kaum perempuan, misalnya dalam hal upah kerja. Kenyatan ini dapat menunjukan bahwa hak-hak politik perempuan pada masa Orde Lama telah mendapatkan jaminan baik dari sistem hukum maupun politik, meskipun tidak ada UU Perkwinan yang berhasil disyahkan pada masa Orde Lama. Meskipun demikian, gerakanya masih sangat terbatas dan masih terdapat pula prektek-praktek deskriminasi dari kaum laki-laki.
Pada tahun 1950 ini terjadi perubahan besar dalam tubuh organisasi wanita karena terjadi fusi di dalam dua badan federasi yaitu antara Kowani yang pernah ditinggalkan oleh sejumlah organisasi Islam pendukungnya dengan Badan Kontak yang didirikan oleh Konferensi Perempuan di Yogyakarta. Pada bulan November 1950 kedua badan besar tersebut berkumpul di Jakarta. Dalam kongres ini secara resmi Kowani dibubarkan dan didirikan. Kongres Wanita Indonesia yang bertujuan menjamin kemerdekaan nasional sepenuhnya, jaminan terhadap hak-hak perempuan sebagai manusia dan warga Negara sama dengan kedudukan laki-laki, menjamin perdamaian dan keamanan, mendesak pemerintah untuk mengesahkan UU Perkawinan dan mengangkat perempuan sebanyak laki-laki di dalam panitia kementrian keagamaan yang diberi tugas untuk meneliti Undang-Undang Perkawinan. Pada tahun-tahun selanjutnya menjadi semakin jelas, bahwa kesukaan Kongres Wanita Indonesia pada penyusunan resolusi ini tenyata tidak efektif. Federasi tidak berhasil mempertahankan kesatuanya .
Organisasi-organisasi perempuan yang berkembang pada masa Orde Lama antara lain :

1. Gerwani
Selain berdiri organisasi-organisasi yang berbasis pada kegiatan sosial, pada awal tahun 1950 juga berdiri organisasi yang mengurusi masalah sosial tetapi tetap berada di gelanggang politik. Salah satu organisasi terbesarnya adalah Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang nantinya berubah menjadi Gerwani. Pendirian organisasi ini dikarenakan perempuan-perempuan revolusioner merasa tidak puas dengan organisasi perempuan yang sudah ada, seperti Perwari, Wanita Sosialis, Wanita Demokrat Aisyiah, Muslimat NU dan sebagainya. Rasa tidak puas itu dikarenakan berbagai faktor. Pertama, organisasi kewanitaan yang sudah ada hanya terbatas pada kegiatan kewanitaan, ringan, monoton, dan tanpa resiko. Kedua, organisasi yang sudah ada hanya mengurusi soal pendidikan tanpa ada usaha perjuangan secara politik. Ketiga, organisasi yang sudah ada tidak ikut bergerak dalam usaha memperjuangkan hak-hak perempuan secara intensif. Keempat, tidak ada gerakan yang gerakanya sampai level nasional secara bersama-sama, serta kebanyakan organisasi yang sudah ada tidak ikut serta memperhatikan rakyat kecil dan buruh, misalnya dalam memperjuangkan rakyat dari lintah darat.
Pada mulanya perhatian utama organisasi ini adalah pada UU Perkawinan monogami yang mencul setelah Sukarno menikah dengan Hartini, sehingga perhatian utama beralih pada masalah perjuangan untuk hak kerja dan tanggung jawab yang sama antara kaum perempuan dengan laki-laki, dalam perjuangan meraih kemerdekaan penuh dan untuk sosialisme. Hak-hak untuk perempuan dan anak-anak, termasuk penyelenggaraan penitipan anak dan pembangunan keluarga revolusioner merupakan tema pokok sepanjang sejarah Gerwani .
Pada tanggal 4 Juni 1950 di Semarang bekumpul lima orang wakil dari organisasi se-pulau Jawa. Mereka membawa misi untuk meleburkan organisasi masing-masing ke dalam wadah tunggal yaitu Gerakan Wanita Sedar (Gerwis). Ketujuh organisasi yang terabung dalam Gerwis antara lain, Rukun Putri Indonesia (RUPINDO) dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Persatuan Wanita Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura, Perjuangan Putri Indonesia dari Pasuruan, dan Gerakan Rakyat Indonesia. Para tokoh Gerwani ini berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, namun persamaanya adalah mereka pernah terjun di dalam pergerakan nasional. Pada tahun 1951 Gerwis yang masih menjadi organisasi muda, masih sibuk membenahi diri dan membangun cabang di sekitar pulau Jawa dan di luar pulau Jawa. Pada awalnya tujuan Gerwis adalah mendekati perempuan miskin, namun pada kenyataanya, pimpinanGerwis tidak turun ke massa perempaun sehingga ada sikap tidak ingin bekerja sama dengan organisasi perempuan lainya.Dampaknya, pada saat Gerwis mengadakan konggres yang pertama pada Desember 1951, anggotanya tidak lebih dari 6000 orang. Dalam kongres yang pertama ini juga dilakukan analsisis mengenai kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam tubuh Gerwis yang antara lain dianggap lebih banyak memperhatikan masalah intern organisasi dan lebih fokus menyoroti maasalah kepentingan peerempuan sehari-hari. Oleh karena cara kerja yang didasarkan pada pemikiran yang sempit, Gerwis kemudian menamakaan periode 1950-1954 sebaagai periode sektarianisme dan Gerwis tidak mengikuti strategi fron Persatuan .
Pada tahun 1954, Gerwis mengadakan kongres II di Jakarta dengan jumlah anggota 80.000 orang yang berasal dari 230 cabang. Sesuai dengan hasil kongres yang telah disepakati dan diputuskan pada kongers I, untuk mengubah nama dan perjuangan yang lebih menyatu dengan perjuangan buruh,tani, dan yang ada di basis massa, akhirnya nama Gerwis diganti menajdi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Perubahan nama ini dimaksudkan untuk menghilangkan karateristik sempit pada Gerwis. Sejak itu, Gerwani secara keanggotaaan terbuka untuk semua kaum perempuan dari golongan manapun, yakni wanita yang sudah berumur 16 tahun atau sudah menikah serta tidak mendukung salah satu partai politik, agama dan suku yang ada di Indonesia. Dengan memakai nama Gerwani yang mempunyai semboyan “organisasi pendidikan dan perjuangan” menjadikan penyemangat bagi para kader dan anggotanya. Setelah kongres kedua ini, para anggota dari Gerwani pergi ke desa-desa dan kampung, untuk mendiskusikan berbagai permasalahan dengan wanita tani terutama dengan para buruh wanita. Selain itu, Gerwani juga melakukan kampanye buta huruf, perubahan UU Perkawinan yang lebih demokratis, menuntut hukuman yang berat untuk penculikan dan perkosaan, kegiatan sosial ekonomi untuk kaum buruh dan tani perempuan.
Pada tahun 1955, Gerwani mulai melakukan serangkaian kegiataan yang berbeda, yakni mulai menitikberatkan kegiatanya pada pemilu 1955. Ketika kampanye pemilu dimulai Gerwani turut ambil bagian untuk kampanye para calon PKI, namun tidak mengajukan nama calonya sendiri. Hampir sebanyak 23.480 orang anggota Gerwani terlibat dalam kampanye pemilu 1955. Pada awal menjelang pemilu ini, gerakan perempuan mulai hancur karena masing-masing partai politik menjadikan organisasi perempuan sebagai alat kampanye. Sehinga pada waktu itu timbul perpecahan antara kelompok perempuan nasionalis dengan golongan perempuan Islam. Selain itu, jurang pertikaian dalam gerakan perempuan progresif dengan sejumlah golongan yang menentang karena makin besarnya pengaruh kiri. Sebagian besar organisasi Islam bersatu dengan sejumlah lawan mereka, terutama dalam masalah UU Perkawinan yaitu Perwari dan Bhayangkari yang bersatu dalam rangka menghadapi kekuatan progresif . Selanjutnya berkembang bermacam-macam kegiatan; balai-balai perempuan, bank-bank perempuan, bahkan surau perempuan didirikan; bermunculan berbagai macam organisasi dan majalah perempuan, tetapi hampir semua kegiatan ini semakin terikat pada Partai Politik (laki-laki), gerakan keagamaan (laki-laki), ataupun pada organisasi pejabat laki-laki . Hasil pemilu tahun 1955 ini sangat mengecewakan kaum perempuan, karena beberapa alasan. Pertama, sangat sedikitnya wakil perempuan yang terpilih di dalam parlemen. Kedua, Partai Wanita Rakyat yang didirikan pada tahun 1946 tidak mendapat kursi dan sesudah pemilu gerakanya tidak terlihat lagi terutama dalam perjuangan monogami. Ketiga, tidak ada kaum laki-laki yang giat dan serius mengkampayekan reform perkawinan.
Dalam upaya propaganda, Gerwani menerbitkan dua majalah, Api Kartini dan Berita Gerwani. Api Kartini terutama ditujukan bagi pernbaca lapisan tengah yang sedang tumbuh dan memuat tulisan-tulisan tentang masak-memasak, pengasuhan anak, mode, dan lain-lain, tetapi juga soal-soal yang lebih "feminis" dan "kiri" seperti kebutuhan akan taman kanak- kanak, kejahatan imperialisme (Api Kartini adalah majalah pertama di Indonesia yang menunjukkan pengaruh buruk film-film Amerika yang bermutu rendah yang saat itu banyak beredar, dan baru belakangan PKI melontarkan masalah imperialisme kebudayaan Barat), poligini, dan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, serta masalah-masalah sekitar kaum perempuan yang bekerja. Berita Gerwani adalah majalah intern organisasi, dengan berita-berita tentang konferensi-konferensi yang akan datang, laporan kunjungan ke organisasi-organisasi perempuan di negeri-negeri sosialis, dan lain-lain. Apabila Api Kartini terutama terbit untuk menarik perempuan golongan tengah, dan meyakinkan mereka bahwa Gerwani pun memberikan perhatian pada masalah-masalah "tradisional" perempuan, Berita Gerwani yang lebih radikal bermaksud memberikan dukungan kepada kader-kader daerah dan membantu mereka dalam menghadapi tugas-tugas yang akan mereka hadapi .
Gerwani selanjutnya melaksanakan kongres ke III pada tahun 1957. Pada kongres ke III ini kelihataan bahwa Gerwani telah mengalami perkembangan yang pesat, hal ini terlihat dari jumlah anggota yang mencapai 631.342 orang. Dalam kongres ini juga menetapkan resolusi-resolusi seperti pembebasan Irian Barat, tuntutan UU Perkawinan yang demokratis, buku-buku sekolah dengan harga yang murah, kesetiaan pada Pancasila, hukuman berat bagi pemerkosa, usaha mengatasi kenakalan pada anak-anak, dan mengubah berbagai peraturan yang deskriminatif. Dari resolusi ini menunjukan bahwa Gerwani semakin tengelam di dalam politik nasional tentang Demokrasi Terpimpin. Setelah kongres ini, pada tahun 1958 anggota anggota Gerwani mendorong kerjasama yang lebih erat antara berbagai golongan kiri yang ada dalam KWI dengan maksud agar KWI menjadi lebih peka dan aktif dalam masalah-masalah yang relevan bagi kaum perempuan miskin. Dibentuklah "Gerakan Massa" di dalam KWI. Golongan kiri (termasuk sejumlah organisasi perempuan Islam) berusaha mendorong KWI memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret, dengan menegaskan hubungan antara emansipasi perempuan dengan gerakan sosialisme. Beberapa orang pengurus KWI yang lain, seperti Maria Ulfah, dengan sengit menentang usaha yang disebutnya "infiltrasi" atau penyusupan GERWANI ini, dan "Gerakan Massa" pun dibubarkan. Tetapi KWI tidak bisa menghindar berada satu jalur dengan golongan kiri.
Pada bulan Desember 1961, Gerwani untuk terakhir kali mengadakan kongres ke IV di Jakarta sebelum dihancurkan pada Oktober 1965. Pada kongres ini, jumlah anggota telah mencapai 1.125.000 orang. Bertambah hampir 50 % pada saat kongres ke III tahun 1957. Beberapa resolusi yang ditetapkan dalam kongres ini antara lain pembebasan Irian Barat, membantu pelaksaan lands reform, UU Perkawinan yang demokratis, keamanan nasional, penurunan harga, dan perdamaian. Kongres ini menghasilkan program-program perjuangan, meliputi masalah hak-hak perempuan dan anak-anak, demokrasi dan keamanan, kemerdekaan penuh dan perdamaian.
Bersamaan dengan meningkatnya suhu politik pada awal tahun 1960an, anggota-anggota Gerwani ikut berperan serta di dalam gerakan aksi sepihak Barisan Tani Indonesia (BTI), yang dilancarkan untuk dilaksaanakanya undang-undang land reform. Bersama itu, Gerwani merebut hak-hak politik kaum perempuan (misalnya hak perempuan untuk bisa dipilih menajdi kepala desa). Hal ini telah menimbulkan ketegangan diantara para golongan konservatif desa yang masih memegang amanat patriarki. Pada tahun-tahun terakhir sayap feminis pada organisasi ini kalah terhadap lebarnya sayap komunisme sehingga hubungan antara Gerwani dengan PKI dan presiden Soekarno menjadi sangat erat. Gerwani akhirnya menyebarkan model tentang keibuan yang militan, dimana ibu-ibu harus bertanggung jawab terhadap pendidikan moral anak-anak mereka dan mengarahkan anak-anak agar menjadi anggota berguna dari keluarga manipol yang sejati. Model keibuan militan ini mengabungkan dua unsur yaitu fungsi keibuan perempuan dengan aktivitas politik .
2. Perwari
Selain Gerwani, pada tahun 1945 berdiri Perwari sebagai organisasi perempuan sekuler yang beasaskan Pancasila, dan dengan tegas menyatakan bahwa ketua Perwari bukan dan tidak ingin menjadi anggota organisasi politik manapun. Akan tetapi, untuk anggota biasa diberikan kebebasan penuh untuk masuk anggota organisasi politik sehingga setelah kemerdekaan banyak anggota Perwari yang masuk partai-partai politik atau organisasi perempuan yang baru berdiri seperti halnya Gerwis . Namun banyak juga yang mempunyai keanggotaan rangkap, sehinga tidak lagi aktif dalam keanggotaan organisasi lama. Keanggotaan rangkap seementara anggota Gerwani menimbulkan kebinggungan bagi Perwari sesudah Kup 1965, yaitu ketika harus membersihkan dirinya dari orang-orang Gerwani . Pada tanggal 17 desember 1953, yakni hari ulang tahun Perwari, organisasi ini melancarkan aksi demonstrasi terhadap keputusan Sukarno yang dianggap tidak konsekuen terhadap apa yang diperjuangkan oleh orgnisasi wanita. Meskipun demonstrasi ini merupakan satu-satunya yang terjadi setelah kemerdekaan, diikuti oleh kalangan luas gerakan perempuan, dan memperjuangkan kepentingan gender perampuan, namun tidak ada satu organisasi perempuan muslim yang ikut serta. Hanya saja banyak anggota KWI yang ikut serta, meskipun mereka hanya sebatas sebagai individu saja bukan sebagai kesatuan organisasi KWI. Karena hal itulah, sejak tahun 1953 hubungan antara Gerwani dan Perwari sudah tidak baik, hal ini karena Gerwani merasa tersinggung oleh peranan Perwari sebagai protagonis utama . Sebagai organisasi yang melibatkan diri dalam persoalan kemasyarakatan, tahun 1950 Perwari terlibat dalam berbagai bidang perjuangan. Diantaranya, Perwari mendirikan sekolah, biro konsultan, klinik ibu dan anak, dan buruh perempuan. Pada tahun 1954, Perwari mengalami kemunduran karena banyak anggota yang keluar dari organisasi terkait protes keras Perwari terhadap presiden Sukarno setelah melakukan poligami dengan Hartini. Alasan keluarnya para anggota ini ketakutan apabila dikaitkan dengan organisasi radikal yang sudah berani menentang presiden dan kebanyakan suami-suami dari anggota Perwari banyak mendapat tekanan di tempat lain, pemimpin-pemimpin organisasi ini juga mendapatkan tekanan moral yang berat. Selanjutnya Perwari tidak menerima bantuan apapun untuk berbagai kegiatanya dan pemimpin Perwari banyak mendapat ancaman pembunuhan dari orang yang tidak dikenal. Dengan kata lain, protes yang dilakukan Perwari justru merugikan organisasi sendiri. Bukti kemarahan Sukarno terhadap Perwari ini terlihat ketika ia hendak membubarkan organisasi soaial wanita ini .
Pada pemilu 1955, Perwari pada mulanya tidak mengikuti organisasi perempuan yang merupakan bagian dari partai politik, dan juga tidak berkampanye untuk calon Perwari sendiri. Alasanya yaitu bahwa mereka yang ikut serta dalam politik berarti akan memasuki badan utama parpol, sehingga Perwari bukan hanya sebagai sayap perempuan saja, karena di dalam perpol tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Sebaliknya, Perwari bahkan menghadapkan langsung pada partai-partai politik dengan program perjuanganya sendiri. Program yang dimaksud antara lain pelaksanaan UU Perkawinan yang maju, persoalan pendidikan dan kesehatan, memperluas Angkatan Kepolisian untuk menanggulangi pelacuran, dan pengendalian harga. Program ini dikirimkan ke 15 partai politik, namun pada akhirnya hanya PSI dan PNI yang menyetujui program Perwari ini. Pada perkembangan selanjutnya, Perwari memutuskan mengajukan calonya sendiri setelah menyadari bahwa PSI dan PNI hanya menempatkan kepentingan partai diatas program Perwari . Pada masa Orde Lama ini persaingan antara Perwari dengan organisasi progresif seperti halnya Gerwani tidak pernah padam dan saling menjatuhkan satu sama lain. Pada pidato ketua Gerwani yang disampaikan tahun 1964 antara lain dikemukakan bahwa Gerwani bertentangan dengan organisasi-organisasi perempuan lain yang menurut kata-kata ketua ini "hanya giat berjuang untuk kepentingan nyonya-nyonya pejabat tinggi." Jelas kata-kata tersebut dialamatkan pada Perwari .

3. Wanita Katholik
Peranan Wanita Katholik kembali aktif lagi menjadi sebuah organisasi dibawah naungan Partai Katholik. Pada Desember 1949 diadakan kongres KUKSI yang bertujuan untuk menghidupkan kembali organisasi. Ny. Kwari Sosrosumarto, sebagai ketua seksi perempuan kongres mengajukan resolusi yang gemilang, yaitu berisi agar Wanita Katholik meluas ke seluruh Indonesia, dan tidak sekedar membatasi diri di daerah yang lama yaitu Surakarta dan Yogyakarta saja . Perana Wanita Katholik pada tahun 1950 diantaranya berada di garis depan dalam menuntut Undang-Undang Perkawinan monogamy . Organisasi ini juga giat dalam pekerjaan sosial, khususnya bagi anggota umat katholik seperti halnya membangun tempat penitipan anak, sekolahan, dan kelompok pengajaran agama untuk perempuan. Pada perkembanganya Wanita Katholik menjadi anggota terkemuka KWI dan secara lokal menjadi anggota GOW (Gabungan Organisasi Wanita) .
Organisasi Wanita Katholik ini dalam kebijakanya sangat menentang Komunisme terutama Gerwani. Gerwani dianggap mengancam kedudukan organisasi lain termasuk Wanita Katholik karena selama Demokrasi Parlementer Gerwani kedudukanya sangat dominan di dalam setiap pergerakan organisasi wanita Indonesia. Oleh sebab itu, tujuan Wanita Khatolik hanya ingin berkecimpung di dalam urusan sosial, namun pada ulang tahunya yang ke 40 pada tahun 1964, organisasi ini juga harus ikut berjuang melawan feodalisme, imperialisme dan kolonialisme. Ketua Kowani Hurustiati Subandrio mengatakan dan mengingatkan agar Wanita Katholik sebagai kaum perempuan ikut berjuang bersama-sama masyarakat Indonesia seluruhnya yaitu melaksanakan Tri Komando Rakyat untuk membubarkan proyek neokolonialisme Malaysia. Sementara itu disisi lain, Wanita Katholik ketakutan oleh prahara revousioner yang melanda Indonesia pada awal tahun 1960an tetapi secara terpaksa merasa harus ikut dalam usaha melawan Malaysia sebagai suatu solidaritas .
4. Aisyah
Aisyah merupakan salah satu organisasi muslim non politik yang terkemuka, semula organisasi ini adalah bagian dari Muhamadiyah namun sejak 1951 kedua belah pihak memandang bahwa organisasi wanita ini sifatnya otonom, meskipun sifatnya hanya otonom terbatas. Aisyah menetapkan peraturanya sendiri dan melaksanakan keputusanya sendiri, namun organisasi ini harus mengikuti semua keputusan Muhamadiyah. Keputusan ini diambil dalam kongres Aisyah yang diadakan bersamaan dengan Kongres Muhamadiyah. Ketua Muhamadiyah menduduki posisi yang lebih tinggi dari pada ketua Aisyah. Hal ini dimungkinkan disesuaikan dengan pandanagn Islam mengenai kedudukan wanita dan laki-laki yang menyatakan bahwa alangkah baiknya apabila seorang pemimpin adalah kaum laki-laki.
Campur tangan Muhamadiyah dalam organisasi ini dapat terlihat dari berlakunya hak Muhamadiyah untuk memveto setiap keputusan Aisyah yang dianggap bertentangan dan pengurus besar Muhamadiayh mempunyai wewenang untuk memecat anggota Aisyah. Sementara, Asiyah tidak mempunyai wewenang untuk memveto keputusan Muhamadiyah apalagi mempunyai hak memecat anggota Muhamadiyah. Hubungan antara keduanya seperti hubungan suami istri menurut tata cara Islam. Menurut peraturan dasarnya kegiatan Aisyah yang pertama adalah menyiarkan Islam, khususnya mendidik para wanita dan para gadis agar menjadi wanita Muslim yang sejati, dan tugas yang kedua adalah untuk mengalakan pendidikan. Tugas lainya antara lain mengurus sejumlah lembaga keagamaan dan semuanya adalah dalam rangka mengajarkan sopan santun pada wanita.
Hal terpenting yang dilakukan organisasi ini pada sekitar tahun 1950an adalah kebijakan mengenai permasalahan UU Perkawinan. Golongan wanita muslim umumnya menerima Keputusan No 19. Hal ini sangat berbeda dengan garis kebijakan dari organisai wanita lainya yang sifatnya lebih progresif seperti halnya Perwari dan Gerwani. Pada tahun 1953 saat diadakan musyawarah diantara sebelas organisasi wanita Muslim, hasilnya mereka menolak UU Perkawinan yang diajukan oleh Komisi Perkawinan, serta menuntut diberlakukanya UU Perkawinan Islam . Aisyah juga tidak mempermasalahkan poligami hanya saja tata cara harus disesuaikan dengan hukum Islam, paling tidak harus mendapatkan ijin dan persetujuan dari istri sebelumnya.
Hubungan antara Aisyah dengan Gerwani sangat kaku, karena Aisyah memandang bahwa prinsip-prinsip Islam tidak sesuai dengan prinsip-prinsip komunis. Misalnya banyak terjadi pelecehan terhadap agama Islam dan banyak fitnah yang ditujukan kepada Aisyah, misalnya diberitakan bahwa Aisyah ingin melawan pemerintah. Selain Aisyah, organisasi wanita muslim juga ada yang bergerak di bidang politik, antara lain Muslimatnya Masyumi dan Muslimatnya NU. Meskipun pada akhirnya organisasi Muslimat Masyumi dibubarkan dan dikeluarkan dari KWI pada masa Demokrasi Terpimpin setelah ketua KWI Hurustiati Subandrio yang berhaluan kiri mengambil alih pimpinan KWI. Perubahan pengurus ini telah merubah arah dan tujuan KWI yang lebih barhaluan Kiri. Namun pada tahun 1961 Muslimatnya NU masih dipertahankan dari keanggotaan KWI. Pada masa Demokrasi Terpimpin, terjadi kecenderungan dikuasainya gerakan dan organisasi perempuan oleh sayap kiri. Hal ini mungkin sangat dipengaruhi oleh Gerwani yang mendominasi organisasi wanita dan sebagai organisasi yang paling dekat dengan Sukarno.
5. HMI-Wati (Himpunan Mahaiswa Islam Putri)
Organisasi ini adalah salah satu organisasi wanita Muslim sekaligus sebagai organisasi pemuda pada masa Orde Lama yang dikomandani oleh para mahasiswa wanita Muslim. Dari tahun ke tahun, aktifitas dan peran HMI-Wati dapat dilihat dalam rangkaian kegiatan organisatoris HMI dengan mengikuti dinamikanya mulai dari revolusi fisik, mempertahankan kedaulatan sampai dengan pemberontakan PKI. Pada masa Orde Lama anggota HMI-Wati terus mengalami peningkatan meskipun pada waktu itu masih dibawah dominasi Gerwani maupun Perwari, dan Aisyah. Masalah masalah kewanitaan di HMI semula kurang mendapat penyelesaian dan jalan keluar yang wajar. Kegiatan–kegiatan HMI-Wati hanya ditampung dalam bentuk seksi atau departemen keputrian. Dalam kaderisasi informal, HMI-Wati ditempatkan pada bagian- bagian yang kurang strategis (seksi komsumsi, perlengkapan, paling tinggi sekretaris). Sehinga mereka kurang dapat menunjukan potensi dan kemampuan mereka.
Secara kualitas, kader kader HMI-Wati memiliki potensi besar untuk ikut dalam perjuangan wanita di Indonesia, tapi budaya patriarki yang masih kental dalam aktifitas HMI secara khusus dan budaya Indonesia secara umum, sehingga menyulitkan HMI-Wati untuk tumbuh dan berkembang. Selain itu, adanya anggapan tentang kiprah aktivis perempuan yang dibatasi oleh perspektif lingkungan sekitarnya pun membuat HMI-Wati makin tertinggal dalam hal kaderisasi.
Pada perkembanganya HMI-Wati mulai sadar bahwa potensi mereka perlu ditingkatkan dari hanya sekedar objek menjadi subjek, sehingga mereka dapat mengembangkan diri secara khusus. Oleh sebab itu, yang dibutuhkan adalah sebuah wadah penyampaian aspirasi tersendiri bagi kaderisasi HMI-Wati. Maka lahirlah ide pembentukan Kohati.
Gagasan pembentukan Kohati lahir pada saat musyawarah kerja HMI Jaya pada tanggal 12 desember 1965 dengan maksud lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas anggota HMI Putri dan ikut serta dalam melaksanakan cita- cita perjuangan bangsa melalui satu wadah dan membentuk HMI-Wati menjadi kader- kader yang peduli pada organisasi kemasyarakatan, sosial politik serta bidang kewanitaan.
Kemudian Kohati dikukuhkan dengan surat keputusan no 239/A/Sek/1966 tanggal 11 juni tentang pembentukan Korp HMI Wati. Untuk sementara korp ini dibentuk dalam tingkatan cabang, komisariat dan rayon dengan status semi otonom. Pembentukan Kohati secara nasional dilaksanakan pada kongres VII HMI di Surakarta tanggal 10-17 september 1966, dalam sub komisi musyawarah HMI-Wati telah memutuskan mendirikan Korps HMI-Wati disingkat Kohati tanggal 17 september 1966. Setelah berdirinya Kohati kemudian bermunculan kesatuan kesatuan aksi termasuk Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI). Perkembangan HMI secara umum dan HMI Wati secara khusus masih eksis sampai saat ini .

6. Organisasi Perempuan Kekaryaan
Organisasi Karya Perempuan ini banyak dibentuk pada tahun 1950-an yang biasanya terdiri dari organisasi para istri, seperti organisasi Bayangkari, organisasi perempuan pegawai negeri, atau perempuan dengan profesi tertentu. Diantara organisasi para istri ABRI ini yang paling radikal adalah Bhayangkari. Organisasi ini didirikan atas prakarsa istri Panglima Polisi, Ny. Lena Soekanto_Mokoginta. Namun ia menolak sebagai ketua organisasi melainkan hanya sebgai pelindung. Setelah dibentuk, Bhayangkari segera ikut dalam Kongres Wanita di Yogyakarta dan mulai berperan penting dalam KWI. Tujuan pertama yang dijalankan oleh organisasi ini adalah membantu para Polisi Wanita yang baru pulang dari medan gerilya dan membantu istri-istri polisi yang ditinggal mati suaminya.
Bhayangkari cepat berkembang dan banyak membangun cabangnya di seluruh Indonesia. Bhayangkari ini aktif memperjuangkan agar para perwira wanita mendapatkan kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan dengan kaum laki-laki. Dalam memperjuangkan UU Perkawinan, mereka menentang keputusan no 19 dan ikut berdemonstrasi bersama organisasi progresif wanita lainya dalam menentang pernikahan antara Soekarno dan Hartini. Dalam Pemilu tahun 1955, Bhayangkari tidak ikut secara mandiri melainkan berkampanye untuk Angkatan Kepolisian. Dari dukunganya terhadap Angkatan Kepolisian, Bhayangkari mendapatkan imbalan karena organisasi Kepolisian menambahkan tiga butir tuntutan pada kampanye mereka yaitu, membuat UU Perkawinan yang adil, menolak keputusan No 19, dan menuntut dibuatnya lembaga peradilan pada anak-anak. Bhayangkari ini menuntut monogami dan yang berhak menjadi anggota adalah istri pertama dari anggota Kepolisian. Hal ini diputuskan pada konggresnya yang kedua tahun 1956 .
Pada masa demokrasi terpimpin Bhayangkari banyak mendukung kaum kiri, meskipun dalam agendanya mereka sangat membenci PKI. Dukungan Bhayangkari terhadap pemikiran Sukarno yang PKI menjadi salah satu contoh yang mebuktikan bahwa dalam tubuh organisasi ini muncul indikasi tidak konsekuen dan bermuka dua. Bhayangkari pernah mengirimkan 50 orang anggotanya untuk mengikuti kursus kader nasakom dan membawa slogam berbunyi Berdikari . Tetapi disisi lain Bhayangkari ikut bergabung dengan Sekber Golkar dalam rangka membendung PKI . Pada perkembangan selanjutnya Bhayangkari menjadi semakin kuat dengan mitra karyanya (laki-laki).
Begitu besarnya peranan wanita pada masa Orde Lama inilah yang akan mengilhami kebangkitan pergerakan wanita pada masa selanjutnya, yaitu memperjuangkan hak-haknya agar tercipta sebuah emansipasi wanita modern yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dan agama. Wanita adalah bagian dari salah satu sayap yang apabila diberi kesempatan hak-hak yang sama dengan laki-laki, maka kemajuan yang tinggi bagi bangsa ini akan tercapai. Namun wanita harus ingat terhadap batasan-batasan yang ada dan ingat pada budaya ketimuran yang menjadi salah satu cirri khas bangsa Indonesia.
C. Penutup
Pejuangan wanita Indonesia untuk memperbaiki nasibnya dan mengembalikan hak-hak mereka dari budaya patriarki ( mental bapak) sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Banyak sekali tokoh perjuangan wanita yang secara gigih memperjuangkan kemerdekaan dengan caranya sendiri yaitu dengan berjuang agar para wanita Indonesia dapat meraih pendidikan dan hak yang sama dengan para pria. Sementara itu, organisasi perempuan Indonesia baru mulai tumbuh pada sekitar abad ke 20 yang ditandai dengan banyak berkembanganya organisasi wanita modern sebagai salah satu organisasi kebangsaan. perjuangan wanita melawan penjajah Belanda pada waktu itu telah memberikan inspirasi dan dorongan bagi wanita-wanita generasi kemudian, yang berjuang untuk emansipasi kaumnya sekaligus memiliki peranan partisipasi dalam mengisi hasil perjuangan kemerdekaan tanah airnya. Perjuangan kaum wanita pada waktu itu bukan hanya sekedar berjuang di garis belakang saja, tetapi juga banyak yang ikut berjuang dalam revolusi fisik sehingga hal ini akan mempengaruhi mental perjuangan wanita yang keras (semangat revolusi) dalam menuntut hak-haknya.
Pada masa Orde Lama gerakan wanita banyak mengalami kebangkitan, hal ini ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi baru dengan tujuan yang beragam. Namun pada dasarnya mereka mempunyai kesamaan tujuan antara satu dengan yang lain yaitu tujuan untuk meraih persamaan dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. Perjuangaan wanita ini kadang harus menghadapi tantangan yang berat terutama dari golongan konservatif yang masih menggunakan tata cara feodalisme, dimata laki-laki, perempuan akan menjadi pesaing yang harus diwaspadai karena dengan perjuanganya mereka mampu mengurusi urusan umum dan urusanya sendiri.
Barbagai wadah organisasi wanita berdiri di tengah-tengah suhu politik Orde Lama. Berbagai corak gerakan mereka usung sesuai dengan karateristik masing-masing, bukan hanya mengurusi permasalahan-permasalahan sosial, kewanitaan, pendidikan, ataupun agama saja. Namun muncul pula organisasi sosial wanita yang terjun di gelanggang politik secara nyata. Berbagai organisasi dengan corak dan tujuan yang berbeda ini disatukan dalam satu wadah yaitu Kongres Wanita Indonesia yang didirikan pada sekiatar tahun 1960-an. Pada masa ini juga ditandai dengan hubungan yang tidak harmonis antar organisasi wanita yang disebabkan karena perbedaan ideologi ataupun arah dan tujuan organisasi yang berseberangan. Organisasi tersebut antara lain, Gerwani sebagai organisasi politik wanita terbesar dengan Perwari yang merupakan organisasi sosial pada saat itu. Selain itu, Organisasi agama seperti Aisyah, Wanita Katholik juga menjalin hubungan yang tidak harmonis dengan Gerwani yang notabene sebagai gerakan komunisme anti agama. Gerwani muncul sebagai organisasi wanita terbesar dikarenakan pendekatan masa terhadap tani dan wanita miskin sesuai garis yang ditetapkan oleh PKI, selain itu kedekatan Gerwani dengan presiden Soekarno menjadi perangsang organisasi ini untuk melebarkan sayapnya ke seluruh wilayah Indonesia.
Hal yang menarik untuk dibahas tentang pergerakan wanita pada masa Orde Lama yaitu perjuangan mereka mengenai UU Perkawinan yang adil dan tuntutan monogami. Organisasi wanita progresif seperti halnya Perwari dan Gerwani sangat menentang poligami, sementara organisasi Islam baik sosial ataupun politik setuju dengan poligami namun dengan kaidah Islam. Pemicu permasalahan ini adalah pernikahan antara Hartini dan Sukarno yang menandai sikap tidak konsekuen Sukarno terhadap perjuangan wanita seperti yang diungkapkanya dalam karangan yang berjudul Sarinah.
Sementara itu, sejak dimulainya Demokrasi Terpimpin mulai terdapat kecenderungan dikuasainya federasi gerakan perempuan oleh sayap kiri. Hal ini terkait terpilihnya Huyustuti Subandrio yang berhaluan kiri sebagai pemimpin KWI. Arah perjuangan gerakan wanita juga berubah dan hanya mementingkan perjuangan politik, sementara masalah feminis mulai dilupakan. Hal yang penting dan perlu dicatat pada masa Orde Lama yaitu mulai berkembangnya organisasi perempuan karya. Organisasi ini antara lain adalah Bhayangkari yang tumbuh, mandiri, dan ikut berpartisiapsi dalam berbagai perjuangan perempuan mulai dari perjuangan menetapkan UU Perkawinan monogami sampai perjuangan membendung PKI.
Itulah berbagai perjuangan yang telah dilakukan oleh wanita Indonesia pada masa Orde Lama, betapa heroiknya perjuangan yang telah mereka lakukan baik dalam revolusi fisik maupun dalam memperjuangkan hak-haknya dari tradisi dan arus tantangan pada waktu itu. Semoga pada masa ini muncul kembali perjuangan-perjuangan tersebut dalam rangka memperbaiki kondisi bangsa dan ini menjadikan inspirasi bagi wanita Indonesia agar tidak bersikap pasif dan semakin berperan penting bagi kemajuan bangsa.

Daftar Pustaka
Ita F Nadia, 2007, Suara-Suara Perempuan Korban Tragedi ’65, Yogyakarta, Galangpress
K Hikmah Diniah, 2007, Gerwani bukan PKI Sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia, Yogyakarta: Caraswatibooks.
Kowani. 1986, Sejarah Setengah Abad Kasatuan dan Persatuan Wanita Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka
Paramoedya Ananta Toer, 2002, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, Jakarta : Gramedia.
Saskia Eleonora Weiringggan, 1999, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta, Garda Budaya.
Sri Retna Astuti, 1990, Peranan Dapur Umum Dalam Masa Revolusi 1945-1949 di DIY, Yogyakarta : Depdikbud, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Sukarno, 1965, Di Bawah Bendera Revolusi,_____________
SaskiaEleonora Weringa, Kuntilanak Wangi : Organisasi-Organisasi Perempuan sesudahtahun1950,http://www.geocities.com/CapitolHill/Parliament/2385/, diakses tanggal 28 April 2008, jam 15.00 WIB.
Rusiyati, Sepintas Gerakan Wanita Indonesia dalam Perkembangan Sejarah, Diakses dari http://www.egroups.com/group/milis-spiritu, pada tanggal 28 April 2008, pukul 15.00 WIB.
_____, HMI Wati dan Dinamika Gerakan Perempuan, diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/, tanggal 28 April 2008, pukul 15.00 WIB.

NYAI DALAM PUSARAN BUDAYA JAWA

KEHIDUPAN PARA NYAI DAN PEREMPUAN BELANDA YANG MENIKAH DENGAN LAKI-LAKI INLANDER PADA MASA KOLONIAL DI HINDIA BELANDA
“Jika sejarah adalah memori kolektif umat manusia dan memberikan pembenaran moral untuk masa kini, maka ketiadaan perempuan dalam sejarah adalah sama saja dengan menyesatkan sejarah, dengan membuatnya seolah-olah hanya lelaki yang berperan serta dalam kejadian-kejadian yang dipandang sebagai berjasa dalam memelihara, dan dengan menyajikan gambaran yang salah tentang bagaimana yang terjadi.” (Kleimberg S Jay dalam Lolly Suhenty, 2007: 37)
A. Pendahuluan
Perempuan secara langsung menunjuk pada salah satu jenis kelamin. Marginalisasi perempuan yang muncul menunjukkan bahwa perempuan sering disebut sebagai warga kelas dua, yang keberadaanya tidak begitu diperhitungkan. Dikotonomi alam (nature) alam dan budaya (culture) digunakan untuk menunjukkan pemisahan jenis kelamin ini, yang satu dianggap rendah dari yang lainnya. Perempuan yang mewakili sifat alam (nature) harus ditundukkan agar mereka lebih berbudaya (culture). Usaha membudayakan perempuan tersebut telah mengakibatkan proses produksi dan reproduksi ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan. (Irwan Abdullah, 1997:3).
Dalam perjalanan sejarah khususnya di Indonesia, berkembangya feminisme telah membuat perempuan mempertanyakan kembali identitas yang menyagkut asal-usul dan status keberadaan mereka. Perempuan menganggap bahwa mereka tidak diberikan tempat karena sejarah yang berkembang saat ini masih dominan menggunakan perpekstif laki-laki. Dapat dikatakan bahwa penelitian sejarah yang mengungkapkan perempuan masih sangat lambat. Meskipun perempuan hadir dalam setiap titik waktu sejarah, mengikuti dinamika ruang dan waktu, namun kedudukannya selalu hanya dijadikan sekedar aktor yang tidak penting atau “figuran”. Dalam edisi pertama buku metodologi Sejarah, Kuntowijoyo menulis kemugkinan dilakukannya penelitian dengan lebih mengembangkan tema sejarah perempuan, lengkap dengan metodologinya, teori, dan konsep-konsepnya. (Kuntowijoyo, 1974: 79-110).
Penulisan sejarah dengan menggunakan metodologi sejarah perempuan menurut Kuntowijoyo bukan berarti bahwa tulisan sejarah yang dihasilkan harus bersigat gynocentris (sejarah yang berpusat pada perempuan), melainkan sejarah yang lebih adil dan proporsional, yaitu sejarah yang menempatkan posisi antara laki-laki dan perempuan secara seimbang dan tidak ada deskriminasi diantara keduanya. Kuntowijoyo menyebutnya sebagai tulisan sejarah yang bersifat androgynous. (Kuntowijoyo, 1974: 98-99).
Memahami berbagai konsep yang berbeda-beda tentang perempuan dalam berbagai kebudayaan , tidak akan ada gunanya apabila kemudian dicocokkan dengan praktek kebudayaan yang bersangkutan dalam memperlakukan perempuan. Dengan kata lain, sekalipun terdapat berbagai konsep yang baik tentang perempuan, namun dalam prakteknya hanya terdapat satu kenyataan yaitu perempuan di bawah dominasi laki-laki. Dan bagi perempuan mau tidak mau kondisi tersebut berarti segalanya bagi perempuan dalam sejarah kebudayaan manusia. Sejarah manusia, baik yang sakral yaitu yang diambil dari kitab-kitab suci dan mitos, maupun yang sekular, yakni yang disusun secara ilmiah, senantiasa menunjukkan diri sebagai sejarah lelaki. Kaum lelaki itulah yang membangun dunia dimana terdapat perempuan di dalamnya. Dengan kata lain, antara lelaki dan perempuan tidak setara. (Imam Akhmad, 1993: 49).
Sejarah mencatat bahwa pada masa kolonial perempuan Indonesia harus berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan hak-hak peribadinya, baik hak untuk memperoleh kemerdekaan, hak untuk bersekolah, maupun hak dalam berorganisasi. Pada dasarnya perempuan Indonesia masa itu masih harus berjuang merubah sistem untuk memperbaiki kelas sosial mereka yang selalu dianggap lebih rendah dari pada laki-laki Indonesia dan laki-laki Eropa berkulit putih. (Luviana, 2007: 48). Situasi mereka yang dinomorduakan itulah yang membuatnya dianggap tidak penting dalam kehidupan, namun perlu diingat bahwa merekalah sebagai mediator utama antara dua kebudayaan yaitu Indonesia dan Belanda .
Dari sedikit latar belakang diatas ada ketertarikan penulis untuk menulis bagainana kehidupan perempuan Indonesia dan Belanda diantara dua kebudayaan yang berbeda. Konsep ini dapat diartikan mengenai bagaimana perempuan pribumi menghadapi persinggungan dua budaya berbeda yaitu budaya pribumi dan Belanda, ataupun perempuan Belanda dalam menghadapi persingungan dua budaya yaitu budaya pribumi dan Belanda. Kehidupan terhadap mereka mencangkup berbagai substansi isi antara lain bagaimana perlakuan yang mereka terima dari berbagai kalangan baik dari kalangan pribumi atau orang-orang Belanda sendiri terutama kaum laki-laki, bagaimana perempuan pribumi atau Belanda menghadapi situasi tersebut, dan apa saja hasil budaya yang dihasilkan dari persinggungan dua budaya itu.
B. Awal Munculnya Nyai dan Kehidupannya di Hindia Belanda
Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa Hindia Belanda termasuk wilayah terpentingnya di Pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan yang jauh berbeda tetapi disisi lain hubungan itu semakin akrab. Kebudayaan Eropa (Barat) dan kebudayaan Timur (Jawa), yang masing-masing didukung oleh etnik yang berbeda dan mempunyai struktur sosial yang berbeda pula bercampur semakin mendalam dan erat. Akibat pertemuan dua kebudayaan tersebut, kebudayaan bangsa pribumi (Jawa) diperkaya oleh kebudayaan Barat. (Djoko Sukiman, 2000: 21). Alasan mengapa lebih mengarah pada kebudayaan Jawa karena hanya di Jawalah yang terdapat percampuran budaya (kemudian dikenal dengan budaya Indies), namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa di wilayah Hindia Belanda di luar Jawa juga terdapat percampuran dua budaya akibat pertemuan dua budaya dengan waktu yang relatif lama.
Pertumbuhan budaya baru ini pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda. Larangan membawa istri (kecuali pejabat tinggi) dan mendatangkan wanita Belanda ke Hindia Belanda memacu terjadinya percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran dan menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-Pribumi, atau gaya Indis. Kata “Indis” berasal dari bahasa Belanda Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan Belanda di seberang lautan yang secara geografis meliputi jajahan di kepulauan yang disebut Nederlandsch Oost Indie, untuk membedakan dengan sebuah wilayah jajahan lain yang disebut Nederlandsch West Indie, yang meliputi wilayah Suriname dan Curascao. Konsep Indis di sini hanya terbatas pada ruang lingkup di daerah kebudayaan Jawa, yaitu tempat khusus bertemunya kebudayaan Eropa (Belanda) dengan Jawa sejak abad XVIII sampai medio abad XX. Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di Pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan yang jauh berbeda itu makin kental. Kebudayaan Eropa (Belanda) dan Timur (Jawa), yang berbeda etnik dan struktur sosial membaur jadi satu.Golongan masyarakat atas adalah pendukung utama kebudayaan Indis.
Memang pada masa awal kehadirannya di nusantara, peradaban kedudukannya dominan atas budaya Indonesia. tetapi lambat laun terjadi pembauran, tetapi sebelum terjadinya pencampuran budaya ini, peradaban ini sudah tinggi, maka peran suku Jawa dalam proses pencampuran ini sangat aktif sehingga budayanya tidak lenyap dan tenggelam. Peran kepribadian bangsa (local genius) Jawa ikut menentukan dalam member warna kebudayaan Indies. Peran cendekiawan dalam ikut serta dalam mengembangkan kebudayaan Indis sangat besar, terutama dalam bidang pendidikan, teknologi pertanian, dan transportasi terutama setelah sistem liberal diterapkan di Indonesia. Dalam tahap berikutnya para pelajar Indonesia yang mendapat pendidikan Eropa dalam melanjutkan pendidikan Belanda, menuntut berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Para pemuda Indonesia yang mendapatkan pendidikan Barat umumnya adalah anak laki-laki dari para priyayi pribumi, kedudukan mereka akan lebih istimewa apabila mereka dapat menempuh pendidikan lanjut di Europese Lagere School (Sekolah Dasar Eropa), atau Hogere Burger School (Sekolah Menengah Atas Eropa). Sementara itu, kondisi berbeda dialami oleh perempuan di Indonesia, oleh pemerintah kolonial Belanda mereka dianggap sebagai lambang tradisi sehingga perempuan cenderung merupakan penengah antara inovasi dan tradisi dan menjadi penengah antara dorongan yang berorientasi pada masa depan dan mempertahankan tradisi yang masih dipegang oleh masa lampau. Perempuan Indonesia juga dijadikan ikon diskursif oleh pemerintah kolonial Belanda.(Frances Gouda, 2007: 145). Dalam menganalisis proses akulturasi dua kebudayaan tersebut, sudah dapat diduga bahwa peranan penguasa kolonial Belanda sangat menentukan, sementara bangsa Indonesia menerima nasib sebagai bangsa terjajah serta harus menyesuaikan diri terhadap penguasa jajahan dan kolonial. Hasil perpaduan nampak dari unsur-unsur budaya Barat yang lebih menonjol.
Untuk mendeskripsikan orientasi nilai budaya wanita pribumi yang sudah dipengaruhi oleh budaya Belanda akibat hubungan yang sangat panjang dapat dilakukan dengan melihat sikap, sifat, tingkah laku wanita ketika berhadapan dengan konflik, yaitu bagaimana ia menghadapi permasalahan, menyikapi, menyelesaikannya, serta menindak lanjuti yang pada akhirnya bermuara pada konsep hidupnya. Selain itu dapat pula dilihat dari hasil-hasil kebudayaan baru yang terbentuk dari hubungan itu. Hasil tersebut dapat digeneralisasikan pada akhirnya sebagai orientasi nilai-nilai budaya.
Menurut Kluckhon, orientasi nilai budaya yang menetap dan menjadi dasar bertindak pada setiap manusia didasarkan pada beberapa persoalan dasar, yaitu hakekat hidup, hakekat karya, persepsi manusia tentang waktu, pandangan manusia terhadap alam, hakekat hubungan manusia dengan sesamanya, hakekat nilai-nilai tanggung jawab, serta hakekat nilai-nilai keadilan. Perempuan hasil persilangan dua kebudayaan biasanya akan menghasilkan perempuan yang memiliki orientasi nilai tentang hakekat hidup yang bersifat ideal. Orientasi semacam ini menurut Kluckhon , adalah orientasi tentang hakekat hidup yang memandang bahwa hidup hari ini buruk sehingga manusia harus berusaha untuk mewujudkan hidup ini lebih baik. Dengan demikian, orientasi nilai tentang hakekat hidup ini akan menyebabkan tokoh-tokoh wanita atau individu tokoh berbuat, bersikap dan bertindak untuk memperbaiki keadaan hidup di masa lalu atau hari ini yang dianggap belum sempurna. Pada masa kolonial tersebut mulai terjadi perubahan pola pikir atau sikap dari para perempuan Indonesia untuk memperbaiki hidupnya. Dalam kajian ini, sebagian perempuan mulai berorientasi lebih pada materi yang mereka anggap akan melepaskannya dari penderitaan. Untuk mewujudkan tujuan hidup itu mereka rela dijadikan Nyai atau gundik atau dapat disebut juga dengan wanita simpanan para pejabat kolonial. Oleh karena itu, baik secara langsung maupun tidak langsung mereka akan menjadi perempuan yang hidup diantara persinggungan dua budaya. (Toha Machsum, http://supartobrata.com/?p=76)
Hubungan antara perempuan pribumi dengan orang-orang Belanda sebenarnya telah terjalin semenjak kedatangan pertama mereka. Memang pada masa awal pemerintahan VOC di Hindia Belanda terutama masa pemerintahan JP. Coen sangat keras terhadap pelanggaran seksual karena dianggap sebagai faktor utama kemandulan, pengguguran kandungan, pembunuhan bayi, terkadang peracunan terhadap suami orang Belanda oleh para gundik yang cemburu (Leonard Blusse,1987: 261). Namun setelah masa JP. Coen berakhir pemerintahan Belanda di bawah VOC mulai melonggarkan saksi terhadap hubungan seksual di luar pernikahan. Institusi selir antara orang Belanda dengan pribumi mulai dibiarkan. Salah satu alasan adalah karena sangat sedikit wanita Belanda yang datang ke Asia sehingga terpaksa diadakan perlonggaran bahkan anjuran kearah hubungan seksual antara lelaki Belanda dengan selir bukan Belanda yang perempuan pribumi. Selir-selir yang bukan Belanda ini statusnya mirip dengan budak. Karena itu di masyarakat kolonial kemudian timbul Pranata Nyai, yaitu wanita yang dipelihara oleh para pejabat Belanda atau swasta-swasta belanda yang kaya. (Onghokham, 1991 :71) Sedikitnya wanita Belanda di Hindia Belanda dikarenakan adanya kegagalan dari rencana Coen untuk mendatangkan kiriman anak anak dan gadis Belanda sertav meminta banyak keluarga Belanda yang baik untuk bermigrasi ke Batavia. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan nantinya akan dididik, dan diajar. Untuk perempuan biasanya setelah akil balig akan dikawinkan dengan laki-laki yang dianggap baik. Ternyata anak-anak yang dikirim dari Belanda berasal dari kalangan yang kurang baik sehingga kehidupan di Hindia Belanda juga disesuaikan dengan sifat asal mereka. Alasan lain adalah rata-rata perkawinan suami istri di Hindia sering mandul, keguguran dan kematian anak-anak lazim terjadi. Selain itu biaya pengiriman para perempuan dan keluarga Belanda ke Hindia Belanda membutuhkan biaya yang mahal. (Leonard Blusse,1987 : 248).
Dalam sastra kolonial yang dikenal dengan Indish Literatuur di Nederlands mengungkapkan bahwa Nyai merupakan lambang romantisme seksual yang member kunci bagi kesuksesan kolonialisme. Dengan memelihara Nyai atau sering disebut dengan perempuan simpanan ini maka para pejabat Belanda dapat dengan mudah mempelajari adat istiadat, budaya, dan segala misteri di dunia timur. Lembaga Nyai ini nantinya akan berakhir ketika wanita-wanita Belanda datang dan membentuk keluarga di Hindia Belanda. Berakhirnya lembaga ini diikuti dengan larangan para bujang Belanda untuk mempunyai selir (Onghokham, 1991: 72). Namun karena seorang laki-laki yang telah kawin dnegan perempuan pribumi tidak diijinkan membawa untuk pergi ke belanda dengan membawa istri dan anaknya sehingga yang terjadi banyak dari pejabat kompeni yang kemudian dilanjutkan oleh para pejabat kolonial lebih suka hidup bersama dengan para Nyai nya (Leonard Blusse, 1987 :268).
Sebagai contoh seperti di wilayah perkebunan di Deli Golongan Eropa yang masih rendah wanita Eropa di lingkungan kerjanya oleh karenanya banyak dari pejabat rendahan Eropa (opzichter atau asisten) mengambil mengambil wanita pribumi sebagai Nyai atau concumbine (gundik). Mereka memakai hak istimewa untuk memilih wanita yang baru didatangkan dari Jawa atau tempat lain. Kebanyakan hubungan tidak dikukuhkan dengan hubungan perkawinan. Alasan kenapa pegawai rendahan banyak memanggil wanita pribumi sebagai gundik atau “pelayan seks” karena pada waktu itu di lingkungan bangsa Eropa berlaku aturan yang melarang pagawai rendahan membawa isteri, alasannya karena kondisi hidup mereka yang belum memadai untuk menjamin kalangsungan hidup rumah tangganya. Selain itu, suasana hidup terpencil menuntut kehidupan moral yang begitu berat. Alasan mengapa pemerintah hindia Belanda menerapkan aturan larangan tersebut karena dkhawatirkan keturunan mereka mengalami pauperisme sehingga dikhawatirkan akan membahayakan status quo masyarakat kolonial.
Sementara kehadiran wanita pribumi dan Cina menunjukkan bahwa memang ada usaha untuk mendatangkan wanita pribumi, baik sebagai pekerja buruh atau sebagai calon isteri para pekerja yang telah lama bekerja di perkebunan. Yang menarik menurut deskripsi dari Koentowijoyo adalah keterlibatan atasan dalam proses perjodohan, terkadang wanita itu tidak sampai kepada calon suaminya karena terlebih dahulu diinginkan oleh para pengawas muda Belanda untuk dijadikan gundik atau Nyai. Bentuk pergundikan adalah bentuk yang memenuhi kebutuhan dan mendapatkan toleransi dari kalangan kaum kulit putih dan pihak pribumi tidak dapat mencegahnya. Kondisi ini berubah setelah kemakmuran di kalangan masyarakat kolonial bertambah, mereka dapat leluasa untuk mendatangkan wanita dari Belanda, dengan diberlakukannya sistem ini maka sistem pergundikan di daerah perkebunan mulai berkurang. Dampak langsung yang akan diterima oleh wanita-wanta yang menjadi gundik ini adalah anggapan rendah rakyat terhadap mereka walaupun dilihat dari tingkat materialnya terpenuhi, bahkan lebih ekstrem lagi mereka selalu mendapatkan cercaan, cemoohan, dan hinaan dari bangsa sendiri. Mereka telah dianggap sebagai penghianat bangsa.Anak-anak yang dilahirkan dengan mendapat status ayahnya selalu berlaku kurang hormat terhadap ibunya. Meskipun status formalnya sama dengan kaum Belanda totok, dalam kenyataannya golongan peranakan dipandang rendah oleh kaum totok atau kaum Belanda asli.
Kehidupan Nyai hidup diantara dua dunia menimbulkan marginalisasi dengan akibat mengaburkan identitasnya, maka keduduknnya baik di dunia Eropa maupun dunia pribumi menjadikan mereka menjadi non entitas. Para Nyai ini akan kehilangan ikatan-ikatan primodialismenya antara lain ikatan kerabat, ikatan desa, ikatan eligius dan lain sebagainya. Di satu sisi mereka mendapatkan materi yang melimpah tetapi disisi lain mereka mendapat tekanan batin karena tidak diterima oleh kalangan pribumi ataupun kalangan Belanda totok. Dengan kata lain para Nyai atau bahasa kasarnya gundik ini tidak mendapat perlakuan layak dan dianggap rendah di dunianya. Di kalangan Eropa para Nyai tidak diakui sebagai istri orang Belanda, karenanya mereka sudah sulit sekali masuk dunia orang-orang Belanda totok. Sementara itu dikalangan pribumi mereka dijauhi atau dikucilkan maka tidak ada keleluasaan bergaul dengan komunitas pribumi. Hubungan pergundikan ini akhirnya tidak menghasilakn akulturasi tetapi kemudian menghasilkal golongan Meztizen cultuur, ialah kebudayaan kaum mestizo atau golongan peranakan. Gaya hidup mestizo ini dapat terlihat dalam bentuk arsitektur, pakaian, makanan, dan sebagainya. (Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1994: 152-155) .
Walaupun ada kekuatan fiktif persamaan (egalite) dan persaudaraan (fraternite) kulit putih yang tidak ambigu, orang-orang Belanda tidak hanya hidup dengan perempuan-perempuan setempat, tetapi menikah dengan penduduk pribumi asli maupun yang berdarah campuran, namun hal ini dianggap sebagai kebiasaan yang normal. Masalah perempuan simpanan dalam dalam masyarakat Hindia Belanda dapat dikatakan unik. Bangsa kulit putih ini telah menjalin hubungan dengan perempuan pribumi hampir di setiap masyarakat kolonial, dengan kata lain hampir di wilayah kolonial seperti di Asia, Afrika, maupun di Amerika Latin pasti terdapat permasalahan mengenai seks. Namun ada yang membedakannya dengan yang terjadi di Hindia Belanda pertautan antar ras berkembang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bentangan budayanya. Pertautan antar ras menjadi bagian dari moral dan adat kebiasaan wilayah tersebut yaitu dengan para pria lajang baik kelas atas maupun kelas bawah hidup bersama dengan perempuan simpanannya. (Frances Gouda, 2007 : 290-291)
Bagaimanapun juga Nyai adalah ibu dari kaum indo berdarah campuran. Dari data yang diperoleh menjelaskan bahwa perempuan simpanan pada akhir 1925 ada 27,5 % dari seluruh orang Eropa yang tinggal di Indonesia, yang memilih menikah dengan penduduk pribumi atau pasangan berdarah campuran. Proporsi ini tetap bertahan tinggi sampai dnegan tahun 1940, namun ketika itu turun 20 %. Disamping itu pada sekitar tahun 1930-an hampir total dari seluruh jumlah penduduk yang termasuk ke dalam klasifikasi “orang-orang Eropa resmi yang lahir di Eropa” sedangkan 70 % sisanya banyak yang memiliki sejumlah nenek moyang di Indonesia, khususnya yang berasal dari Jawa (Frances Gouda, 2007: 291). Bangsa Belanda sendiri memperlakukan para Indo-Eropa sebagai kaum minoritas karena dianggap sebagai hasil dari Hibriditas atau pencampuran ras.
C. Perlakuan terhadap Wanita Belanda yang Menikah dengan Pribumi dan Keturunannya.
Memang sebagian anak-anak perempuan berdarah campuran dari keluarga Hindia Belanda dianggap sebagai calon pewaris kekayaan besar nenek moyangnya di masa kolonial, meskipun hal ini hanya ada pada abad ke 20 tetapi faktor itu telah menjadikan minat utama para lelaki Belanda untuk menikah dengani perempuan Eurasia (dari hasil percampuran darah Asia Eropa). Hal ini akan sangat berbeda apabila dibandingkan dengan yang dilakukan perempuan Belanda yang bersedia berpasangan dengan laki-laki Indonesia, reaksi masyarakat Eropa cenderung kurang bersahabat. Memang awalnya pada tahun 1848 hukum sipil Eropa telah bahwa laki-laki Indonesia yang menjadi pasangan resmi perempuan Belanda akan mendapatkan klasifikasi Eropa seperti istrinya seperti Eropa melalui perkawinan. Akan tetapi, dalam konggres Yuridis di Batavia tahun 1887, para ahli hukum mencantumkan keberatan mendasar mereka atas ketentuan tersebut dan menentukan kebijakan terbalik. Oleh karena itu, setiap perempuan Eropa yang secara sukarela menurunkan kehormatannya dengan menikah dengan laki-laki pribumi tidak berhak mendapatkan apa-apa yaitu tidak mendapatkan perlakuan yang layak dan perlindungan warga negara dari masyarakat Eropa. Dalam pasal 158 undang-undang yang telah direvisi pada tahun 1898 yang mengatur masalah perkawinan campuran di Hindia mengatur secara tegas “setiap perempuan yang menerima perkawinan antar ras mendapatkan status kewarganegaraan suaminya” (Frances Gouda, 2007:298-299).
Alasan yang mendasari laki-laki kulit putih untuk melindungi istri dan anak-anak perempuan mereka dari apa yang disebut dengan fecundity atau fertilitas (istilah dari Edward Said) dikarenakan kekhawatiran karena gairah seksualitas dan kekacauan orang-orang pribumi yang mengebu-gebu, baik di Asia Tengah, Asia, dan Afrika. Pandangan ini kemudian bercampur dengan kepedulian yang berkembang akan ras dan kekhawatiran untuk menjaga batas yang tegas antara penguasa dan yang dikuasai. (Frances Gouda, 2007:321).
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Konsul Jenderal AS Du Bois pada tahun 1928 sekelompok orang Indo Eropa yang melestarikan pertalian antar ras, tanpa mempermasalahkan konfigurasi gender yang akan menurunkan mereka, mereka sendiri mulai khawatir setelah melihat kecemasan politik pada sebagian besar penduduk Belanda totok yang sifatnya reaktif di Hindia Belanda.. Kelompok sayap kanan atau lebih dikenal dengan kaum Belanda totok mulai memandang kelompok Indo sebagai kelompok sosial yang menyusahkan dan tidak jelas status identitasnya. Orang-orang Eropa konservatif dalam masyarakat kolonial seperti anggota kelompok ultra reaksioner verlandsche club (klub patriotik) mulai memperlakukan kaum Indo dengan prasangka rasial yang tinggi dan banyak upaya untuk mempermalukan mereka dengan penindasan-penindasan ringan. Pada waktu yang bersamaan kelompok blijver (yang menetap) dalam proporsi Eurasia mulai menuntut posisi yang istimewa bagi konstituennya karena mereka lahir dan besar di Hindia atau dengan kata lain mereka memiliki moral atas tanah kelahiran mereka. Upaya ini terlihat dari upaya kelompok indo Eropa pada tahun 1930-an yang membujuk volskrad untuk memberikan hak mereka atas tanah dan menggagalkan keputusan dari Undang-Undang Agraria 1870.
Kedudukan kaum Indo ini semakin terpojok ketika pada tahun 1919 Encyclopaedie van Nederlandsche Indie telah menyebutkan istilah orang miskin yang berbahaya dan Indo gembel yang keras dan kasar yang menjadi pengacau di kampong. Situasi terhadap orang-orang Indo ini semakin terlihat buruk selama tahun 1930-an ketika muncul orang-orang berpendidikan tinggi mulai menghalangi mata pencaharian kaum Indo Eropa dengan mengancam akan membatasi jumlah pekerjaan di bidang birokrasi atau industri swasta yang secara tradisi telah dipersiapkan bagi mereka. Dan hanya dalam waktu 10 tahun proporsi orang Indonesia diantara para pekerja tekhnik meningkat. Meningkatnya kemiskinan kaum Indo sejak tahun 1930-an membuat masyarakat totok reaksioner lebih bersikap ambivalen terhadap sekelompok besar laki-laki dan perempuan Belanda yang secara rasial tidak jelas. Masyarakat Belanda kolonial yang konservatif mulai mengucilkan gadis-gadis Indo dan para perempuan lajangnya dengan gadis yang tidak bermoral dan indolen (asusila). Perlakuan yang kurang baik dari kelompok reaksioner yang cenderung fasis menimbulkan nasionalisme yang tinggi yang kemudian menjadi oposisi dari gerakan-gerakan nasionalisme pribumi. Antara kelompok nasionalis pribumi dan golongan Indo terjalin hubungan atau simbiosis mutualisme . dari hubungan tersebut akhirnya mengilhami organisasi-organisasi pergerakan diantaranya adalah Insulinde.
Kedudukan kaum Indo sendiri di seluruh wilayah di Hindia Belanda tidaklah sama. Di Jawa memang mereka bersama-sama dengan kaum pribumi dianggap tidak mempunyai arti apa-apa apabila dibadingkan dengan Belanda totok yang mempunyai kekayaan. Namun apabila melihat konteksnya di wilayah pedalaman Hindia Belanda misalnya di Papua, para golongan Indo ini tetap mendapatkan perlakuan yang terhormat. Mereka tetap memiliki kedudukan, kekuasaan, dan lebih hebat bahkan mereka dijadikan sebagai seorang “patriot pamong” apabila dibandingkan dengan penduduk primitive papua.
Pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda sendiri mulai muncul pembahasan mengenai tempat yang layak diperuntukkan untuk para kaum Indo-Eropa. Pandangan ini kemudian berpengaruh terhadap perkembangan feminisme yang lebih banyak membahas mengenai hilangnya kekuasaan para kaum Ibu dari Hindia (Jawa) setelah melahirkan anak-anak mereka yang berdarah campuran sementara mereka tetap menajadi Nyai. Pandangan mengenai feminisme ini kemudian membentuk pandangan umum mengenai pengabdian dan kelemahan yang secara hakiki berhubungan dengan tertindasnya kebudayaan pribumi oleh peradaban Barat dari pihak laki-laki dari kalangan Eropa atau ayah dari kaum Indo Eropa yang menikah dengan wanita Hindia. Bagaimanapun juga kedudukan laki-laki Eropa berhak untuk menentukan para pembantu mereka termasuk di dalamnya adalah para Nyai atau perempuan simpanan mereka. (Frances Gouda, 2007:309). Perempuan Indo-Eropa maupun pribumi sering kali dianggap sebagai perempuan yang tidak terdidik dan hanya menyenangi kesenangan sesaat, sehingga mereka tidak tertarik dengan sisi-sisi kehidupan lain.
D. Bentuk-Bentuk Percampuran Budaya
Gaya hidup golongan pendukung pada masyarakat kebudayaan Indis termasuk di dalamnya adalah pendukung dari golongan wanita peranakan berdarah campuran anak dari wanita pribumi yang yang menjadi Nyai (perempuan simpanan dari para pejabat Belanda) atau anak dari wanita Belanda yang menikah dengan laki-laki pribumi menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan kelompok-kelompok sosial lainnya, terutama dengan kelompok tradisional Jawa. Para perempuan simpanan atau Nyai ini umumnya mereka hanya berorientasi pada materi semata, sehingga yang kemudian terjadi pada peranakan darah campuran mereka adalah tidak mempunyai identitas yang pasti atau disisi lain berbeda dengan akar budaya Belanda dan disis lain berbeda dengan akar budaya Jawa. Hal yang sama juga terjadi pada keturunan perempuan Belanda yang menikah dengan laki-laki pribumi. Perbedaan itu terlihat jelas pada ketujuh unsur budaya.
Orang Eropa yang bertempat tinggal di Jawa sudah sejak lama berdampingan dengan dunia pribumi dan membangun peradaban campuran. Masyarakat Belanda di Jawa telah menyatukan rangkaian kosmologi Jawa yang telah bercampur dengan kepraktisan bangsa Belanda yang dikatakan bukan hanya sekedar omong kosong, moral keadilan diri, dan kekhawatiran spiritual. Namun meskipun saling bertentangan, gagasan, dan realitas gaya budaya Hindia yang dirajut sendiri dan sinkretik ini tetap bertahan hingga pecahnya perang dunia II. Perbedaan itu terlihat jelas pada ketujuh unsur budaya.
1. Bahasa.
Sejak masa akhir abad XVIII sampai awal abad XX mulai nampak dengan kuatnya peran bahasa Melayu pasar yang berbaur dengan bahasa Belanda, yang berawal dari bahasa komunikasi yang dipergunakan oleh keluarga dalam lingkungan indische landshuizen yang kemudian dipergunakan oleh golongan Indo-Belanda. Di Batavia kemudian bahasa ini berkembang. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur proses perpaduan bahasa Jawa dengan bahasa Belanda dipergunakan oleh sebagian masyarakat pendukung kebudayaan Indies yang menimbulkan kebudayaan Pidqin atau bahasa campuran yang pada umumnya dipergunakan oleh orang-orang keturunan Belanda dengan ibu Jawa. Dari keluarga tipe ini pengaruh kebudayaan Jawa sangat besar, lingkungannyapun adalah lingkungan Jawa dan sehari-hari mereka mendengarkan bahas ibu serta menyaksikan tingkah laku orang Jawa. Selain itu anak-anak ini harus mendengar bahasa Belanda dari ayahnya sehingga mereka mengucapkannya lafal dan lidah Jawa. Bahasa campur ini juga digunakan oleh Cina keturunan dan timur asing. Meskipun terdapat banyak upaya dari kaum Belanda sayap kanan (kaum totok) pada tahun 1930-an yang menciptakan pemilihan yang lebih jelas antara kelompok-kelompok ras yang berbeda di Hindia Belanda. Beberapa generasi ketiga atau keempat Hindia Belanda tidak dapat melafalkan beberapa abjad atau kata-kata tertentu dengan benar dan berbicara petjok atau Belanda bengkok. Hal ini mengundang ejekan terutama dari kalangan perempuan kulit putih yang kemungkinan besar baru datang dari Belanda. (Frances Gouda , 2007 : 293).
2. Kelengkapan hidup.
Unsur rumah tempat tinggal yang mengadopsi kenyamanan tenpat tinggal keluarga di Eropa yang berukuran besar dan berhalaman luas yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan alam tropis. Penggunaan kelengkapan dan peralatan hidup yang umum digunakan di Eropa diperkenalkan pada masyarakat Indonesia seperti lemari, kursi, tempat tidur,meja. Untuk penggunaan peralatan ini awalnya para bangswan dan priyayi yang menggunakan peralatan rumah tangga yang disebut dengan meubelair. Sementara untuk pakaian dan perlengkapannya yang mengkombinasikan kultur Eropa, Cina dan Jawa. Kaum wanita Indis akibat pengaruh pembantu rumah tangga dan para Nyai, mengenakan sarung dan kebaya. Kain dan kebaya ini juga di pakai untuk kehidupan sehari-hari di rumah oleh kaum wanita Eropa, sedangkan pria mengenakan sarung dan baju taqwo atau pakaian tidur motif batik walaupun untuk pakaian resmi, pakaian Eropalah yang digunakan. Alat berkarya yang dikenalkan oleh orang Eropa seperti mesin jahit, lampu gantung, lampu gas, kereta sado, kereta dengan roda berjeruji. Aneka masakan dan makanan yang mengkombinasikan dua selera barat dan timur.
3. Gaya rumah atau tempat tinggal kebudayaan Indis.
Gaya hidup dan bangunan rumah Indis pada tingkat awal cenderung banyak bercirikan budaya Belanda. Hal ini terjadi karena para pendatang bangsa Belanda pada awal datang ke Indonesia membawa kebudayaan murni dari Belanda. Pengaruh afektif kebudayaan Belanda yang sangat besar lambat laun makin berkurang, terutama setelah anak keturunannya dari hasil perkawinan dengan bangsa Jawa makin banyak. Perkawinan di antara mereka melahirkan masyarakat Indo. Mereka menyadari akan perlunya kebudayaan Belanda untuk tetap diunggulkan sebagai upaya untuk menjaga martabat sebagai bangsa penguasa. Masyarakat Indo dan para priyayi baru ini masih tetap menganggap perlu tetap adanya budaya masa lampau yang dibanggakan. Mereka menganggap perlunya menggunakan budaya Barat demi karier jabatan dan prestisenya dalam hidup masyarakat kolonial. Hal semacam ini tampak, misalnya dalam cara mereka bergaul, dalam kegiatan hidup sehari-hari, seperti menghargai waktu, cara dan disiplin kerja, dsb.
Pentingnya si “jago” di atas rumah di lain sisi akibat pertemuan dan percampuran peradaban Jawa dan Eropa (Belanda) melahirkan gaya budaya campuran, gado-gado. Di mata suku Jawa ada pendapat budaya Indis adalah kasar atau tidak Jawa. Sementara di mata orang Belanda dianggap rendah dan aneh. Di berbagai kota di Jawa terdapat nama jalan atau kampung dengan memakai nama orang atau bahasa Belanda (Eropa) yang acap kali orang sudah tidak mengenalnya. Sementara itu hiasan di atas atap rumah juga menjadi salah satu ciri budaya Indis. Di Jawa sendiri, hiasan di bagian atap rumah kurang mendapat tempat, kecuali pada bangunan-bangunan peribadahan (masjid, gereja, pura, dan candi). Pada bangunan rumah Eropa, hiasan kemuncak mendapat perhatian dan mempunyai arti tersendiri, baik dari sudut keindahan, status sosial, maupun kepercayaan. Banyak rumah penduduk di Demak, Jawa Tengah, pada bubungan atapnya dihiasi dengan deretan lempengan terakota yang diwujudkan seperti gambar tokoh-tokoh wayang, berderet-deret dengan gambar gunungan tepat di tengah-tengah. Masing-masing lempengan terakota dihiasi dengan mozaik pecah-pecahan cermin, sehingga di siang hari memantulkan sinar yang gemerlapan. Hiasan atap rumah-umah di Demak ini jelas hanya berfungsi sebagai hiasan semata-mata, tanpa mempunyai arti simbolik tertentu.Kehadiran bangsa-bangsa Eropa di Indonesia sejak awal abad XVI mempengaruhi berbagai unsur kebudayaan di antaranya juga dalam hal hiasan kemuncak bangunan rumah.
4. Bidang pendidikan dan pengajaran.
Sebagai contohnya pada keluarga bangsawan dan priyayi Jawa, anak-anak diasuh oleh para pembantu (yang disebut emban yang bertugas mengasuh anak, inya bertugas menyusui, wulucumb/abdi pendamping). Hal demikian rupanya diikuti oleh keluarga Belanda, Indo, dan priyayi baru, yang anak-anaknya diasuh oleh pembantu (babu, jongos, supir, yang bertugas sebagai pamong anak-anak yang dinekal di negri Belanda). Proses pendidikan tradisonal Jawa mempengaruhi. Yang semula berfungsi sebagai pelestarian budaya dan berkesinambungan generasi telah melunakan masyarakat Indis. Banyak unsure-unsur budaya jawa mempengaruhi anak-anak keturunan Eropa dan sebaliknya. Pendidikan mengantarkan anak-anak priyayi Jawa sebagai elit baru. Awalnya para priyayi menuntut kemajuan para puteranya dengan pendidikan modern, dengan maksud mereka dapat menduduki jabatan dalam administrasi pemerintahan, suatu profesi tertentu yang dipandang dalam masyarkat Jawa.
5. Kesenian.
Pengaruh unsur kesenian Eropa ditemukan dan bercampur dengan budaya Jawa pada seni kerajinan, seni pertunjukan, sastra dan film.
6. Ilmu Pengetahuan dan kemewahan gaya hidup.
Peran orang-orang kaya Eropa dan Indo dalam pengembangan ilmu pengetahuan sangat besar, seperti pendirian teropong bintang, pusat-pusat penelitian tanaman kehutanan dan perkebunan, pembangunan rumah mewah, villa. Dsb.
i. Religi.
Kaitannya dengan religi terdapat enkulturasi yaitu suatu proses pembentukan budaya dari dua bentuk kelompok budaya yang berbeda sampai muncul pranata yang mantab. Dalam pembahasan kajian teologi enkulturasi dapat dikatakan sebagai rancang bangun teologi lokal. Proses ini tidak hanya didukung oleh keseluruhan penyesuaian diri dalam kehidupan sosial, tetapi juga didukung oleh pengalaman-pengalaman sosial seperti bentuk upacara atau bahasa, tingkah laku, lambang, dan symbol, serta sistem kepercayaan. Proses enkulturasi yang berjalan baik akan memunculkan suatu bentuk perpadauan dalam keharmonisan, sedngkan enkulturasi yang mengalami kegagalan akan mendatangkan antara enkulturasi dan daya cipta. Kegagagalan ini terjadi apabila dalam prosesnya berkembang dengan sistem pemaksaan, tidak luwes, tidak bebas ataupun tidak lancar. Sedangkan rancang bangun lokal disebut dengan inkulturasi. Inkulturasi ini diformulasikan dalam bentuk sinkretisme kebudayaan, kesenian, dan agama setempat. Sebagai contohnya di gereja Jawa, percampuran tampak dalam penggunaan gamelan, wayang, dan bahasa, pakaian dalam liturgy gereja. Pematungan Sang allah Bapa, Putra dan Roh Kudus dalam langgam arca gaya Jawa Tengahan. (Djoko Sukiman, 2000:44-107)

5. Kesimpulan
Keberadaan para Nyai atau perempuan simpanan para pejabat kompeni atau pejabat kolonial Belanda sudah ada sejak kedatangan bangsa Belanda di Indonesia. Awalnya memang praktek-praktek pergundikan atau oleh pejabat tinggi VOC pada waktu itu sebagai pelanggaran seksual tidak diperbolehkan, namun karena ada pelarangan pengiriman wanita Belanda ke Hindia Belanda dengan berbagai alasan maka untuk memenuhi kebutuhan seks para pejabat Belanda itu meminta perempuan pribumi untuk dijadikan pembantu (baboe) sekaligus sebagai pelayan dalam hubungan seksual. Para perempuan simpanan pejabat Belanda itulah yang nantinya disebut dengan Nyai. Karena dianggap hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan materi maka perlakuan terhadap para Nyai ini, baik dari kalangan penduduk pribumi maupun kalangan Eropa sering kali kurang menyenangkan dan mereka adalah pengecualian dari kedua golongan sosial masyarakat tersebut. Hal iini yang kemudian berdampak pada keturunan mereka atau sering disebut dengan Indo Eropa (Eurasia) tidak mendapatkan status dan pengakuan yang pasti, baik dari kalangan pribumi maupun orang Belanda totok. Mereka adalah pendukung utama kebudayaan Indis. Jadi para Nyai inilah yang berperan besar terciptanya kebudayaan Indis yang banyak ditemukan di Jawa dan kemungkinan besar mungkin dapat ditemukan di luar Jawa.
Institusi Nyai kemudian tergeser setelah ada kebijakan baru dari pemerintah kolonial untuk mendatangkan perempuan Belanda ke Hindia Belanda. Kebijakan ini yang kemudian banyak melahirkan hubungan antara perempuan Belanda yang menjalin percintaan dengan para laki-laki pribumi. Akibat bagi para perempuan Belanda yang menikah dengan laki-laki pribumi adalah tidak diakui sebagai bagian dari kelompok Eropa sehingga tidak mendapatkan perlakuan selayaknya golongan Eropa. Hal ini dikarenakan dalam Undang-undang yuridis yang mengatur hubungan perkawinan antara perempuan Belanda dan laki-laki Pribumi memutuskan bahwa dalam posisi seperti itu perempuan Belanda harus ikut kedudukan atau status suaminya sebagai pribumi. Pelarangan itu dikarenakan ada anggapan dari kelompok Belanda konservatif bahwa keturunan mereka akan mengancam status quo pemerintah kolonial dan ingin membuat garis yang tegas antara pihak yang dikuasai dengan pihak penguasa. Keturunan mereka atau disebut sebagai golongan Indo juga mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari golongan Belanda totok bahkan mereka cenderung akan disingkirkan dari jabatan-jabatan yang prestise. Pada perkembangan selanjutnya kelompok Indo yang merasa disingkirkan oleh kaum Belanda konservatif itulah yang kemudian membentuk organisasi pergerakan seperti halnya insulinde bersama dengan pemuda-pemuda pribumi. Baik keturunan Indo dari para Nyai maupun dari keturunan perempuan Belanda yang menikah dengan laki-laki pribumi inilah yang menjadi pendukung kebudayaan Indis yang nampak pada ketujuh unsur budaya dalam masyarakat. Kebudayaan yang nampak adalah percampuran kebudayaan Barat (Eropa) dan kebudayaan Timur (Jawa). Meskipun kebudayaan Eropa lebih unggul tetapi karena posisi kebudayaan Jawa (Timur) tetap aktif maka yang terjadi adalah percampuran bukan penghilangan salah satu budaya.

Daftar Pustaka
Blusse, Leonard. (1987). Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC. Jakarta: PT. Pustakazet Perkasa.
Djoko Sukiman. (2000). Kebudayaan Indis dan Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad 18-20. Yogyakarta: Bentang.
Djoko Suryo dan Sartono Kartodirdjo. (1991). Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
Gouda, Frances. (2007). Dutch Cultuur Overseas: Praktek Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Jakarta: Serambi.
Imam Akhmad.”Perempuan Dalam Kebudayaan”. Dalam buku Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. (1993). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Irwan Abdullah. (1997). Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan. Dalam Irwan Abdullah (ed). Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kuntowijoyo. (1994). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.

Jurnal
Luviana. “Identitas Perempuan Indonesia Dalam Koran dan Majalah”. Dalam Jurnal Perempuan, No 52 Tahun 2007.
Lolly Suhenty. “Menemukan Sejarah Perempuan Yang Dihilangkan”. Dalam Jurnal Perempuan No 52 Tahun 2007.
Onghokham. “Kekuasaan dan Seksualitas Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial”. Dalam Prisma, 7 Juli 1991.

Ekonomi Moral dan Nasional

PETANI TETAP MISKIN SAMPAI SEKARANG

PENDAHULUAN
Hari Petani sedunia ( International Day of Farmers Struggle) diperingati setiap tanggal 17 April, berawal dari peristiwa di Brasil, kota Eldorado dos Carajos, telah terjadi pembantaian terhadap petani yang sedang menuntut hak-haknya, aparat keamanan Brasil menghalau petani yang berdemontrasi yang mengakibatakan 19 orang tewas dan 60 luka berat. Tragedi ini dijadikan tongggak sejarah gerakan tani. Meskipun memeliki hari yang diperingati secara internasioanal tetapi terkadang petani sendiri tidak mengetahuinya.
Terlalu sering kata petani kita dengar, tetapi siapa sebenarnya mereka ? Secara umum ,petani didefinisikan sebagai orang yang bekerja disektor pertanian dan sebagaian besar hasilnya adalah berasal dari sector pertanian . Namun definisi ini memiliki bias . Dalam batasan statistic orang yang bekerja ndalam satu jam dalam seminggu dapat disebut petani. Selaian itu orang yang tinggal pedesaan dan secara psikologis menjadi petani juga disebut petani. Kalau kita membicarakan tentang petani pasti akan terjadi perdebatan yang panjang. Dalam bahasa Inggris kita lihat kata “peasant” dan “farmer”. Secara mudahnya “peasant” adalah gambaran dari petani yang subsisten sedangkan “ farmer “ adalah petani modern yang bertani dengan menerapkan tehnologi modern serta memiliki jiwa bisnis (agrobisni) . Jemes Scoottt menyatakan bahwa moral ekonomi petani di dasarkan atas norma subsistensi dan norma esiprositas. Di mana ketika seorang petani mengalami suatu keadaan yang menurut mereka (petani-red) dapat merugikan kelangsungan hidupnya, maka mereka akan menjual dan menggadai harta benda mereka.
Hal ini disebabkan oleh norma subsistensi. Sedangkan resiprositas akan timbul apabila ada sebagian dari anggota masyarakat menghendaki adanya bantuan dari anggota masyarakat yang lain. Hal ini akan menyebabkan berbagai etika dan perilaku dari para petani. James C. Scott menambahkan bahwa para petani adalah manusia yang terikat sangat statis daktivitas ekonominya. Mereka (petani-red) dalam aktivitasnya sangat tergantung pada norma-norma yang ada, mendahulukan selamat dan tidak mau menngambil resiko. Aktifitas mereka hanya semata mata mencukupi kebutuhan konsumsi (…earn very litte from his farming actifis ) James Scott petani subsisten inilah yang dinamakan ekonomi moral petani. Mereka merasa tidak memiliki kemampuan untuk melakukan yang tidak biasa meraka lakukan. Pendekatan ekonomi-moral menunjuk “desa” dan “ikatan patron-klien” sebagai dua institusi kunci yang berperan dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan anggota komunitas. Fungsi operasional desa adalah menjamin suatu ‘pendapatan minimum’, dan meratakan kesempatan serta resiko hidup warganya dengan jalan memaksimumkan keamanan dan meminimalkan resiko warganya. Dalam fungsinya itu desa merapkan aturan dan prosedur bagi terciptanya sebuah kondisi di mana warga desa yang miskin (siapa medapatkan apa) akan tetap memperoleh jaminan pemenuhan kebutuhan subsisten minimum dengan cara menciptakan mekanisme kedermawanan dan bantuan dari warga desa yang kaya (siapa memberi apa).
Desa akan memberikan jaminan kebutuhan subsisten minimum kepada seluruh warga desa sejauh sumber-sumber kehidupan yang dimiliki desa memungkinkan untuk itu Institusi yang menjadi pasangan desa adalah ikatan patron-klien. Insitusi ini tercipta dalam kondisi sosial-ekonomi yang timpang: ada sebagian orang yang menguasai sumber-sumber kehidupan, sementara yang lainnya tidak. Ikatan patron-klien bersifat rangkap (dyadic), yang meliputi hubungan timbal-balik antara dua orang yang dijalin secara khusus (pribadi) atas dasar saling menguntungkan, serta saling memberi dan menerima . Dalam ikatan ini pihak patron memiliki kewajiban untuk (memberi perhatian kepada kliennya layaknya seorang bapak kepada anaknya.
Dia juga harus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan kliennya. Sebaliknya, pihak klien memiliki kewajiban untuk menunjukkan perhatian dan kesetiaan kepada patronnya layaknya seorang anak kepada bapaknya. Langgeng tidaknya sebuah ikatan patron-klien bergantung pada keselarasan antara patron dan kliennya dalam menjalankan hak dan kewajiban yang melekat pada masih-masing pihak dengan terjalinnya hubungan yang saling menguntungkanDesa dan ikatan patron-klien ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Desa berperan dalam mengatur distribusi sumber-sumber kehidupan yang tersedia di dalam desa untuk menjamin tersediannya sumber-sumber kehidupan yang dibutuhkan warganya, semantara ikatan patron-klien menjadi institusi yang memungkinkan terjadinya distribusi kekayaan – sumber-sumber kehidupan di dalam desa – dari si kaya kepada si miskin melalui praktik-praktik ekonomi dan pertukaran-pertukaran sosial di antara warga desa. Jaminan yang diberikan desa dan ikatan patron-klien tertuju pada pemenuhan kebutuhan subsisten warga desa.Secara agak kasar, Scott (1983:4) menggambarkan perilaku subsisten sebagai usaha untuk menghasilkan beras yang cukup untuk kebutuhan makan sekeluarga, membeli beberapa barang kebutuhan seperti garam dan kain, dan untuk memenuhi tagihan-tagihan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dari pihak-pihak luar. Intinya, perilaku ekonomi subsisten adalah perilaku ekonomi yang hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup paling minimal.
Perilaku seperti itu tidak lahir dengan sendirinya atau sudah demikian adanya (taken for granted), melainkan dibentuk oleh kondisi kehidupan –lingkungan alam dan sosial-budaya– yang menempatkan petani pada garis batas antara hidup dan mati – makan dan kelaparan.
Sebagai kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber agraria, petani sangat rentan terhadap gangguan yang berasal dari alam – bencana, ancaman hama, cuaca dan sebagainya. Sementara sebagai warga komunitas desa, petani memiliki kewajiban untuk memenuhi tuntutan yang datang dari kekuatan supradesa – pungutan pajak, upeti dan sebagainya. Kondisi yang sudah melingkupi kehidupan petani selama berabad-abad lamanya itu pada akhirnya membentuk pandangan hidup mereka tentang dunia dan lingkungan sosialnya.
Pandangan hidup inilah yang memberi arah kepada petani tentang bagaimana menyiasati –bukan mengubah– kondisi dan tekanan yang datang dari lingkungan alam dan sosialnya melalui prinsip dan cara hidup yang berorientasi pada keselamatan –prinsip mengutamakan selamat– dan menghindari setiap resiko yang dapat menghancurkan hidupnya
Kondisi yang membentuk karakter dan ciri khas petani pedesaan sebagaimana terurai di atas telah melahirkan apa yang oleh Scott (1983:3) dinamakan “etika subsistensi”, yakni kaidah tentang “benar dan salah”, yang membimbing petani dan warga komunitas desa mengatur dan mengelola sumber-sumber kehidupannya (agraria) dalam rangka memenuhi kebutuhan.-.
Selanjutnya, sebelum kita menjawab pertanyaan bagaimana pendekatan ekonomi-moral menjelaskan sebab-sebab/prasyarat munculnya perlawanan petani, terlebih dahulu perlu kami kemukakan dua hal menyangkut operasionalisasi pendekatan ini, paling tidak dalam studinya Scott (1983). Pertama, pendekatan ekonomi-moral menempatkan “etika subsistensi” sebagai pusat analisis dalam memperoleh kejelasan tentang sebab-sebab dan prasyarat bagi terjadinya perlawanan petani.
Dalam kondisi di mana sumber-sumber kehidupan – terutama tanah – yang tersedia di dalam desa semakin terbatas jumlahnya – karena tekanan jumlah penduduk dan proses modernisasi – apa yang diupayakan petani untuk memenuhi tuntutan pemerataan dan keadilan itu disebut sebagai gejala “shared poverty” (kemiskinan yang dibagi rata) . Pendekatan ekonomi-moral, gejala tersebut merupakan perwujudan kemampuan internal desa untuk menciptakan mekanisme pertahanan terhadap unsur-unsur luar yang akan merusak tatanan yang menjamin tetap terjaminnya kebutuhan subsisten petani
Terciptanya kemampuan internal desa untuk membagi rata sumber-sumber kehidupan yang ada di dalam desa di saat tekanan atasnya meningkat sangat bergantung pada bekerjanya institusi ikatan patron-klien. Artinya, harus ada jaminan bahwa hubungan “memberi dan menerima” di antara warga desa yang kaya dan miskin berjalan sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku di dalam komunitas desa; dan prinsip-prinsip moral, seperti ketulusan (fairness) dan keadilan (justice) harus senantiasa menjiwai setiap hubungan sosial di antara wargadesa.
Dalam kerangka ini, selain ikatan patron-klien berfungsi sebagai institusi yang memungkinkan terjadinya distribusi kekayaan di antara warga desa yang kaya dan miskin, juga memberi kontribusi bagi terciptanya tertib sosial di dalam desa. Argumentasinya, kelanggengan dan keberhasilan seorang patron dalam menjalankan peranannya bersandar kepada kualitas jaminan subsisten yang dia berikan kepada kliennya. Kehendak patron untuk memperoleh kemakmuran/kekayaan bersandar pada usahanya untuk mempertahankan keabsahannya (legitimasi) di mata kliennya, yakni dengan cara mempertahankan jaminan subsisten mereka atas kliennya. Selama patron berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral (etika subsistensi) yang mengatur praktik ekonomi dan pertukaran-pertukaran sosial di antara warga desa..
Mereka melihat aspek moral sangat mendominir kehidupan masyarakat petani. i tradisional di Indonesia tidak mempunyai rasionalitas ekonomi, rasional mereka lebih berdasarkan pada kepentingan sosial yang lebih dominan dan paling menonjol diantara sekian banyak kepentingan. Hal inilah yang menyebabkan kenapa kehidupan petani tidak begitu baik. Pembangunan pertanian dan pedesaan berjalan lambat karena pada dasarnya petani lebih konservatif.
Pandangan diatas baik itu Scoot, dibantah oleh Samuel Popkin , menurut Popkin petani tradisional melakukan tindakan ekonomi atas dasar prinsip yang rasional. Samuel Popkin melihat bahwa petani sesungguhnya adalah individu yang rasional, seperti orang lain ia juga inggin kaya. Dia yakni bila fasilitas yang selama ini dikelola oleh pemerintah dibuat lebih terbuka maka banyak petani yang akan dapat mengambil manfaat dari hal tersebut. Pandangan Popkin tersebut senada dengan pandangan ahli sosiologi interpretatif tentang manusia, manusia adalah makhluk yang berpikir, aktor yang kreatif dari realitas sosial, realitas petani sekarang terjadi karena adanya interpretasi dari stimulus lingkungan yang dihadapinya.
Kalau kita renungkan bahwa pandangan Popkin tersebut ada juga benarnya, kadang kalau kita tak habis pikir begitu banyak sekat-sekat yang membatasi para petani tersebut untuk maju.. Namun menurut Popkin dimana faktor eksternal yang lebih menonjol dalam memahami kenapa petani selalu hidupnya dirundung malang. Popkin melihat bahwa fasilitas yang selama ini dikelola oleh pemerintah dibuat lebih terbuka maka banyak petani yang akan dapat mengambil manfaat dari hal tersebut. Perdebatan antara kubu Scoot dan kawan-kawan dan Popkin akan tidak berkesudahan bila kita hanya sekedar memahami petani dalam ruang lingkup tersebut. Namun perlu yang namanya aksi nyata untuk membuat mereka sejahtera. Penghayatan terhadap kedua prinsip tersebut dapat kita jadikan pijakan kebijaksanaan dalam membangun masyarakat yang hidup dipedesaan terutama para petani.


PETANI INDONESIA

Banyak sekali definisi yang diciptakan tentang kemiskinan, apapun bentuk definisi , kemiskinan adalah suatu keadaan yang sangat tidak menyenangkan,dimana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya,yaitu pangan,sandang , kesehatan dan pendidikan , atau keadaan dimana seseorang , tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai tarap kehidupan kelompoknya, dan tak mampu memanfaatkan tenaga,mental dan pikirannya. Orang jadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesatu, bukan karena tidak memiliki sesatu .Hierarki kebutuhan manusia ada 3 yaitu (1) kebutuhan survival berupa makana, gizi. Kesehatan, air bersih, sanitasi dan pakaian (2) kebutuhan security berupa rumah,kedamaian adanya sumber pendapatan dan pekerjaan (3) kebutuhan untuk mendapatkan pendidikan dasar ,partisipasi,perawatan kekuarga dan psikososial. ,jika diantaranya tak dapat terpenuhi sudah dapat kita katagorikan miskin.
Orang miskin bukan pemalas, orang miskin bukan pengemis. Seringkali kemiskinan sebagai gejala sosial diidentikan sebagai akibat “sikap malas” dari masyarakat itu sendiri. Padahal, jika kita telusuri lebih jauh dan mencari akar persoalan kemiskinan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat kita sesungguhnya tidak terlepas dari peran dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Secara lebih rinci lagi, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pelaksanaan kehidupan bernegara dan bermasyarakat berupa bentuk atau model pembangunan yang diterapkan yang tentunya untuk kesejahteraan rakyatnya. Indonesia sebagai bagian dari identifikasi negara yang sementara berkembang, sepanjang sejarahnya seringkali mengalami kesalahan dalam menentukan kebijakan pembangunan. Kesalahan yang terjadi ini tentunya berdampak terhadap kondisi masyarakat Indonesia khususnya di pedesaan.
Bahkan dimusim panen tibapun petani tetap menjerit, harga jual panen tidak seimbang lagi dengan biaya produksi. Didalampelaksanaan kebijakan tersebut, sehari-harinya pelaku yang ditugasi oleh pemerintahadalah sebuah badan yang disebut BULOG (tingkat pusat) dan dibantu oleh DOLOG(tingkat provinsi) serta sub DOLOG (tingkat kabupaten/kota). Badan ini ditugasi untukmenampung semua hasil pertanian (gabah) yang bekerja sama dengan KUD dimasingmasingwilayah diseluruh Indonesia. Dengandemikian diharapkan agar petani tidakkesulitan untuk menjual hasil panennya, serta harga dijamin tidak akan mengalamiperubahan yang dapat menyebabkan kerugian bagi petani. Selain itu pula diharapkanpetani tidak mengalami over produksi dalam arti sulit untuk menjual karena barang dipasaran berlebihan. Namunkenyataannya tidak demikian adanya, sebab petani sering menjadi obyek permainan oleh orang-orang yang pandai cari keutungan untu kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Misalnya, petani sering mengeluh tentang biaya tanam yang begitu tinggi (pupuk dan obat-obatan), karena petani sudahterkondisikan untuk menggunakan pupuk dan obat-obatan meskipun harganya tinggi tetap harus membeli juga agar masa panen tidak gagal. Namun kronisnya begitu panen dan disetor ke dolog melalui KUD ternyata hasilnya yang diterima oleh petani adalah rugi. Karena perbandingan antara biaya yang tinggi dengan penerimaan (harga sudahditetapkan oleh pemerintah) tidak seimbang dalam artian biaya lebih besar dari pada hasillpenjualan yang diterima. Pemerintah selalu terlambat menetapkan harga pokok gabah, harga selalu ditetapkan setelah panen raya selesai dengan alas untuk menjaga kwalitas gabah yang dihasilkan, ini sangat menyulitkan petani yang sangat terdesak dengan kebutuhan lain . Penderitaan petani kadang diperburuk lagi dengan adanya gagal panen dan pencana alam.
Pupuk yang yang menjadi kebutuhan pokok selalu langka saat dibutuhkan. Memang benar pemerintah sudah memberikan subsidi yang tidak sedikit pada harga pupuk, tetapi kenyataannya dilapangan permaianan bisnis para pemilik modal sama sekali tidak bisa dimengerti. Terbatasnya jumlah distributor juga penyebebab kelangkaan pupukPemerintah harus menyadari bahwa kelangkaan pupuk yang terjadi saat ini merupakan peristiwa rutin setiap tahunnya. Adanya monopoli dan permainan kotor dalam sistem distribusi memang tak bisa dihindarkan.Pemerintah kurang tegas dalam menata distribusi pupuk. Apalagi di era globalisasi perdagangan saat ini,sektorpertanian kita belum bisa berhadapan dengan sistem global.,Pemerintah mempunyai kewenangan penuh menentukan besarnya kebutuhan pupuk. Melalui perpanjangan tangannya yaitu Departemen Pertanian (Deptan) yang membuat peraturan soal pengadaan pupuk. Sebagai instansi yang paling mengetahui setiap luas tanah petani, Departemen Pertanian mestinya menghitung persediaan pupuk yang dibutuhkan para petani secara cermat., sehingga tidak ada alasan kekurangan pupuk didesa-desa. Kesuiitan mencari pupuk kita lihat antrian panjang petani untuk membeli pupuk yang jauh dari tempat tinggal dan masih harus membawa KTP dan harga yang juga sangat mahal.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi kendala kelangkaan pupuk. Misalnya, dengan memperketat distribusi pupuk bersubsidi menyusul maraknya penyalahgunaan pupuk bersubsidi. Para pejabat harus melihat langsung ke lapangan untuk mengetahui apa penyebab kelangkaan itu.Kasus kelangkaan pupuk ini tidak bisa ditangani secara parsial namun komprehensif dari berbagai segi. Seperti menciptakan pola distribusi yang baru yaitu yang lebih bersifat otonom. Distribusi yang lebih profesional, adanya transparansi dan akuntabilitas dalam tata niaga pupuk.Pemerintah dituntut lebih tegas dalam mengawasi distribusi pupuk dari pabrik ke konsumen. Agar penyaluran subsidi pupuk untuk tahun 2009 senilai Rp 20 triliun dapat tepat sasaran karena distribusi pupuk bersubsidi rawan penyimpangan. Jangan biarkan ada pihak yang mengambil untung besar dari kesengsaraan petani
Benih padi yang seharusnya diberikan secara gratis pada petani, pada kenyataannya petani tatap dikenakan biaya ini dan itu, yang akhirnya tidak gratis lagi. Masalah yang selalu timbul saat musim panen adalah anjoknya harga, tetapi pemerintah selalu menyalahkan petani yang dianggap terlalu tergesa-gesa menjual hasil panen,sementara petani memang sangat membutuhakan uang untuk menutupi biaya produksi dan mencukupi bebutuhan hidup sehari-hari. Seharusnya pemerintah menetapakn harga sebelum penen raya tiba , bukan sesudah panen raya hampir habis , yang diuntungkan adalah tengkulak dan pemilik modal dapat membeli hasil panen petani dengan harga yang sangat murah.
Disamping peran pemerintah yang sangat besar dalam diri petani sendiri harus ditumbuhan jiwa wirausaha, pepatah lama yang mereka pegang: ono dino ,ono upo , (ada hari , ada rejeki seharusnya menjadikan semengat juang petani bukan justru membelenggunya.Kebiasa yang kuarang bermanfaat harus dapat dikurangi. Seperti mengelar hajatan besar-besar melebi kemampuan mereka.Berjudi dengan alasan membuang waktu luang juga harus ditinggalkan. Petani juga harus memiliki kesadaran pendidikan bagi keluarganya, karena tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola pikir seseorang. Kebiasaan buruk petani untuk selalu membakar jerami setelah panen usai ,dengan alasan agar . tanah segara dapat ditanami kembali harus ditinggalkan, petani harus mampu mengurangi ketergantungan pupuk bersdubsidi dan mengunakan pupuk organik.
Untuk mengatasi kemiskinan yang terjadi pada petanisebenarnypemerintahlah yang mempunyai tanggung jawab terbesar disamping peran swasta dan didukung petani sendiri. Karena seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945, pasal 34,
Ayat 1 : Fakkir miskin dan anak – anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Ayat 2 : Negara mengembangkan system jaminan social bagi seluruh
Rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
Mampu sesuai dengan martabat kemenusiaan
Ayat 3 : Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayaan
Kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Dalam UU No. 5 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional ( Propenas) ,ada 4 srategi penanggulangan kemiskinan, yaitu :
1) Penciptaan kesempatan (create opportunity) melaui pelibatan ekonomi makro, pembangunan dan peningkatan pelayanan umum
2) Penberdayaan masyarakat ( peopleempowerment) dengan meningkatkan sumber daya ekonomi dan politik.
3) Peningkatan kemampuan (increasing capacity) melalui pendidikan dan perumahan.
4) Perlindugan social (social capacity) untuk penderita cacat, fakir miskin dan korban konflik social.
Penyuluh pertanian ditempatkan bukan saja di tingkat kecamatan tapi sudah sampai pelosok desa,dengan tujuan mengembangkan petani dan keluarganya secara bertahap agar memiliki kemampuan intelektual yang semakin meningkat ,pembendarahan informasi yang memadai,serta manpu pula memecahkan sesuatu yang baik untuk untuk diri sendiri dan keluarga( menolong petani untuk dapat menolong dirinya sendiri. Dan masih banyak lagi program pemerintah dalam ranngka mewujudkan visi pembangunan pertanian jangka panjang (2005 – 2025) untuk mewujudkan sisitem pertanianinsustrial berkelanjutan yang berdaya saing dan mampu menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan petani


















KESIMPULAN

Sebenarnya keinginan petani adalah sangat sederhana yaitu tersedianya pupuk dan obat-abatan yang murah dan jaminan kepastian harga dasar gabah yang berpihak pada petani, sehingga dari petani yang subsistensi (ekonomi moral petani James Scott) atau peasant dengan purut kenyang dan kesejahteraan tinggi akan mampu mendorong petani mengunakan akal ( ekonomi rasional Samuel Popkin) menjadi farmer yang sebenarnya . Bila kebutuhan dasar terpenuhi maka petani akan mampu berpikir dan berbuat lebih maju.























DAFTAR PUSTAKA

James C. Scott 1981, Moral ekonomi Petani,LP3ES
Syahyuti , 2006, 30 konsep penting Dalam Pembanguanan Pedesaan dan pertanian, PT Bina Rena Pariwara
Hari Poerwanto DR ,2008, Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropolog iPustaka Pelajar,
J. Thomas Lindbland , 1990 Sejarah Ekonomi Modern Indonesia Berbagai Tantangan Baru
Internet , Ekonomi Rasioanal Popkin, Diakses tal I Nop 2009