JAMPRIBADI

Minggu, 11 April 2010

masa menjelang kedatangan Jepang di Bali


Masa Menjelang Kedatangan Jepang

Persiapan Perang di Hindia Belanda

Setelah menyadari bahwa perang di Pasifik tidak akan dapat dihindari setelah pasukan Jepang berhasil menghancurkan pangkalan Armada Amerika Serikat di Pearl Harbour Kepulauan Hawaii, langkah awal yang dilakukan oleh Belanda di Hindia Belanda adalah memperbaiki logistik dan peralatan perang. Pemerintah Belanda kemudian mengangkat van Mook sebagai Letnan Gubernur Jenderal yang diberi tugas istimewa untuk membantu Gubernur Jenderal dalam menghadapi segala hal yang berkaitan dengan Perang Pasifik. Kebijakan yang dilakukan van Mook adalah bertemu dengan pejabat teras Amerika Serikat untuk membicarakan mengenai pembelian pesawat tempur dalam jumlah besar sebagai alat pertahanan di Hindia Belanda apabila Jepang menyerang Hindia Belanda. Permintaan itu disetujui tetapi belum ada kepastian kapan pesawat tempur itu akan dikirim ke Batavia karena pesanan dalam jumlah besar, maka waktu yang dibutuhkan untuk membuatnya juga memerlukan waktu yang relatif lama.

KNIL yang dibanggakan Belanda

Setelah angkatan perang Jepang menyerang Pearl Harbour, para serdadu Belanda tetap mengejek pasukan Jepang sebagai “monyet-monyet kecil yang berkaki pendek” dan “berkacamata tebal’ dan dianggap mustahil dapat menggunakan pesawat-pesawat tempura atau pembom yang dapat melawan serdadu Belanda. Tentu saja ada kebanggaan dari serdadu Belanda karena mereka perjalanan karier mereka yang gemilang, mereka tidak berkaca bahwa tentara yang dikalahkan mereka hanya bersenjata keris dan tombak. Sementara itu, untuk mempertahankan Bali dari invasi Jepang oleh pimpinan KNIL di Bali disediakan satu brigade infantry yang dinamakan pasukan prayoda (diambil dari nama asli Bali) yang dibentuk sejak 1936 dengan anggota dari para pemuda Bali yang dipimpin oleh pimpinan opsir professional Belanda.

Jatuhnya Singapura tanggal 15 Februari 1952 yang dikenal sebagai benteng yang tidak pernah dapat dikuasai oleh siapapun dengan pertahanan laut yang kuat telah meruntuhkan semangat dari serdadu Inggris. Jepang melakukan strategi perang “Blitkrieg” melalui hutan-hutan pedalaman yang sebelumnya tidak diperkirakan oleh pasukan pertahan Inggris di Singapura. Dengan dikuasainya Singapura, maka dapat diramalkan bahwa Hindia Belanda tidak lama lagi akan dapat dikuasai oleh pihak Jepang. Pasca dikuasasinya Singapura oleh Jepang dibawah Jenderal Yamashita, Jepang terus merangsak maju dengan menguasai Filipina yang pada waktu itu dibawah komando Jenderal Douglas Mc Arthur. Selanjutnya menguasai kilang-kilang minyak di Tarakan Kalimantan Timur dan Makasasar. Setelah itu pada 16 Februari 1942 lapangan terbang di Bali yang letaknya di sebelah selatan kota Denpasar diserang oleh angkatan udara Jepang. Pasca penyerangan itu, para opsir KNIL termasuk Letnan Kolonel Rodenburg melarikan diri meninggalkan tangsi-tangsinya di seluruh Bali.

Sikap Antisipasi Terhadap Sikap Tentara Pendudukan Jepang

Mendengar adanya berita yang menyebutkan bahwa para serdadu Jepang sangat doyan wanita sehingga harus disediakan wanita penghibur untuk melayani kebutuhan seks para serdadu, Ide Anak Agung Ngurah Agung (Raja Gianyar) segera bertindak dengan mengungsikan para wanita terutama wanita yang usianya masih muda ke wilayah terpencil di pegunungan. Untuk kepentingan itu, maka dipilih pura yang bernama Gunung Kawi di wilayah desa Sebatu di Distrik Tegalalang yang pada waktu itu merupakan wilayah terpencil yang belum dapat dijangkau oleh mobil. Namun kondisi di Gianyar sendiri masih relatif tenang, masyarakat di Gianyar masih melakukan aktifitasnya sehari-harinya dengan biasa. Kondisi yang agak lain hanyalah diungsikannya para wanita sehingga pelayan kerajaan hanya tersisa para pelayan pria dan jika ada pelayan wanita pastilah wanita yang usianya sudah tua, selain itu juga terdapat kontrolir van romondt yang mengungsi setelah ditinggal oleh para opsir Belanda yang melarikan diri.

Sehari sebelum kedatangan pasukan Jepang, seorang pelukis yang juga merupakan artis yang berasal dari Swis datang ke Pura Agung Gianyar untuk menemui kontrolir van Romondt. Alasan keinginan bertemu adalah ada sebuah berita penting yang akan disampaikan. Berita penting itu adalah pemberitahuan bahwa pasukan Jepang akan datang ke Gianyar pada keesokan harinya untuk melanjutkan perjalanan ke Klungkung dan Karangasem. Berita yang disampaikan tersebut benar karena pada keesokan harinya tanggal 23 Februari 1942 pasukan Jepang tiba di Gianyar. Sejak itu maka bergantilah kekuasaan di Bali dari kolonial Belanda kepada tentara pendudukan Jepang. Yang perlu diingat dari penjajahan Belanda di Bali yaitu meskipun di Bali tidak dibangun industri, perkebunan, maupun sekolah-sekolah tinggi Belanda selayaknya di Jawa tetapi pemerintah kolonial Belanda melestarikan agama Hindu Dharma, kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Bali. Perkembangan di Bali dengan budayanya yang unik dan mempunyai cirri khas telah berhasil menarik wisatawan mancanegara yang pada masa selanjutnya menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat Bali melalui pengembangan pariwisatanya.

Bagian Kedua

Bali di Bawah Kekuasaan Dan Pendudukan Pemerintahan Militer Dai Nippon (Jepang)

Pulau Bali dikuasai oleh pasukan tentara Dai Nippon sejak tanggal 23 Februari 1942. Hal ini ditandai dengan menyerahnya pemerintahan kolonial Hindia Belanda melalui Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachouwer tanpa syarat dilapangan militer Kalijati Jawa Barat kepada Panglima Tertinggi Tentara Jepang Jenderal Immamura. Peralihan kekuasaan dari kolonial Belanda kepada Jepang ditanggapi dengan suasana yang biasa saja dan tidak terdapat suasana gembira atau khawatir dengan peristiwa itu. Orang-orang di Bali pada umumnya atau di Gianyar pada khususnya tetap melakukan aktifitas seperti biasa tanpa adanya perbedaan aktifitas yang mencolok seperti unjuk rasa atau huru hara dikalangan masyarakat. Situasi yang serba tenang ini dikarenakan kondisi masyarakat yang masih sangat lugu dan sebagai wujud pengamalan ajaran agama. Mereka menganggap bahwa pergantian kekuasaan sebagai takdir Tuhan yang maha kuasa atau dikatakan sebagai kehendak para dewata yang tidak dapat dibendung. Reaksi pergantian kekuasaan ini ditanggapi berbeda antara rakyat Bali yang masih lugu dengan Raja Gianyar (ide Anak Agung Ngurah Agung) sebagai seorang pamong yang berpengalaman. Raja Gianyar tersebut merasa khawatir karena pergantian kekuasaan secara otomatis harus diikuti oleh proses penyesuaian diri dengan aturan pemerintah kolonial yang baru. Dalam menjalin hubungan dengan para penguasa Jepang juga sedikit sulit karena Raja Gianyar ini tidak mengenal bahasa Jepang begitu juga sebaliknya.

Menjadi Ketua “Panitia Kerajaan” Dalam Usia 21 Tahun

Setelah Jepang menguasai Bali untuk sementara waktu semua wewenang dan kekuasaan pemerintahan di dalam wilayah swapraja Gianyar diserahkan kepada Raja Gianyar (Ide Anak Agung Ngurah Agung) terutama dalam bidang ketertiban dan keamanan umum. Kondisi tersebut secara langsung menyebabkan intensitas hubungan antara Raja Gianyar dengan pemerintah pendudukan Jepang akan semakin intensif sehingga ditakutkan akan banyak terjadi kesalahan terutama terkait dengan komunikasi. Kendala komunikasi ini sangat penting karena bahasa yang masih asing antara kedua belah pihak. Untuk mengatasi hal itu akhirnya dibentuk “Panitia Kerajaan” yang tugasnya menyelesaikan permasalahan pemerintahan sehari-hari, hanya permasalahan yang penting yang diserahkan kepada Raja Gianyar. Dengan cara ini maka Raja Gianyar akan terhindar dari urusan birokrasi Jepang yang dianggapnya rumit karena masih sangat asing. Panitian yang dibentuk dinamakan panitia kerajaan yang terdiri dari Punggawa (kepala distrik) Gianyar Dewa Gde Ngurah, Sedahan Agung (Kepala Bendahara Kerajaan) Gianyar I Made Oka, dan tiga anggota lainnya termasuk didalamnya Ide Anak Agung Gde Agung (anak dari Ide Anak Agung Ngurah Agung) yang merupakan penulis buku ini. Dalam Panitian Kerajaan ini Gde Agung menjabat sebagai ketua panitia. Tugas utama panitia kerajaan ini adalah membantu raja dan memberi nasehat-nasehat yang dikehendaki dalam menjalankan tugas sehari-hari disesuaikan dengan latar belakang dan perkembangan politik yang baru akibat pendudukan Jepang. Ide Anak Agung Gde Agung masih sangat kurang dalam hal pengalaman terutama yang berkaitan dengan urusan pemerintahan, namun dua tahun kuliah di Perguruan Tinggi Hukum di Batavia ia telah mendapatkan mata kuliah Pengantar Hukum dan Hukum Tata Negara yang kemudian memberikan kredibilitas baginya.

Menjadi anggota sekaligus ketua dalam “Panitia Kerajaan” telah memberikan penghasilan uang yang pertama sepanjang hidupnya yaitu fl. 150,. perbulan. Tempat kerja yang harus ditempati adalah Kantor Pemerintah Swapraja Gianyar yang terletak tidak jauh dari Puri Agung Gianyar terhitung sejak 1 Maret 1942. Tempat ini merupakan salah satu tempat bersejarah dalam sejarah Bali karena dijadikan tempat penandatanganan kontrak baru antara Raja Dewa Agung dari Klungkung dan Raja Bangli Raja Gde Tangkeban dengan wakil pemerintah Hindia Belanda, Komisaris Pemerintah F.A Lieferink dan Residen Bali dan Lombok Bryuin Koops. Kontrak baru ini adalah penyerahan kekuasaan Badung dan Tabanan kepada Kolonial Belanda. Kembali pada Panitia Kerajaan, setiap hari para pejabat daerah yang terpilih ini harus menghadap kepada Raja Gianyar untuk laporan termasuk juga Sedahan Agung (mengurusi Subak/pengairan) dan Kasklerk yang tugasnya melaksanakan pembukuan pengeluaran dan pemasukan keuangan pemerintah swapraja.

Selama menjadi pegawai pemerintah swapraja Gianyar, Ide Anak Agung Gde Agung sering melihat para serdadu Jepang yang merampas barang-barang di pasar-pasar Gianyar, hal ini sangat merugikan para pedagang kecil. Karena jabatannya sebagai pejabat daerah yang harus melindungi kepentingan rakyat maka banyak laporan tentang tindakan para serdadu Jepang tersebut. Langkah yang ia lakukan kemudian mencatat nomor kendaraan yang selanjutnya akan dilaporkan kepada komandan tentara Jepang di Gianyar. Cara ini dilakukan karena apabila dilakukan teguran secara langsung hambatan yang paling besar adalah masalah bahasa yang tidak saling menguasai. Dikisahkan bahwa akibat tindakannya salah satu serdadu Jepang mendatanginya untuk meminta nomor kendaraan yang dicatat dengan membawa senjata, akibatnya para pejabat yang lain berlarian.

Pada masa awal pemerintahan pendudukan Jepang, para pejabat daerah, terutama yang masuk dalam Panitia Kerajaan belum mengetahui secara persis mengenai struktur pemerintahan yang diterapkan untuk wilayah pendudukan di Bali. Seiring berjalannya waktu akhirnya dapat diketahui secara jelas mengenai struktur pemerintahan pendudukan Jepang yaitu menempatkan Bali sebagai salah satu wilayah di bawah kekuasaan Angkatan Laut (Kaigun).

Bali Di Bawah Kekuasaan Kaigun

Bali merupakan salah satu wilayah kekuasaan Kaigun yang berpusat di Makasar (Ujung Pandang). Wilayah kekuasaan Kaigun dipimpin oleh seorang pegawai sipil yang disebut sebagai Minseifu dan dijabat oleh seorang pegawai sipil yang disebut sebagai Minseifu Cokan yang harus bertanggung jawab terhadap panglima tertinggi angkatan laut di wilayah ini. Bali merupakan wilayah Minseibu Cokan daerah Sunda Kecil bersama Lombok, NTT, dan NTB yang pusat pemerintahannya berkedudukan di Singaraja, Bali. Awalnya kepala pemerintahan wilayah swapraja diserahkan kepada raja di Bali yang kedudukan dan wewenangnya sama seperti pada masa kolonial Hindia Belanda. Jumlah pejabat ini ada delapan yang diberi gelar sebagai Syutjo, dengan sistem ini maka dualisme pemerintahan yang diterapkan masa Hindia Belanda sudah dihapuskan. Minseifu Cokan kemudian mengangkat pejabat baru yang disebut sebagai Bunkan Kanrikan di setiap wilayah swapraja yang fungsinya sebagai penghubung dengan angkatan perang Jepang yang meneruskan permintaan untuk memenuhi kebutuhan logistik, termasuk juga tenaga kerja Romusha.

Dalam bidang pendidikan dan pembinaan pemuda, Minseibu terlihat sangat aktif untuk menanamkan pengaruh Bushido (semangat Jepang) dalam hati sanubari para pemuda agar mereka dapat berpartisipasi aktif dalam Perang Asia Timur Raya. Pemerintah pendudukan Jepang hanya aktif dalam pendidikan dan penanaman pengaruh Bushido, sementara dalam hal agama dan budaya tidak ada intervensi atau campur tangan sehingga budaya Bali tetap dapat dilestarikan dan berkembang sesuai dengan tradisinya. Setelah struktur pemerintahan pendudukan Jepang jelas sesuai garis besar yang dirumuskan Minseibu, maka Panitia Kerajaan dibubarkan. Semenjak itu Ide Anak Agung Gde Agung diperkerjakan sebagai pembantu ayahnya di pemerintahan daerah.

Bekerja di Minseibu (Gubernuran) di Singaraja

Ide Anak Agung Gde Agung mulai bekerja di Minseibu Singaraja sejak tahun 1943 yang kemudian berkantor di gedung bekas kantor Residen Lombok dan Bali. Pada saat bekerja di Singaraja tersebut, ia bertemu dengan sarjana hukum yang merupakan warga bali juga yaitu I Gusti Ketut Pudja yang ditempatkan sebagai hakim di Denpasar. Selain itu, ia juga bekerja bersama dengan I Gedhe Panetje yang diperkerjakan di kantor Minseibu bagian kehakiman. Dan satu lagi teman kerjanya adalah I Gusti Ngurah Jelantik, seorang lulusan Universitas Leiden (negeri Belanda). Pada waktu itu gaji yang diterima oleh Gde Agung hanya Rp.65 sebulan. Jumlah uang itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan karena tidak terjadi inflasi yang mengakibatkan kenaikan harga barang tetapi barang impor sangat jarang ditemukan sehingga terjadi kelangkaan pada tekstil. Sebagian besar rakyat tidak berani keluar rumah karena sudah kehabisan bahan pakaian. Pemerintah pendudukan Jepang kemudian mewajibkan penduduk untuk menanam kapas yang kemudian disetorkan kepada pabrik pemintalan kapas yang orang ahlinya adalah orang Jepang sendiri. Namun usaha ini tidak dapat memenuhi kebutuhan bahan pakaian yang sangat besar terutama di desa-desa. Akibatnya banyak warga desa yang tidak berani keluar rumah karena sudah tidak mempunyai persediaan pakaian.

Ayah diperiksa Kompetei karena Fitnah dan Kemudian Ditangkap

Pada bulan Juli 1943 ada kabar yang menyebutkan bahwa Ide Anak Agung Ngurah Agung (Raja Gianyar) dilakukan penyelidikan-penyelidikan karena ada laporan dari pihak-pihak tertentu tentang tindakan subversi. Ada pihak tertentu yang melaporkan bahwa Ngurah Agung menyalahgunakan kekuasaan dan kedudukannya dengan menggunakan orang-orang hukuman yang berada di penjara Gianyar (terdapat di Puri Gianyar) untuk kepentingan pribadinya dan menggunakan pegawai kantor bukan untuk keperluan dinas. Laporan juga terkait dengan tuduhan bahwa Ngurah Agung telah menghasut rakyat untuk tidak menyerahkan logistik kepada Jepang. Laporan tesebut disampaikan orang yang bekerja di pemintalan Jepang kepada pemimpin pabrik pemintalan yang bernama Nishimura. Nishimura inilah yang kemudian melapor pada pimpinan Kompetai yang terkenal bengis yaitu Khawashima. Banyak pula pengikut-pengikut Ngurah Agung yang ditangkap. Dalam suasana genting, Ide Anak Agung Gde Agung tidak bias meninggalkan Singaraja karena pasti akan dicurigai sehingga nasehat-nasehat dan keprihatinannya hanya ditumpahkan dalam surat yang kemudian dikirimkan oleh seorang penjual arak bernama Anak Agung Togog. Surat tersebut tidak ditanggapi karena situasi di Puri Agung Gianyar sangat genting dan Ngurah Agungpun ditangkap oleh Kompetai.

Pasca penangkapan, seorang kepercayaan Ngurah Agung yang bernama Ida Bagus Maregreg yang berasal dari Buleleng berkhianat dan membeberkan barang-barang berharga milik kerajaan kepada Jepang yang sengaja dikuburkan agar terhindar dari penyitaan oleh pihak Jepang. Akhirnya pemerintah pendudukan Jepang menyita seluruh barang berharga Kerajaan Gianyar antara lain berupa keris, perabot rumah tangga, gamelan, tombak yang seluruh bahannya bersal dari emas dan permata. Perkembangan selanjutnya Ide Anak Agung Ngurah Agung Akhirnya diasingkan ke Lombok disertai dengan beberapa orang istrinya, beberapa pelayan pria dan wanita, dan seorang Pedande (rohaniwan Hindu). Kota yang dituju sebagai tempat pengasingan adalah kota Selong di wilayah Lombok Timur. Selama masa tahanan tersebut Ide Anak Agung Gde Agung hanya diperbolehkan mengirim uang sebesar Rp. 250 yang pastinya tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup dengan banyak pengikut.

Dipanggil Oleh Minseibu

Pada pertengahan bulan Agustus 1943, Ide Anak Agung Gde Agung dipanggil oleh Minseibu Chokan Shimidzu. Hasil pertemuan itu adalah pemberitahuan bahwa Ide Agung Ngurah Agung telah ditangkap dan diberhentikan dari jabatannya oleh pemerintah pendudukan Jepang karena telah berbuat kesalahan terhadap pemerintah Jepang dan berkelakuan tidak baik. Oleh karena itu, pemerintah pendudukan Jepang akan mengangkat syutjo baru untuk daerah Gianyar dan Ide Agung Anak Agung yang dipilih oleh pemerintah pendudukan Jepang. Pelantikan jabatan baru itu dilakukan oleh Kepala urusan Pemerintahan Umum Tuan Ineki, juru bahasa Tuan Hosomi, dan adek dari Ide Anak Agung Gde Agung yang bernama Anak Agung Gde Oka di Puri Gianyar. Pasca pelantikan rekasi yang ditunjukkan rakyat Gianyar berbeda-beda, ada yang merasa senang dan bersyukur adapula yang merasa kecewa terutama dari pihak atau oknum yang dianggap telah menfitnah Ngurah Agung. Pengangkatan sebagai syutjo ini terjadi pada tanggal 23 Agustus 1943 yaitu pada saat Ide Anak Agung Gde Agung menginjak usia duapuluh dua tahun, usia yang masih sangat muda untuk pejabat pemerintahan swapraja.

Sejak diangkat menjadi syutjo maka hal itu menjadi permulaan sebagai seorang pamong praja yang tugas utamanya adalah mengabdi kepada rakyat dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan mereka. Tugas itu merupakan tugas yang amat berat karena Bali sedang mengalami pancaroba akibat perang Jepang di Pasifik. Tugas itu tidak dapat dijalankan sepenuhnya karena tidak banyak waktu untuk memperhatikan dan menjalankan usaha mengayomi rakyat dan mewujudkan kesejahteraan bagi mereka. Hal ini dikarenakan hampir semua perhatian harus ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tentara Jepang di garis depan Perang Pasifik. Selama bertugas ssebagai syutjo, gerak-gerik dari Ide Agung Anak Agung selalu diawasi oleh Kompetai agar tidak melakukan gerakan-gerakan yang akan membahayakan kedudukan pemerintah pendudukan Jepang. Pada waktu itu, upaya Jepang untuk mendoktrinasi golongan pemuda sangat gencar dan mendalam.

Harta Pusaka Yang Dirampas Jepang Dikembalikan ke Puri Agung Gianyar

Barang berharga milik Kerajaan Gianyar yang pernah disita oleh pemerintah pendudukan Jepang akhirnya dikembalikan. Pengembalian barang ini dipimpin langsung oleh komandan Kompetai yaitu Tuan Kawhasima. Alasan pemerintah pendudukan Jepang mengembalikan barang-barang berharga tersebut dikarenakan Ide Agung Ngurah Agung adalah pemilik syah barang tersebut dan didapatkan atas usaha sendiri, Barang sitaan tersebut juga merupakan salah satu warisan turun-temurun dari leluhur di Kerajaan Gianyar. Setelah barang yang dikembalikan tersebut diperiksa kembali ternyata permata berlian besar yang terpasang pada hulu keris dari emas tidak dapat ditemukan. Kemungkinan diambil oleh salah satu serdadu Jepang yang ikut menggali barang-barang tersebut.

Beban Berat Sebagai Pamong Praja di Zaman Pendudukan Jepang

Selama menjadi pamong praja masa pendudukan Jepang, Ide Agung Anak Agung harus memenuhi keinginan pemerintah. Keinginan-keinginan tersebut dianggap sangat memberatkan hati karena tidak sesuai dengan pikiran dan hati nuraninya. Kedua tugas yang harus dijalankan tersebut adalah menyediakan tenaga kerja secara paksa yang akan diperkerjakan di Pulau Bali pada infrastruktur dan pangkalan angkatan bersenjata Jepang. Kedua adalah permintaan para serdadu Jepang agar Ide Anak Agung Gde Agung membantu menyediakan wanita penghibur sebagai pemenuhan kebutuhan seks para serdadu. Pengerahan tenaga kerja Romusha adalah perintah resmi dari Minseibu, tetapi untuk merekrut wanita penghibur merupakan perintah dari Kepala Kompetai Tuan Kawashima yang merupakan perintah tidak resmi. Banyak para pengangguran yang ikut rombongan Romusha ke luar Bali karena memang di Bali mereka sangat kekurangan dan tidak ada pekerjaan di desa-desa. Sementara itu untuk menyediakan wanita penghibur di Bali agak sulit karena tidak ada wanita tuna susila yang menjalankan aksinya secara terbuka karena apabila dikatehui oleh masyarakat mereka akan dikucilkan. Penyelesaiannya yaitu mendatangkan dua wanita penghibur dari Banjar Sukawati. Namun masalah tidak berhenti sampai disitu karena wanita penghibur yang dikirim ternyata terjangkit penyakit kelamin, akibatnya Kawashima mendatangi Puri Gianyar dengan marah dan menuduh Ide Anak Agung Gde Agung ingin menyabotir perang Asia Timur Raya. Pada saat itu, Gusti Kompiang Giri pingsan akibat ketakutan. Kawashima pun kemudian meninggalkan Puri Gianyar karena takut kejadian tersebut akan dilaporkan kepada atasannya. Sejak saat itu Kawashima tidak lagi meminta Ide Anak Agung Gde Agung untuk menyediakan wanita penghibur lagi.

Pekerjaanya sebagai pamong praja di pemerintahan swapraja Gianyar membuat Ide Agung Anak Agung banyak mengenal dan berhubungan dengan orang Jepang termasuk dengan Bunken Kanarikan yang bernama Tuan Suzuki yang dibantu oleh pegawai adminitratis bernama Watanabe. Sifat Bunken Kanarikan ini berbeda dengan sebagian besar prajurit angkatan perang Jepang, pejabat ini memperlihatkan sifat simpatik dan tidak kasar. Kerjasama antara I.A.A Gde Agung dengan Tuan Suzuki juga terjalin dengan baik terutama dalam hal penyabutan tamu. Salah satu tamu yang pernah dijamu di Puri Gianyar adalah Marsekal Terauchi Panglima Tertinggi Angkatan Darat Jepang di Asia Tenggara. Bunken Kanarikan ini juga banyak merigankan beban rakyat terkait dengan membantu menolak apabila diminta menyediakan barang-barang keperluan serdadu yang jumlahnya dianggap memberatkan rakyat.

Kunjungan Bung Karno ke Gianyar

Selama menjabat sebagai Syutjo Ide Anak Agung Gde Agung pernah mengalami peristiwa yang cukup mengesankan dalam hidupnya. Peristiwa itu adalah kunjungan Sukarno ke Bali pada akhir tahun 1944. Menurut pendapatnya bahwa kedatangan Sukarno ke Bali karena selain lawatannya ke Bali yang sudah dijadwalkan pihak Jepang juga untuk mengunjungi keluarga yang ada di Bali. Jelas bahwa sebagian besar keluarga Sukarno berada di Bali karena ibunya adalah orang Singaraja (Bali Utara). Kedatangan Sukarno ini disertai oleh Mr. Soebardjo sebagai penasehat Kaigun, Laksamana Shibata seorang opsir tinggi yang menghubungkan antara angkatan laut Jepang dengan angkatan darat Jepang, Laksamana Maeda dari Kaigun dan seorang pegawai tinggi Kementerian Luar Negeri Pemerintah Jepang yang bernama Miyoshi.

Dalam kunjungannya ke Bali tersebut, Sukarno memberikan pidato kepada kurang lebih dua ribu rakyat Bali yang terdiri dari berbagai golongan. Isi pidato yang disampaikan adalah seruan kepada rakyat agar tetap membantu kemenangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya dan menghapuskan penjajahan orang kulit putih agar Asia di bawah Jepang dapat hidup dengan damai. Sukarno juga menentang isu-isu yang menyebutkan bahwa Jepang telah terdesak di Pasifik. Dalam pidatonya itu juga dilontarkan slogan yang membuat hadirin riuh yaitu “Inggris kita linggis dan Amerika kita setrika”. Pidato Sukarno ini tidak terlalu signifikan pengaruhnya bagi rakyat karena sebagian rakyat Bali menderita akibat perang, mereka juga percaya akan hal-hal yang gaib dan tahayul berdasarkan firasatnya. Kejadian-kejadian aneh yang semakin meyakinkan rakyat bahwa Jepang akan segera meninggalkan Bali adalah adanya jutaan kupu-kupu kuning terbang menuju timur laut. Kuning identik dengan Jepang sebagai bangsa kulit kuning, sementara arah timur adalah arah ke Jepang. Selain itu ada pula peristiwa aneh dengan munculnya bintang berekor di cakrawala yang oleh rakyat Bali dipercaya setelah kemunculannya akan terjadi pergantian kekuasaan disertai dengan pertumpahan darah. Oleh para cendekiawan peristiwa-peristiwa tersebut dihubungkan dnegan ramalan dari Joyoboyo yaitu apabila Jepang kalah maka Indonesia akan merdeka dan berdaulat.

Pandangan Ayah Tentang Jodoh

Pada masa remaja Ide Anak Agung Gde Agung dikenal dikalangan remaja perempuan sebagai pria yang menjemukkan dan sangat kukuk bergaul dengan siswi-siswi. Ia hanya terkenal tenggelam dalam buku-buku dan studi (Boekeworm). Pada masa sekolahnya di Malang inilah Gde Agung bertemu dengan Anak Agung Istri Putera yang lebih dikenal dengan nama Vera. Dikisahkan bahwa selama menjadi mahasiswa ayahnya belum pernah membicarakan mengenai jodoh harus dari kalangan putri dari kalangan keluarga. Ide Anak Agung Ngurah Agung bersikap liberal dan membebaskan anak-anaknya memilih jodohnya sendiri termasuk juga Gde Agung. Sebagai contohnya mengenai pernikahan antara adik Gde Agung yang bernama Anak Agung Gde Oka hanya dengan seorang dari golongan biasa yaitu seorang gadis desa penari “arja”, Ngurah Agung memberikan restunya secara ikhlas tanpa paksaan. Begitu pula pernikahan antara Anak Agung Rai adik perempuan Gde Agung dengan Anak Agung Gde Oka yang masih tinggal di komplek Puri Agung Gianyar juga bukan karena derajat yang sama tetapi karena keinginan mereka sendiri.

Bertemu Jodoh dan Perkembangannya

Pada saat libur berkala dari Sekolah Tinggi Jurusan Hukum di Batavia, Gde Agung pulang kampung ke Gianyar Bali. Pada pertengahan 1940 saat berada di salah satu Puri Agung Gianyar ia melihat tiga perempuan yang hendak menjenguk ibunya yang sakit, salah satu perempuan itu adalah Vera yang pernah ditemui lima tahun sebelumnya di Malang. Dari pertemuan itu muncul perasaan yang lain yang tidak dirasakan Gde Agung semasa bertemu di Malang. Hubungan yang terjalin terus berlangsung dan semakin dekat, meskipun tidak terjalin pertemuan secara langsung tetapi hubungan dilakukan melalui surat-menyurat terutama ketika Gde Agung berada di Batavia dan Vera berada di Yogyakarta. Pertemuan mereka berdua di Yogyakarta pada tahun 1941 menjadi pertemuan yang semakin mengakrabkan dan memperdalam rasa cinta mereka. Fase hubungan mereka kemudian dikukuhkan melalui pertunangan atau tukar cincin, namun dalam acara tersebut tidak dilakukan selayaknya golongan bangsawan Bali pada waktu itu, acara yang diselenggarakan sangat sederhana tanpa pesta dan upacara.

Pasca pertunangan mereka masih banyak halangan yang berusaha merintangi hubungan mereka berdua. Informasi mengenai pertunangan antara Gde Agung dan Vera cepat menyebar dikalangan desa Ubud. Orang-orang yang tidakpunya simpati terhadap Gde Agung dan Ayahnya yang mengetahui bahwa pertunangan itu tidak disetujui oleh ibu dari Vera kemudian berusaha mendekati Ibu Vera dan berusaha meyakinkan bahwa pendiriannya benar untuk melarang pernikahan mereka berdua. Dari pertemuan antara Ibu Vera dan oknum-oknum tertentu disetujui untuk menggagalkan pernikahan mereka, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan melarikan Vera yang dilakukan oleh calon suami yang ditunjuk ibunya. Apabila peristiwa yang dirancang tersebut terjadi maka menjadi noda bagi nama baik Vera bagi pandangan umum masyarakat Bali sehingga mustahil bagi Gde Agung yang merupakan pewaris Puri Agung Gianyar akan disetujui oleh ayahnya untuk melanjutkan pernikahan dengan Vera. Namun rencana itu dapat digagalkan karena salah satu pembantunya mengetahui rencana itu sehingga langsung melapor pada Vera. Langkah selanjutnya yang dilakukan Vera adalah menemui ayahnya dan sementara waktu tinggal bersama ayahnya.

Untuk menghindari kejadian serupa terjadi lagi, maka dengan cepat diputuskan bahwa mereka harus secepatnya menikah. Namun halangannya adalah Ayah Gde Agung masih berada di pengasingannya di Lombok. Atas Ijin Bunken Kanarikan, Gde Agung menegirimkan surat kepada ayahnya agar meyetujui pernikahan mereka. Ayahnya menerima persoalan itu dengan lapang dada yang memberikan restu agar mereka berdua cepat menikah. Akhirnya diputuskan untuk menikah pada tanggal 24 Agustus 1944. Persiapan dan upacara pernikahan akan dilaksanakan secara sederhana karena banyak pertimbangan, antara lain Ayah Gde Agung masih berada dalam pengasingan sehingga tidak layak mengadakan pesta secara mewah. Selain itu, karena Bali masih diduduki Jepang yang sedang menghadapi Perang Pasifik, maka jika dilakukan upacara secara mewah ditakutkan akan menimbulkan salah paham dan fitnah. Akhirnya upacara pernikahan dilakukan secara sederhana dengan tetap melakukan berbagai prosesi keagamaan yang merupakan syarat syah pernikahan mereka.

Pada tahun 1945 sudah terlihat adanya perkembangan kekalahan Jepang hampir di seluruh medan Perang Pasifik. Pada saat menunggu istrinya yang sedang sakit, tanggal 17 Agustus 1945 terdengar proklamsi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno Hatta melalui pesawat radio. Berita proklamasi ini tidak menimbulkan gejolak bagi masyarakat Bali. Aktifitas masyarakat tetap berlangsung seperti biasa hanya beberapa mobil di sekitar Denpasar yang membawa bendera merah putih sambil meneriakkan “merdeka merdeka”. Sesudah penyerahan Jepang kepada sekutu, Bunken Kanarikan Suzuki dan pembantunya Watanabe berkunjung ke Puri Agung Gianyar untuk berpamitan dan mengucapkan terimakasih atas kerjasamanya selama masa pendudukan Jepang. Berakhirnya pendudukan Jepang dan diteruskan dengan proklamasi kemerdekaan merupakan peristiwa yang sangat besar dalam sejarah bangsa Indonesia sehingga Gde Agung dan masyarakat Bali sangat berharap besar agar masa depan mereka menjadi lebih baik.

Unsur-unsur yang berbau feodal mana yang saat ini tidak cocok dalam kehidupan seorang birokrat yang demokratis masih tetap dipertahankan walaupun telah menjadi issue sentral untuk dikecam, yang diuraikan oleh Suhartono W, dalam bukunya “Serpihan Budaya Feodal”.

Feodal merupakan pola kekuasaan dengan pemilik tanah sebagai pemegang kekuasaan. Budaya feudal di Indonesia berlangsung sejak masa kerajaan sampai dengan masuknya pengaruh birokrasi yang berlandaskan legal rasional. Dengan kata lain bahwa budaya feodal adalah fragmentasi dari budaya nusantara secara keseluruhan yang menguntungkan pihak penguasa, sebaliknya rakyat mengalami penndasan dan terpinggirkan karena tanah yang menjadi dasar penentuan status seseorang tidak mereka punya. serpihan budaya feodal ini telah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi terutama oleh elit atas. Pihak-pihak yang mempunyai kepentingan memanfaatkan mengambil keuntungan dan melestarikannya tanpa memperhatikan dampak-dampaknya yang menyulitkan rakyat kecil. Rakyat kecil tidak lebih sebagai pelengkap penderitaan karena terakumulasinya kekuasaan ditangan penguasa dan keluarganya. Bebagai bentuk dari serpihan budaya feudal yang sampai saat ini masih kita temui dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah.

a) Symbol bahwa pihak elit feudal harus dihormati, sehingga rakyat kecil harus setia dan patuh terhadap segela kebijakan yang telah ditetapkan oleh para penguasa feudal. Perilaku dan simbol-simbol ini selalu disesuaikan dengan kedudukannya. Semakin tinggi jabatan seseorang maka simbolisme yang dipakai baik dalam pakaian, perabot rumah tangga, maupun juga gaya hidup juga harus tinggi. Konsekuensinya adalah penyesuaian kedudukan dan atribut yang dikenakan mengarah makin meningginya gaya hidup yang serba gemerlap. Pesta pora yang menciptakan biaya hidup tinggi untuk menghasilkan imbalan social politik. Biaya untuk hidup gemerlap itu berasal dari pajak-pajak yang biasanya diperoleh dari rakyat. Sikap ini merupakan perwujudan sikap yang hanya mementingkan kepentingan diri dan keluarganya saja, sementara kepentngan rakyat ditindas dan diperas. Budaya ini sampai sekarang masih dipertahankan oleh segelintir orang terutama orang yang masih mempunyai pengaruh atau kekuasaan dalam masyarakat. Namun pengaruh pendidikan yang tinggi dan teknologi yang semakin modern menjadikan budaya feudal seperti yang diungkapkan diatas tersebut mulai tidak berlaku.

b) Budaya yang hanya berorientasi pada kesenangan penguasa.

Budaya ini menunjuk pada sikap dan tingkah laku masyarakat yang berorientasi ke atas dan selalu menyembah ke atas, sebaliknya ia menyepak ke samping dan ke bawah ke masyarakat yang lebih rendah. Sikap dan tingkah laku ini terjadi karena berlakunya struktur feodal. Tipe budaya seperti ini adalah budaya yang mengharuskan dirinya jangan sampai melakukan kesalahan meskipun harus melakukan pembohongan dan mengorbankan kepentingan rakyat. Budaya seperti ini pada masa-masa sekarang lebih dikenal dengan budaya asal bapak senang. Birokrasi adalah sistem pemerintahan melalui mekanisme kontrol yang ketat, lewat aparatur-aparatur di setiap meja dan kantor. Urusan tidak akan selesai dalam satu meja saja tetapi berlangsung lewat meja yang sangat panjang. Kesannya birokrasi ini berbelit-belit dan membosankan. Maka ada kiat untuk mengatasi panjangnya perjalanan demokrasi ini dengan potong kompas. Yaitu dengan menembak puncak birokrasi caranya yaitu dengan menggunakan suap atau hal sejenis lainnya. Sebab dengan menguasai birokrasi tertinggi berarti aparatur di bawahnya tinggal mengikuti yang ada di atasnya. Di dalam birokrasi itu sendiri diciptakan sistem yang secara tidak sengaja yang memberi umpan birokrasi atasannya yaitu berbuat agar menyenangkan para birokrat baik secara resmi maupun pribadi. Budaya seperti ini masih sangat nampak pada kehidupan dewasa ini yaitu mempermudah segala urusan dengan menyenangkan pihak atas, tanpa ada upaya untuk meningkatkan kemampuan pribadinya. Tentu saja apabila hal ini tetap dipertahankan maka kebobrokan birokrasi akan semakin terlihat.

c) Lungguh dan lurah tetap memegang posisi sentral.

Peran lurah penting sekali dalam konteks operasionalnya. Lungguh merupakan asset yang tetap tinggi nilainya. Sedangkn lurah adalah pemberi bentuk dan pengembang asset. Lungguh dapat disamakan nilainya dengan tanah. Tanah mempunyai fungsi vital baik di pedesaan maupun perkotaan. Secara spasial pembangunan di perkotaan dan pedesaan memerlukan tanah. Di pedesaan lurah sebagai pemilik lungguh dapat memanipulasi dinamika lungguh dalam pembangunan pedesaan. Baik lungguh maupun lurah saling terkait khususnya dalam pengerahan masa untuk berbagai kepentingan. Peran lurah sangat efektif dan menjadi ujung tobak setiap persoalan yang berkaitan dengan masa.

d) Budaya pajak dan upeti.

Budaya pajak atau upeti adalah warisan dari budaya feudal masa kerajaan yang kemudian diadopsi oleh pemerintah kolonial. Penyerahan pajak dan upeti ini sepenuhnya untuk kepentingan penguasa tanpa ada timbal balik pada rakyat. Budaya pajak dan upeti ini biasanya dalam wujud paksaan, baik dalam bentuk maupun besarannya tanpa melihat kemampuan rakyat yang mereka kenai pajak atau upeti tersebut, sehingga aspek keadilan tidak ada dalam budaya ini. Budaya ini pada masa-masa kerajaan dan colonial sebenarnya sangat memberatkan rakyat kecil karena beban yang merek tanggung menjadi semakin besar. Budaya pajak dan upeti serta sumbangan dari pejabat bawahan kepada atasan memancarkan hubungan antara pemberi dan penerima sehingga merupakan hubungan yang serasi.

Tanpa pemberian pajak, upeti, hadiah, maka kehidupan berokrasi tidak akan marak. Tidak dapat dipungkiri bahwa upeti merupakan salah satu masukan bagi birokrat dan akan memperkaya birokrat sendiri. dengan upeti ia akan mampu menerobos rambu-rambu dan dengan memberi lampu hijau maka berokrat akan mengijinkan berbagai kepentingan menyimpang yang sebelumnya dilarang. Langkah jalan pintas ini akan mempercepat langkah-langkahnya agar cepat sampai tujuan. Namun jalan pintas ini sangat menyesatkan karena tidak meberi isi pada tingkah laku yang utuh yang dapat dipertanggung jawabkan.

Lebih lanjut mengenai budaya upeti, pemimpin yang melakukan extended taxes yang diperluas sebab hampir setiap kegiatan mendapatkan upeti atau sumbangan. Upeti pada dasarnya merupakan pajak okasional yang harus diberikan pada para pimpinan. Yaitu para patron mempunyai hajat besar atau hajat kecil dengan nilai yang fleksibel. Hal ini dimaksudkan agar menyenangkan para patron dengan berpartisipasi memberi sumbangan yang diperlukan untuk hajatan. Implikasi psikologis pemberian upeti adalah suatu usaha untuk menjaga hubungan agar tetap kekal. Hubungan psikologis ini dimaksudkan mampu memecahkan masalah ekonomi politis, sehinga pembayaran upeti ini tetap dilakukan meskipun klien dalam keadaan kurang siap.

e) Marknya aksi suap di kalangan birokrat.

Penyuapan secara umum dapat diartikan sebagai upaya mempermudah dalam mendapatkan sesuatu tanpa melakukan suatu tata aturan atau birokrasi yang sesuai dengan apa yang telah diatur. Penyuapan dengan berbagai bentuk; uang, barang-barang kesukaan patron oleh klien. Akibatnya patron akan semakin kaya, dan kekayaan ini jelas merupakan bentuk manipulasi feodal lewat pembayaran suap. Biasanya penyuapan ini digunakan untuk mengekalkan hubungan politis dengan lancar dan damai, biasanya patron akan mengadakan hubungan perkawinan dengan penguasa. Bawahan akan mengekalkan pemerintahan dan mencegah timbulnya perlawanan. ikatan perkawinan jelas akan memasukkan salah satu kelompok ke dalam inner group dan ada dalam political linkage. Budaya suap ini sampai sekarang marak dalam birokrasi di Indonesia. Untuk mempermudah tujuan mereka rela mengeluarkan banyak uang, suap sekarang marak dalam tes-tes Pagawai Negeri Sipil atau suap-suap dikalangan elit birokrat negara terkait dengan berbagai skandal korupsi.

100 Tahun Kebangkitan Nasional

Sumber: Kompas tahun Mei 2008

100 Tahun Kebangkitan Nasional Indonesia

“pemerintah colonial Belanda mempunyai pangilan moral terhadap kaum pribumi Hindia Belanda”

Dalam pidatonya September 1901, ratu Wilhelmina secara tegas menyampaikan, pemerintahan colonial Belanda mempunyai pangilan moral terhadp kaum pribumi Hindia Belanda . Orasi Ratu Belanda dalam sidang pembukaan parlemen itu keudian disepakati sebagai momentum kelahiran faham atau aliran etis dalam kancah politik Kolonial Belanda.

Banyak pihak meyakini bahwa Ratu Wilhelmina mendapatkan inspirasi bagi pidatonya itu dari puisi “The White Man’s Burden” karya sastrawan Inggris Rudyard Kipling, yang dipublikasikan untuk pertama kali dua tahun sebelumnya.

The White Man’s Burden merupakan percikan permenungan Kipling atas nasib rakyat Filipina di tengah perang antara Amerika Serikat dengan Spanyol 1898, untuk memperebutkan negeri mereka. Pesan yang ingin disampaikan Kipling lewat syair tujuh bait adalah bangsa-bangsa Barat memikul tugas yang suci untuk mensejahterakan dan mengangkat derajat bangsa jajahanya diseluruh muka bumi.

Meskipun tidak sama sekali, puisi Kipling setidaknya bukan satu-satunya mataair inspirasi ratu Wilhelmina. Sebelum “The White Man’s Burden” diterbitkan dalam majalah McClure’s pada 1899, sejumlah pejabat pemerintahan, politisi, cendekiawan dan sastrawan Belanda telah mewacanakan gagasan itu.

Tunas pertama gagasan Etis di Belanda muncul dari Pieter Brooshooft (1845-1921), ia adalah seorang wartawan yang dikenal kritis pada masanya terhadap pemerintahan dan masyarakat Belanda.Seperti disebutkan sastrawan Indo-Belanda, Rob Nieuwenhuys dalam buku Oost Indische Spiegel (Cermin Hindia Belanda), antara 1883 dan 1884, Brooshooft menulis karangan sindiran yang menyoroti sikap masa bodoh warga Eropa di Hindia Belanda saat terjadi wabah kolera yang banyak menewaskan warga pribumi. Mereka baru peduli setelah terdapat warga kulit putih yang ikut menajdi korban penyakit tropis tersebut.

Pada 1887, Brooshooft juga melakukan perjalanan keliling pulau Jawa dan terkejut setelah melihat kondisi kehidupan kaum pribumi. Ia kemudin menyampaikan imbauan kepada 12 tokoh terkemuka Belanda untuk memahami dan memperhatikan keadaan yang sangat menyedihkan di Hindia Belanda yang terjadi akibat kebijakan pemerintah Den Haag.

Namun, diantara para tokoh Etissis, tak dapat disangkal Theodore Van Deventer (1857-1915) adalah yang paling dikenal dan berpengaruh di Belanda. Van Deventer adalah seorang praktisi hokum di Hindia Belanda yang kemudian menjadi politisi di Belanda. Saat masih menajdi penasehat hukum di berbagai perusahaan swasta di Hindia Belanda, van Deventer pernah menulis surat kepada orang tuanya. Di sana ia bilang harus dilalakukan sesuatu bagi kaum pribumi , jika tidak suatu hari nanti bendongan akan jebol dan lautan manusia akan menelan kita semua. Seperti tertulis dalam surat tertanggal 30 April 1886.

Beberapa tahun kemudian van Deventer membuat karangan yang terkenal dan diterbitkan dalam majalah De Gids (Panduan) pada 1899. Dalam tulisan yang berjudul Een Erschuld (utang budi) itu, ia menjelaskan bahwa Nederland menajdi Negara makmur dan aman karena adanya dana yang mengalir dari tanah jajahan di Hindia Belanda dan Asia Tenggara. Jadi sudah sepantasnya Belanda mengembalikanya.

Dalam tulisan itu van Deventer yang kemudian menjadi anggota parlemen dari Partai Liberal, bahkan mendesak untuk dikembalikanya seluruh dana hasil keuntungan yang diraup pemerintah Den Haag Dari Hindia Timur sejak 1867.

Balas Budi Setengah Hati

Meskipun politik Etis difatwakan langsung oleh Ratu Wilhelmina, Belanda tidak sampai menterjemahkan politik Etis ke dalam kebijakan colonial yang dilaksanakan secara konsekuen. Gagasan itu juga tidak mengakar secara luas dalam masyarakat Belanda di Hindia Belanda. Di negeri jajahan yang kemudian bernama Indonesia itu, paham Etis hanya dipahami sekelompok kecil pejabat, cendekiawan, sastrawan, dan wartawan yang meskipun jumlahnya kecil tetapi memiliki pengaruh yang besar.

Padahal Paham Etis sempat menjadi wacana politik yang hangat,. Seperti diungkap sejarawan Inggris DGE Hall dalam bukunya Sejarah Asia Tenggara (1988), politisi sosialis di parlemen belanda bahkan menajdikanya sebagai titik tolak untuk menyampaikan doktrin “ Pemerintah Hindia untuk Hindia” yang berisi gagasan untuk memberikan otonomi bagi Hindia Belanda.

Dalam buku Nieuwenhuys diatas, dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dick Hartono., disebutkan dalam prakteknya, haluan Etis hanya menghasilkan perbaikan system persekolahan dan sejumlah usaha lain yang dilakukan secara hati-hatiuntuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Pribumi. Pembangunan sarana irigasi, pendirian bank perkreditan rakyat, dan pengucuran bagi industri kerajinan rakyat adalah beberapa diantaranya.

Meski lewat politik Etis kaum pribumi mempunyai peluang lebih besar menikmati berbagai fasilitas ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, hal itu sama sekali tidak bertujuan untuk benar-benar mensejahterakan rakyat Hindia Belanda. Pendidikan yang ditujukan bagi kaum pribumi hanyalah bertujuan untuk menghasilkan tenaga birokrat rendahan dalam struktur pemerintah colonial. Politik Etis tidak lebih dari sekedar politik Balas budi setengah hati.

Faktor Eksternal

Bagaimanapun, paham politik Etis dalam berbagai kemajuan bagi kaum bumiputera yang dibawanya merupakan masa mulai memudarnya paham kolonialisme dan kekuasaan Belanda yang menyengsarakan. Kian terbukanya kesempatan bagi putera-puteri Indonesia untuk mengenyam pendidikan menengah dan tinggi, termasuk di STOVIA ( Tot Opleiding van Inslandsche Artsen/ Sekolah Kedokteran Bumi putera), yang sudah berdiri sejak 1898 tak hanya menghasilkan pemuda Indonesia yang berilmu, tetapi juga berwawasan luas dan sadar politik.

Meskipun tak dimaksud demikian, munculnya paham politik Etis merupakan factor internal Hindia Belanda yang memicu lahirnya kesadaran kebangsaan.

Kalau saja muncul paham Etis tak pernah muncul di Belanda, juga jika peristiwa internasional yang berdampak luas diatas tak pernah terjadi , mungkin tak akan lahir pula Dr Wahidin Sudiro Husodo, dan Dr Soetomo tokoh pendiri Boedi Oetomo, organisasi pergerakan Indonesia yang pertama, yang berdiri pada 20 Mei 1908, dan sampai sekarang disepakati sebagai hari Kebangkitan Nasional.