JAMPRIBADI

Minggu, 18 April 2010

Khittah NU


Oleh: Ana Ngatiyono S.Pd

Menguji Khittah 1926 : Tonggak Pandangan NU dalam Kongres Cipasung

NU atau Nahdlatul Ulama adalah organisasi Islam yang terbentuk dengan dasar pengembangan masyarakat muslim Indonesia yang berbudaya. Pada awalnya NU terbentuk karena terdapat perbedaan pandangan antara kelompok modernis Islam di Indonesia (Muhammadiyah dan PSII) pimpinan H.O.S Cokroaminoto yang menghendaki pemurnian ajaran agama Islam. Pemurnian ajaran agama Islam ini sesuai dengan ajaran Wahabi yang dicetuskan oleh Raja Suud (Raja Arab Saudi) yang hendak menghancurkan peninggalan sejarah Islam atau pra Islam yang banyak diziarahi sehingga dianggap sebagai bid’ah.
Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Akibat keputusan ini para tokoh NU seperti halnya K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan juga sesepuh NU lainnya melakukan pertentangan. Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Berangkat dari komite hejaz dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan mendasar, maka kemudian dibentuk organisasi yang memiliki cakupan luas dan lebih sistematis, dalam rangka mengantisipasi perkembangan zaman. Pada perkembangan selanjutnya diadakan diskusi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut selanjutnya ditafsirkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor. NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa Orde Baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi. Kembalinya NU pada Khitta 1926 bertujuan untuk kembali pada prinsip dasar organisasi dan mengutamakan pengembangan masyarakat muslim Indonesia dengan keberagaman budaya-nya.
Kembalinya NU pada khittah 1926 ternyata tidak memperlemah posisi NU dalam kehidupan politik nasional. Fakta yang terjadi justru NU berkembang menjadi kekuatan Islam yang mempunyai akses sosial politik yang sangat modern terutama semenjak kepemimpinan Abdurahman Wahid. Kecenderungan NU kearah politik nasional terlihat dari berbagai kebijakan yang diambil yaitu menumbuhkan masyarakat sipil (civil society), dan melakukan berbagai manufer yang menegaskan pertentangan terhadap dominasi pemerintah (Orde Baru) dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Melihat sayap NU yang semakin melebar dalam kancah politik nasional dan dianggap sebagai ancaman Orde Baru, maka pemerintah berupaya untuk membendung gerak politik NU dan menariknya kearah jalur yang dapat dikontrol pemerintah. Meskpiun demikian, NU tetap masuk dalam kancah politik.
Tetap masuknya NU dalam kancah politik dikarenakan basis masa NU yang besar. Jumlah warga NU yang merupakan basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 80 juta orang, mayoritas di pulau jawa, kalimantan, sulawesi dan sumatra dengan beragam profesi, yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU. Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basisi intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU. Sepuluh tahun berikutnya setelah kembali kekitthah 1926, NU kembali masuk daalam pusaran politik Orde Baru. Pada Muktamar ke 29 di Cipasung tahun 1994, terjadi krisis internal NU yang dipicu oleh persaingan memperebutkan kursi kepemimpinan NU antara Abdurrahman Wahid dan Abu Hasan.
Atas Kekhawatiran terhadap manuver Gus Dur dalam politik yang diangap dapat menganggu stabilitas politik Orde Baru, maka sejak tahun 1989 Soeharto berupaya untuk menghancurkan Gus Dur dalam kariernya sebagai Ketua Umum NU yaitu pada saat diadakan Muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta. Salah satu agenda Muktamar tersebut adalah memilih Ketua Umum NU. Soeharto memangfaatkan kekuatan kubu NU Situbondo untuk menggagalkan terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua Umum NU untuk kedua kalinya. Upaya tersebut gagal karena hasil dari Muktamar ini pun akhirnya memilih Gus Dur sebagai Ketua Umum NU untuk kedua kalinya.
Gagal di Yogyakarta, pada waktu diadakan Muktamar NU berikutnya (ke-29), di Cipasung, tahun 1994, lagi-lagi kubu Soeharto melakukan intervensi
untuk mengeser Gus Dur, kubu Soeharto, dengan operatornya Kassospol waktu itu, Letjen H. R. Hartono, memakai calon ketua tandingan yang merupakan calon boneka mereka, Abu Hasan. Ketika gagal, mereka menyuruh Abu Hasan melakukan tuntutan pidana kepada Gus Dur dengan melapor ke polisi, dengan tuduhan mengfitnah Abu Hasan dan telah melakukan kecurangan dalam acara pemungutan acara dalam Muktamar tersebut. Bersamaan dengan itu atas restu pemerintah, Abu Hasan mendirikan PBNU tandingan pada 17 Januari 1996, yang disebut Komite Pengurus Pusat NU (KPPNU) dengan ketuanya Abu Hasan. Lahirnya KPPNU ini semakin memperuncing krisis yang terjadi dalam tubuh organisasi masa Islam terbesar di Indonesia tersebut.
Abu Hasan sebenarnya bukan calon pemerintah sesungguhnya. Sesungguhnya yang hendak dijadikan boneka oleh pemerintah adalah K.H. Wachid Zaini, kyai pengasuh Pesantren Nurul Jadid Paiton di Probolinggo sekaligus masih memiliki hubungan saudara dengan R. Hartono. K.H Wachid Zaini juga merupakan salah satu Rais Syuruyah PWNU Jawa Timur. Atas dasar pertimbangan memiliki hubungan saudara dengan R. Hartono, maka K.H Wachid Zaini dicalonkan untuk mengusur Gus Dur dari tampuk kepemimpinan NU. Harapan kubu Soeharto untuk mencalonkan K.H Wachid Zaini akhirnya gagal karena ia tidak bersedia mencalonkan dirinya dalam upaya menandingi Gus Dur. Disisi lain Beberapa koran di Jakarta (Republika, Terbit, Pelita) yang merupakan media milik ICMI atau Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia secara rutin memuat tulisan-tulisan yang pada intinya membeberkan sisi buruk pribadi Gus
Dur, meskipun demikian usaha yang dilakukan kubu Soeharto daalam rangka melengserkan Gus Dur mengalami kegagalan.. Maka strategi selanjutnya yang diambil kubu Soeharto adalah mencalonkan Abu Hasan.
Situasi Mukatamar ke 29 NU yang syarat dengan krisis politik antara kedua kubu yang bertikai tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan politik Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICWI) yang semakin menunjukan kekuatan Islam politik yang terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan negara. Usaha ICWI ini tidak lain adalah untuk meningkatkan legitimasi keagamaan dan politiknya. ICWI merupakan organisasi yang didalamnya terdiri dari cendekiawan muslim pro Orde Baru dalam hal ini Soeharto, Habibie, dan kroni-kroninya, sehingga tidak mengherankan apabila dalam setiap berita yang dimuat dalam Republika (Koran ICWI) selalu mendiskriditkan Gus Dur.
Hasil dari Kongres Cipasung ini adalah terbentuknya dua pengurus besar NU yaitu dibawah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Abu Hasan. Untuk mengatasi dan menyelesaikan krisis dalam tubuh NU ini dapat dilakukan berbagai cara antara lain ditempuh dengan jalan damai antara kedua pemimpin NU tersebut melalui pendekatan kekuasaan melalui tokoh lain yang dipilih negara (mediasi) atau dengan membiarkan krisis sampai salah satu pihak mengalah.

peranan perempuan

GERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA 1945-965
(STUDI SEJARAH PERWARI DAN GERWANI)
Oleh : Ana Ngatiyono

Abtrak
Perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan, mempertahankan, dan mengisinya tidak dapat dilepaskan dari para perempuan-perempuan Indonesia. Sejarah gerakan perempuan di Indonesia telah melewati jalan yang panjang. Jauh sebelum bangsa Indonesia meraih kemerdekaan, telah muncul gerakan perempuan dan organisasi perempuan yang berdiri. Tujuan awalnya munculnya gerakan perempuan sebelum kemerdekaan ialah memperbaiki pendidikan yang pada dasarnya masih didominasi kaum pria. Organisasi-oraganisasi perempuan tersebut dibangun untuk mewujudkan tercapainya hak-hak perempuan dan mengejar emancipatie kaum ibu Indonesia yang sejak dahulu tertindas oleh budaya patriarkhy masyarakat Indonesia. Gerakan perempuan terus melebarkan sayapnya pada masa-masa selanjutnya. Setelah bangsa Indonesia meraih kemerdekaan, gerakan dan peranan perempuan Indonesia lebih terpusat pada gerakan fisik terutama pada masa-masa revolusi kemerdekaan. Hal ini dikarenakan adanya semangat kebangsaan untuk ikut serta dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Garakan-gerakan fisik ini diantaranya dilakukan melalui peranannya dalam kegiatan kepalangmerahan, dapur umum, maupun sebagai kurir.
Pada masa revolusi kemerdekaan ini, kaum perempun mulai menggalang persatuan yang kuat. Persatuan yang dimaksudkan diwujudkan melalui Konggres Perempuan pertama yang diadakan oleh organisasi perempuan. Konggres ini diselenggarakan setelah proklamasi di Klaten pada 17 Desember 1945. Konggres inilah yang kemudian menjadi pelopor perempuan Indonesia untuk lebih gigih memperjuangkan aspirasinya. Perkembangan gerakan perempuan ditunjukkan melalui organisasi-organisasi perempuan, diantaranya melalui Perwari dan Gerwani. Kedua organisasi ini merupakan organisasi perempuan yang cukup besar diantara organisasi perempuan lain yang mewarnai sejarah gerakan perempuan periode 1950-1965 sebagaimana bahasan dalam tulisan ini. Kedua organisasi ini pada perkembangannya mengalami pasang surut mengikuti arus kehidupan politik pada periode itu. Pertentangan juga terjadi antar kedua organisasi tersebut, misalnya dalam menanggapi poligami Sukarno. Gerwani akhirnya terhempas oleh gelombang pasang Gestapu 1965 karena dianggap sebagai gerakan perempuan PKI. Sementara Perwari tetap eksis meskipun gerakannya dibatasi terutama pada masa Orde Baru.
Kata kunci: organisasi perempuan, gerakan, Pewari, Gerwani,
A. Pendahuluan
Perempuan secara langsung menunjuk pada salah satu jenis kelamin. Marginalisasi perempuan yang muncul menunjukkan bahwa perempuan sering disebut sebagai warga kelas dua, yang keberadaanya tidak begitu diperhitungkan. Dikotonomi alam (nature) alam dan budaya (culture) digunakan untuk menunjukkan pemisahan jenis kelamin ini, yang satu dianggap rendah dari yang lainnya. Perempuan yang mewakili sifat alam (nature) harus ditundukkan agar mereka lebih berbudaya (culture). Usaha membudayakan perempuan tersebut telah mengakibatkan proses produksi dan reproduksi ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan. (Irwan Abdullah, 1997:3).
Dalam perjalanan sejarah khususnya di Indonesia, berkembangya feminisme telah membuat perempuan mempertanyakan kembali identitas yang menyagkut asal-usul dan status keberadaan mereka. Perempuan menganggap bahwa mereka tidak diberikan tempat karena sejarah yang berkembang saat ini masih dominan menggunakan perpekstif laki-laki. Dapat dikatakan bahwa penelitian sejarah yang mengungkapkan perempuan masih sangat lambat. Meskipun perempuan hadir dalam setiap titik waktu sejarah, mengikuti dinamika ruang dan waktu, namun kedudukannya selalu hanya dijadikan sekedar aktor yang tidak penting atau “figuran”. Dalam edisi pertama buku metodologi Sejarah, Kuntowijoyo menulis kemugkinan dilakukannya penelitian dengan lebih mengembangkan tema sejarah perempuan, lengkap dengan metodologinya, teori, dan konsep-konsepnya. (Kuntowijoyo, 1974: 79-110).
Penulisan sejarah dengan menggunakan metodologi sejarah perempuan menurut Kuntowijoyo bukan berarti bahwa tulisan sejarah yang dihasilkan harus bersigat gynocentris (sejarah yang berpusat pada perempuan), melainkan sejarah yang lebih adil dan proporsional, yaitu sejarah yang menempatkan posisi antara laki-laki dan perempuan secara seimbang dan tidak ada deskriminasi diantara keduanya. Kuntowijoyo menyebutnya sebagai tulisan sejarah yang bersifat androgynous. (Kuntowijoyo, 1974: 98-99). Realitas sejarah tersebut yang mendorong penulis untuk menulis mengenai peranan perempuan Indonesia pada masa Orde Lama dan coba dihadirkan melalui konstruk sejarah yang sifatnya adrogynous.
Sejarah gerakan perempuan di Indonesia telah melewati perjalanan yang sangat penjang. Jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekaan telah banyak muncul tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi perempuan yang berdiri. Apabila dibuka lagi lembaran sejarah Indonesia, gerakan perempuan di Indoneisia sudah ada sejak akhir abad ke 19. R.A Kartini adalah salah satu tokoh terkemuka perempuan yang ikut berjuang demi kepentingan kaum perempuan pada masanya. Pekembangan perjuangan perempuan ini merupakan dampak dan pengaruh dari politik etis yang telah menyadarkan perempuan akan nasib perempuan Indonesia yang masih sangat terbelakang atau kedudukanya hanya sekedar teman belakang yang tugasnya tidak lapas dari melayani suami dan mengasuh anak. Fungsi dan kedudukan perempuan ini lebih dikenal dengan istilah Jawa sebagai “konco wingking”. Kedudukan perempuan seperti ini sudah biasa pada masa penjajahan karena wanita Indonesia seperti terkungkung di dalam budaya feodalisme (Hikmah Diniah, 2007: 4). Pengaruh warisan cita-cita R.A Kartini untuk emansipasi wanita telah berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya, dan perhatian kaumnya.
Selanjutnya muncul tokoh perempuan generasi Kartini berikutnya yaitu Dewi Sartika. Perjuangannya melalui pengajaran dan pendidikan bagi kaum perempuan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan derajat kaum perempuan pada masa itu yang tidak pernah diakui dan juga untuk meningkatkan kecakapan bagi kaum ibu. Dengan meningkatnya perjuangan perempuan Indonesia untuk memperbaiki nasib, akhirnya didirikan organisasi perempuan pertama pada tahun 1912 di Jakarta bernama Putri Mardika. Sedangkan di Jawa didirikan Kartini Fonds yaitu beasiswa untuk mendirikan sekolah Kartini di seluruh pulau Jawa. Selain itu, masih banyak berdiri organisasi-organisasi perempuan lainnya di luar Jawa dan di daerah-daerah yang tujuanya tidak lain hanya untuk meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan dan menuntut persamaan dengan kaum pria. Dalam perkembangan selanjutnya organisasi perempuan di Indonesia berdiri dengan dasar dan tujuan yang beragam, misalnya organisasi perempuan dengan basis agama ataupun organisasi perempuan dengan tujuan politik dan perjuangan kemerdekaan.
Organisasi-oraganisasi perempuan tersebut pada dasarnya dibangun untuk mewujudkan tercapainya hak-hak perempuan dan mengejar emancipatie kaum ibu Indonesia yang sejak dahulu tertindas oleh budaya patriarkhy masyarakat Indonesia. Oleh karena itulah, perempuan Indonesia dari waktu ke waktu selalu meluaskan lapang pergerakannya, untuk mengejar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dan mengejar hak perempuan sebagai bangsa. Kedudukan antara laki-laki dan perempuan sama halnya seperti dua sayap seekor burung yang apabila dua sayap tersebut dibuat sama kuatnya, maka tidak heran apabila akan meraih cita-cita dan kemajuan setinggi-tingginya. (Soekarno, 1965:100) Perumpamaan ini bermakna sebagai tuntutan agar dibuka pintu seluas-luasnya bagi perempuan Indonesia dalam upaya menuntut persamaan hak dan persamaan derajat bagi dirinya untuk semakin memperkuat bangsanya.
Kaum kolot yang masih mengagung-agungkan sistem feodalisme dan ideologi patriarki menjadi terheran-heran ketika mendengar semboyan dari salah satu organisasi perempuan Indonesia yakni Marhaeni Bandung yang menyatakan bahwa “Kita tidak sudi ekonomi-ekonomian atau sosial-sosialan sahadja, kita tidak mendirikan perhimpunan sendiri, kita duduk dalam satu organisasi politik dengan kaum laki-laki , kita menjalankan aksi masa dengan kaum laki-laki itu!” (Soekarno, 1965:245). Pernyataan itu menjadi gebrakan baru dalam perpolitikan Indonesia bahwa perempuan yang sekian lama hanya dianggap sebagai pelengkap saja kini sudah berkembang bahkan berpartisipasi dalam kegiatan politik negara. Perjuangan Marhaeni bandung ini selanjutnya berpengaruh besar terhadap gigihnya perjuangan wanita Indonesia dan buktinya ditunjukkan dengan semakin banyaknya berdiri organisasi-organisasi perempuan, diantaranya adalah Perwari dan Gerwani. Mereka menganggap bahwa kaum laki-laki adalah musuh dan sebagai saingan yang sombong. Oleh karenanya perjuangan ini dilakukan dengan sangat gigih, meskipun mendapat banyak pertentangan dari kaum laki-laki.
Perjalanan sejarah diatas meninggalkan kesan faktual betapa sebenarnya perempuan mempunyai peran yang penting. Bahkan dalam hadist dikatakan bahwa perempuan adalah tiang Negara. Pernyataan ini apabila dikaji mengandung pengertian filosofis yang mendalam. Mengenai hal ini soekarno dalam bukunya Sarinah mengatakan “Sesunggunja benarlah perkataan Charles Faurrier kalau ia mengatakan, bahwa tinggi rendahnja tingkat kemadjuan sesuatu masjarakat, adalah ditetapkan oleh tinggi rendahnja kaum perempuan di dalam masjarakat itu.” (Soekarno, 1963:17). Pernyataan ini mengandung makna kepada kita bahwa perempuan mampu menjadi penyumbang bagi muncul dan berkembangnya peradaban. Perempuan baik secara individu maupun kelompok, telah memberikan peran dalam perjalanan sebuah bangsa. Peranan perempuan inilah yang akan dikaji oleh penulis.

A. Gerakan Perempuan Indonesia Masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1950)
Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945 telah membuka harapan dan lembaran baru perjuangan bangsa Indonesia. Perjuangan bukan lagi untuk merebut kemerdekaan tetapi bagaimana bangsa Indonesia mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang telah dicapai dengan sebaik-baiknya. Perubahan arah perjuangan ini juga berlaku bagi perjuangan perempuan Indonesia. Dengan kata lain, perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan tidak hanya didominasi oleh kaum pria saja, tetapi juga bagian dari tugas perempuan Indonesia. Demi mengintensifkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Soekarno mengajak perempuan untuk ikut berpartisipasi total. (Cindy Adams, 1982: 38). Hal itu disampaikan Soekarno dalam buku yang berjudul Sarinah, ia mengatakan:
“Kewajibanmu telah terang!... Janganlah ketinggalan dalm revolusi nasional ini… dan janganlah ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakt keadilan social dan kesejahteraan social. Di dalam masyarakat keadilan social itulah engkau nanti akan menjadi wanita yang bahagia, wanita yang merdeka!. (Soekarno, 1984: 241-147).”

Hasilnya mengutip Cora Vreede de Stuers dalam The Indonesian Women: Strugglesand Achievement, perempuan-perempuanpun secara terorganisasi bergerak dalam perang fisik dengan membentuk tim perawat, kurir, dapur umum, dan klinik berjalan.(Cora Vreede de Stuers, 2008:175).
Pernyataan diatas benar adanya karena memang pada awalnya keterlibatan perempuan ini sebagian besar melalui PMI (Palang Merah Indoneia), dapur umum dan kurir. Contoh nyatanya dapat diambil melalui perjuangan PRIP (Perjuangan Rakyat Indonesia Putri) yakni pada tahun 1945-1948. Meskipun perjuangan PRIP dalam bidang pertahanan keamanan tidak begitu terlihat, namun peranannya dalam mengobarkan semangat perjuangan harus diakui. Peranan perempuan ini diantaranya ditunjukkan melalui dapur umum. Dalam setiap pertempuran seperti halnya dalam perjuangan di Front Ambarawa dan Semarang, selain persenjataan yang memegang peranan penting, logistik dan bahan makanan juga sangatlah penting. Oleh karena itu, persediaan logistik diwujudkan dalam dapur umum. Dapur umum ini dapat diartikan sebagai bagian dari rumah atau tempat untuk kegiatan memasak, pencarian bahan makanan dan pelayanan makanan serta persediaan minuman bagi para pejuang. Bahan-bahan makanan biasanya dikumpulkan oleh para anggota PRIP dari dari kampung-kampung sekitar tempat revolusi yaitu sekitar Semarang dan Ambarawa. Selain dari hasil sukarela masyarakat, bahan makanan juga biasanya didapat dari sumbangan organisasi-organisasi perempuan antara lain Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). (Sri Retna Astuti, 1990:74-75).
Selain dapur umum, keterlibatan anggota PRIP dalam revolusi kemerdekaan diwujudkan dalam bidang Kepalangmerahan. Pada waktu pertempuran di Front Ambarawa dan Semarang mereka mengurusi masalah perawatan dan mengurusi anggota pasukan yang gugur. Di samping sebagai salah satu bentuk partisipasi perempuan, Kepalangmerahan ini juga sebagai bentuk rasa kegotongroyongan, sifat ringan tangan dan saling membantu yang merupakan sifat khas bangsa Indonesia. Obat-obatan yang tersedia pada waktu itu masih sangat sederhanan dan jenisnya belum beragam. Misalnya aspirin, naspro, obat merah, salep, perban, dan pelester. Obat-obatan yang berkaitan dengan kepalangmerahan ini biasanya didapat dari rumah sakit setempat dan juga dari Markas Besar Tentara dan Palang Merah Indonesia. Selain berperan dalam dapur umum dan Palang Merah, perempuan Indonesia juga banyak yang berperan sebagai utusan atau kurir yang tugasnya membawa surat-surat penting yang umumnya berisi berita penting dari kota yang bergerilya ke kota lain atau sebaliknya. Tugas untuk menjadi kurir ini tidak semua perempuan bisa melakukanya, hal ini disebabkan karena tugas yang mereka emban sangat sulit dengan resiko yang besar. Biasanya para kurir setelah mengantarkan surat penting dari satu kota, pulangnya membawa keperluan sehari-hari seperti halnya bahan makanan ataupun pakaian dan sebagainya. (Sri Retna Astuti, 1990: 65)
Perjuangan PRIP untuk ikut serta aktif di dalam kancah perjuangan nampaknya sangat terdorong oleh semangat revolusi yang besar. Keputusan untuk mendirikan organisasi seperti halnya PRIP ini adalah suatu langkah yang berani apalagi pada waktu itu masih banyak pertentangan kepada perempuan untuk beratisipasi dalam organisasi. Meskipun organisasi ini hanya sebatas dapur umum dan palang merah ataupun perjuangan garis depan dengan nama satu badan perjuangan maupun tergabung dengan organisasi perjuangan yang lain, namun setidaknya organisasi ini ikut berpartisipasi didalam perjuangan bangsa Indonesia masa revolusi kemerderkaan.
Di sela-sela kesibukan ikut serta dalam kegiatan fisik maupun dalam bidang sosial politik, kaum perempuan mulai berbenah diri untuk mengalang persatuan yang kuat. Persatuan yang dimaksudkan diwujudkan melalui Konggres perempuan pertama yang diadakan oleh organisasi perempuan. Konggres ini diselenggarakan setelah proklamasi di Klaten pada 17 Desember 1945. Tujuan dari diselenggarakannya konggres adalah untuk mempersatukan ideologi dan membentuk badan Persatuan Wanita Indonesia (Perwani) dan Wanita Negara Indonesia (Wani) yang kemudian dilebur (fusi) menjadi Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Tujuan awal didirikan Perwari adalah untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa ada wadah baru bagi kaum perempuan Indonesia di alam kemerdekaan dan bukanlah warisan atau terusan dari Fujinkai (Hanna Rambe, 1983: 235). Perkembangan selanjutnya melahirkan badan Konggres Wanita Indonesia (Kowani) pada bulan Februari 1946. Lahirnya Kowani kemudian menjadi perancang diselenggarakannya Konggres Wanita Indonesia ke V di Madiun pada bulan Juni 1946.
Sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk menembus blokade ekonomi dan politik, konggres ini memutuskan untuk memulai hubungan dengan luar negeri agar gerakannya lebih diakui oleh dunia dan lebih berperan dalam perjuangan bangsa Indonesia. Maka dari itu, Konggres Wanita Indonesia menjadi anggota Women’s International Democratic Federation (WIDF). Selanjutnya diselenggarakan Konggres Wanita Indonesia ke VI di Magelang Jawa Tengah pada bulan Juli 1947. Dalam konggres ini diputuskan bahwa Kowani dipimpin oleh Dewan Pimpinan sedangkan Badan Pekerja dihapuskan. Konggres berikutnya yaitu Konggres Wanita VII di Solo diselenggarakan pada bulan agustus 1948. Hasil konggres lebih menekankan pada upaya menyatukan tenaga dan penyempurnaan organisasi, serta usaha untuk tetap membantu perjuangan. (Kowani, 1986:101)
Peranan perempuan lainnya ditunjukkan melalui Laskar Wanita Indonesia (Laswi). Laswi mengikuti hijrah pasukan Divisi Siliwangi ke Yogyakarta pada tahun 1948 yaitu sebagai akibat dari perjanjian Renville. Selama di Yogyakarta Laswi selalu ikut berperan dalam kegiatan sosial dan menjadi panitia sosial. Tugas dari panitia sosial ini umumnya adalah menyiapkan dapur umum. Ketua panitia sosial ini antara lain Ny.Utami Suryadana sebagai ketua dan Ny.SY. Arujukartawinata sebagai wakil ketua. Peran perempuan semakin diakui setelah pada tahun 1948, Jawatan Kepolisian Negara di Yogyakarta untuk pertama kalinya menerima siswa polisi wanita. Gagasan ini mendapatkan dukungan penuh dari Kowani sebagai induk dari organisasi perempuan di Indonesia. Saat Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda II, polisi wanita meninggalkan tugasnya sebagai petugas keamanan dan beralih sebagai alat perjuangan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan. Mereka bersama-sama bergabung dengan para tentara dan laskar lainnya untuk ikut dalam front perjuangan. (Kowani, 1986: 107).
Selain berperan dalam bentuk perjuangan fisik, perjuangan perempuan Indonesia juga aktif di dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi perempuan. Diantaranya dilaksanakan Permusyawaratan Wanita Seluruh Indonesia pada tanggal 26 Agustus sampai 2 September 1949. Pihak yang memprakarsai Permusyawaratan Wanita Seluruh Indonesia adalah Kowani yang dihadiri oleh 82 orang orang yang tergabung di dalam organisasi wanita seluruh Republik Indonesia. Panitia Permusyawaratan Wanita Seluruh Indonesia ini diketuai oleh Ny. Burdah Yusupadi dan anggotanya terdiri dari. Ny. Siti Sukaptinah, Sunaryo Mangunpuspito, Ny.Mr. Maria Ulfah Santoso, Ny. Supeni, Ny. S Akhmad Natakusumah, dan Ny. Th. Waladouw. Bagi peserta yang berasal dari luar Jawa sebagian besar mereka harus melalui perjuangan karena harus terlebih dahulu melewati daerah yang masih diduduki oleh Belanda.
Dalam Permusyawaratan Wanita Seluruh Indonesia, diperoleh beberapa keputusan antara lain : a). Tujuan perjuangan perempuan yaitu untuk memperjuangkan dan mewujudkan kemerdekaan yang penuh bagi bangsa Indonesia. b). Membentuk badan kontak bersama ”Permusyawaratan Wanita Indonesia”, badan ini berkedudukan di Yogyakarta dengan kepenggurusannya sebagai berikut :
Ketua : Ny. Mr Maria Ulfah Santoso
Wakil Ketua : Ny. Artinah Syamsudin yang merangkap sebagai sekertaris.
Bendahara : Ny. Th Walandouw
Pembantu : Ny. Dm Hadiprabowo, Nn. Hariyati, Ny. Burdah, Ny. Supeni
Pujobuntoro, Ny. Aisyiah Hilal, Ny. D Susanto, Ny. Sunaryo Mangunpuspito, Ny. Brotowardoyo, Ny.Mr. Tuti Harahap.
Anggota Badan Kontak Permusyawaratan Wanita Indonesia antara lain Perkiwa, Muslimat, Wanita Taman Siswa, Budi Istri Bandung, Persatuan Wanita Pekalongan, Putri Nortowandowo, Perwari Pontianak, Perwari Pangkal Pinang, Partai Wanita Rakyat, PSII bagian wanita, Aisyah, Persatuan Wanita Katholik Indonesia, Pemuda Putri Indonesia, Persatuan Wanita Kristen Indonesia, Gerakan Wanita Sedar, Putri Budi Sejati, dan lain sebagainya. (Kowani, 1986:121)
Pada dasarnya arah perkembangan organisasi perempuan sampai tahun 1950 telah mencangkup beberapa hal. Pertama, sebagai kelanjutan dari kecenderungan pada masa sebelumnya, wawasan dan ruang lingkup perhatian wanita semakin meluas bukan hanya sebatas menangani permasalahan perempuan saja melainkan mereka berpartisipasi aktif dalam perjuangan politik dan pemerintahan agar dapat bersaing dengan pihak pria. Kedua, muncul organisasi-organisasi perempuan yang beragam jenis dan tujuannya. Selain organisasi yang sudah ada sebelumnya seperti halnya organisasi yang berafiliasi pada partai politik dan organisasi berasaskan agama, muncul pula organisasi khusus pada kalangan tertentu seperti halnya dikalangan istri angkatan bersenjata, dan organisasi profesi lainya. Selain itu, dengan tumbuhnya paham-paham demokrasi dalam pemerintahan, kaum perempuan berkeinginan untuk mendirikan partai politik wanita yang bertujuan menyalurkan aspirasi wanita sepenuhnya.
Ketiga, ruang gerak organisasi perempuan semakin meluas, tidak hanya berkutat pada ruang lokal atau kedaerahan serta nasional saja, tetapi gerakanya sudah meluas dikalangan internasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan masuknya Kowani sebagai anggota WIDF. Keempat, sebagai akibat orientasi gerakan yang diambil, kegiatan organisasi perempuan semakin beragam. Organisasi perempuan ini dipisahkan menjadi dua kelompok besar yakni organisasi perempuan yang mendasarkan kegiatannya pada pencampaian kesejahteraan (welfare), antara lain memperhatikan permasalahan pendidikan, perempuan, sosial maupun ekonomi. Organisasi yang kedua yaitu organisasi perempuan yang berkecimpung pada permasalahan politik. Jumlah organisasi yang bertujuan untuk kesejahteraan jumlahnya lebih banyak dari pada organisasi politik. (Rusiyati; http://www.egroups.com/group/milis-spiritu)

B. Perkembangan Gerakan Perempuan Indonesia Periode 1950-1965 (Perwari dan Gerwani)
Pada awal tahun 1950 gerakan perempuan di Indonesia mengalami kekecewaan yang mendalam karena Soekarno telah membantu mengagalkan sejumlah reform perkawinan yang telah diperjuangkan oleh gerakan perempuan termasuk juga Perwari dan Gerwani. Padahal Soekarnolah yang dianggap telah berhasil mengalang kekuatan kolektif gerakan perempuan untuk menyokong perjuangan nasional. Soekarno juga dianggap sebagai tokoh yang telah memberikan inspirasi yang besar kepada kaum perempuan, seperti halnya tercantum di dalam bukunya “Sarinah” yang telah menjanjikan kepada kaum perempuan kebebasan di dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur kelak di kemudian hari. Secara khusus berbicara mengenai partisipasi perempuan dalam perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia, Soekarno menyatakan bahwa ketertarikan perempuan hanya dapat dipenuhi dari fase sosial yang akan datang setelah fase nasional.
Untuk mempercepat datangnya sosialisme, perempuan harus “ikut serta mutlak sehebat-hebatnya di dalam revolusi kita”. Sebaliknya laki-laki harus sadar bahwa mereka tidak akan berhasil tanpa kaum perempuan. Oleh sebab itu, laki-laki Jawa harus mulai menghilangkan sistem patriarki Jawa yang masih bertahan. Selain itu, Soekarno juga berseru bahwa kaum laki-laki yang harus menjadikan kaum perempuan sebagai roda perjuangan bangsa (Saskia eleonora Wieringa, 1999: 161). Berbagai pernyataan akan perjuangannya terhadap kaum perempuan banyak diucapkan di dalam pidato setiap Konggres Perempuan dilaksanakan. Namun pada kenyataannya, Soekarno tidak konsisten terhadap apa yang diucapkanya dan tidak menepati janji untuk memperjuangkan gerakan kaum perempuan yang menolak ketidakadilan terhadap mereka di dalam perkawinan dan keluarga. Perempuan yang tadinya dijadikan mitra dalam mempertahankan kemerdekaan, justru dijadikan saingan ditinggalkan di bidang sosial oleh laki-laki. (M.C Rieklefs a.b Satrio Wahono dkk, 2007: 466). Ketidakharmonisa relasi ini berlanjut seiring dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 19 Tahun 1952 yang tidak memihak pada perempuan. Peraturan yang termuat dalam PP tersebut antara lain naikkan tunjangan gaji bagi janda pegawai negeri. Dalam kasus poligami tunjangan pensiunan diberikan dua kali jumlah yang diterimakan oleh seorang janda di pegawai agar dapat dibagi rata kepada janda-jandanya yang tidak lebih dari empat. (Saskia Eleonora Wieringa, 1999: 236). Persoalan ini memuncak setelah pada tahun 1954, Sukarno menikahi Siti Soehartini. Organisasi wanita di Indonesia pada waktu itu melakukan pembelaan dan dukungan kepada Fatmawati (istri Sukarno sebelumnya).
Organisasi-organisasi pergerakan perempuan pada periode ini diantara ditunjukkan melalui:
1. Perwari
Perwari berdiri sejak tahun 1945 sebagai organisasi perempuan sekuler yang beasaskan Pancasila, dan dengan tegas menyatakan bahwa ketua Perwari bukan dan tidak ingin menjadi anggota organisasi politik manapun. Akan tetapi, untuk anggota biasa diberikan kebebasan penuh untuk masuk anggota organisasi politik sehingga setelah kemerdekaan banyak anggota Perwari yang masuk partai-partai politik atau organisasi perempuan yang baru berdiri seperti halnya Gerwis (Hikmah Diniah, 2007: 81). Sebagai organisasi yang melibatkan diri dalam persoalan kemasyarakatan, tahun 1950 Perwari terlibat dalam berbagai bidang perjuangan, diantaranya mendirikan sekolah, biro konsultan, klinik ibu dan anak, dan buruh perempuan. Pada tanggal 17 desember 1953, yakni hari ulang tahun Perwari, organisasi ini melancarkan aksi demonstrasi terhadap keputusan Sukarno yang dianggap tidak konsekuen terhadap apa yang diperjuangkan oleh organisasi perempuan. Sebagai gambaran dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, menuturkan sebagai berikut.
Dibulan Juli 1953 segolongan orang yang beremansipasi dengan berusaha memperjuangkan undang-undang perkawinan yang memberantas poligami… tepat di tengah-tengah menghangatnya persoalan itu Presidennya mengawini istri yang kedua. Timbullah kehebohan. Wanita-wanita itu… berbaris menuju istana mengajukan protes…(Cindy Adams, 1982: 430-431).

Meskipun demonstrasi ini merupakan satu-satunya yang terjadi setelah kemerdekaan, diikuti oleh kalangan luas perempuan, dan memperjuangkan kepentingan gender perempuan, namun tidak ada satu organisasi perempuan muslim yang ikut serta. Hanya saja banyak anggota KWI yang ikut serta, meskipun mereka hanya sebatas sebagai individu saja bukan sebagai kesatuan organisasi KWI. Karena hal itulah, sejak tahun 1953 hubungan antara Gerwani dan Perwari sudah tidak baik, hal ini karena Gerwani merasa tersinggung oleh peranan Perwari sebagai protagonis utama (Saskia Eleonora Wieringa, 1999: 237).
Pada tahun 1954, Perwari mengalami kemunduran karena banyak anggota yang keluar dari organisasi terkait protes keras atas polygami yang dilakukan Presiden Sukarno pada Hartini. Alasan keluarnya para anggota ini disebabkan rasa ketakutan apabila dikaitkan dengan organisasi radikal yang sudah berani menentang presiden. Kebanyakan suami-suami dari anggota Perwari juga mendapat tekanan. Selain itu, pemimpin-pemimpin organisasi ini juga mendapatkan tekanan moral dan mendapat ancaman pembunuhan dari orang yang tidak dikenal. Perwari kemudian tidak menerima bantuan apapun untuk berbagai kegiatannya. Dengan kata lain, protes yang dilakukan Perwari justru merugikan organisasi sendiri. Bukti kemarahan Sukarno terhadap Perwari ini terlihat ketika ia hendak membubarkan organisasi sosial perempuan ini. (Saskia Eleonora Wieringa, 1999: 245).
Menjelang diselenggarakannya pemilu 1955, Perwari pada mulanya tidak mengikuti organisasi perempuan yang merupakan bagian dari partai politik, dan juga tidak berkampanye untuk calon Perwari sendiri. Alasanya, mereka yang ikut serta dalam politik berarti akan memasuki badan utama parpol, sehingga Perwari bukan hanya sebagai sayap perempuan saja, karena di dalam parpol tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Sebaliknya, Perwari bahkan menghadapkan langsung partai-partai politik dengan program “perjuanganya sendiri”. Program yang dimaksud antara lain pelaksanaan UU Perkawinan yang maju, persoalan pendidikan dan kesehatan, memperluas Angkatan Kepolisian untuk menanggulangi pelacuran, dan pengendalian harga. Program ini dikirimkan ke 15 partai politik, namun pada akhirnya hanya PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang menyetujui program Perwari ini. Pada perkembangan selanjutnya, Perwari memutuskan mengajukan calonnya sendiri setelah menyadari bahwa PSI dan PNI hanya menempatkan kepentingan partai diatas program Perwari (Saskia Eleonora Wieringa, 1999: 256). Pada masa Orde Lama persaingan antara Perwari dengan organisasi progresif seperti halnya Gerwani tidak pernah padam dan saling menjatuhkan satu sama lain. Pada pidato ketua Gerwani yang disampaikan tahun 1964 dikemukakan bahwa Gerwani bertentangan dengan organisasi-organisasi perempuan lain yang menurut kata-kata ketua ini "hanya giat berjuang untuk kepentingan nyonya-nyonya pejabat tinggi." Jelas kata-kata tersebut dialamatkan pada Perwari. (Saskia Eleonora Wieringa, http://www.geocities.com/CapitolHill/Parliament/2385/).
2. Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia)
Selain berdiri organisasi-organisasi yang berbasis pada kegiatan sosial, berdiri pula organisasi yang mengurusi masalah sosial tetapi tetap berada di gelanggang politik. Salah satu organisasi terbesarnya adalah Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang nantinya berubah menjadi Gerwani. Pendirian organisasi ini dilatarbelakangi ketidakpuasan perempuan-perempuan revolusioner dengan organisasi perempuan yang sudah ada, seperti Perwari, Wanita Sosialis, Wanita Demokrat Aisyiah, Muslimat NU dan sebagainya. Rasa tidak puas itu disebabkan berbagai faktor. Pertama, organisasi perempuan yang sudah ada hanya terbatas pada kegiatan terkait perempuan, ringan, monoton, dan tanpa resiko. Kedua, organisasi yang sudah ada hanya mengurusi soal pendidikan tanpa ada usaha perjuangan secara politik. Ketiga, organisasi yang sudah ada tidak ikut bergerak dalam usaha memperjuangkan hak-hak perempuan secara intensif. Keempat, tidak ada gerakan yang gerakannya sampai level nasional secara bersama-sama, serta kebanyakan organisasi yang sudah ada tidak ikut serta memperhatikan rakyat kecil dan buruh, misalnya dalam memperjuangkan rakyat dari lintah darat.
Alasan-alasan berdirinya Gerwis memang sesuai dengan kondisi yang terjadi sekitar tahun 1950 yaitu dengan menjamurnya partai politik dan gontok-gontokan penyusunan kabinet. Kelahiran Gerwis adalah untuk merespons kondisi ini. Aktivis Gerwis tidak hanya berjuang di perkotaan, mereka juga mempopulerkan isu-isu perjuangan perempuan dengan mengedarkan media progresif seperti Wanita Sedar hingga ke pelosok-pelosok desa. Aktivis Gerwis juga selalu mengisi rubric “Ruangan Wanita” di surat kabar Harian Rakjat yang diterbitkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Rubrik ini banyak mengisi tentang pemikiran-pemikiran progresif Gerwis tentang perempuan. Diantara para aktivis Gerwis yang selalu menulis di majlah Wanita Sedar dan Koran Harian Rakjat antara lain S.K Trimurti, Sujinah, Suharti, Sri dan Sulami. Wanita Sedar menjadi majalah pertama di Indonesia yang menulis tentang peta gerakan perempuan di dunia dan ide-ide tentang feminisme. (Luviana, Jurnal perempuan No 52 Tahun 2007: 53-54)
Meskipun latarbelakang dan tujuan berdirinya Gerwis sangat komplek, namun pada mulanya perhatian utama organisasi ini adalah pada UU Perkawinan monogami yang muncul setelah Sukarno menikah dengan Hartini, sehingga perhatian utama beralih pada masalah perjuangan untuk hak kerja dan tanggung jawab yang sama antara kaum perempuan dengan laki-laki terutama dalam perjuangan meraih kemerdekaan penuh dan untuk sosialisme. Hak-hak untuk perempuan dan anak-anak, termasuk penyelenggaraan penitipan anak dan pembangunan keluarga revolusioner merupakan tema pokok sepanjang sejarah Gerwis atau Gerwani ( Ita F Nadia, 2007: 9).
Perkembangan Gerwis dimulai ketika diselenggarakan pertemuan di Semarang yang dihadiri lima orang wakil dari organisasi se-pulau Jawa pada tanggal 4 Juni 1950. Mereka membawa misi untuk meleburkan organisasi masing-masing ke dalam wadah tunggal yaitu Gerakan Wanita Sedar (Gerwis). Ketujuh organisasi yang tergabung dalam Gerwis antara lain, Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Persatuan Wanita Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura, Perjuangan Putri Indonesia dari Pasuruan, dan Gerakan Rakyat Indonesia. Para tokoh Gerwis ini berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, namun disamakan melalui pengalaman mereka dalam pergerakan nasional.
Sekitar tahun 1951 organisasi muda Gerwis masih sibuk membenahi diri dan membangun cabang di sekitar pulau Jawa dan di luar pulau Jawa. Awalnya tujuan Gerwis adalah mendekati perempuan miskin, namun pada kenyataannya, pimpinan Gerwis tidak turun ke massa sehingga ada sikap yang di intrepretasikan sebagai tindakan yang tidak ingin bekerja sama dengan organisasi perempuan lainnya. Dampaknya, pada saat Gerwis mengadakan konggres yang pertama pada Desember 1951, jumlah anggotanya tidak lebih dari 6000 orang. Kongres yang pertama ini dilakukan analisis mengenai kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam tubuh Gerwis. Kelemahan tersebut antara lain dianggap lebih banyak memperhatikan masalah intern organisasi dan lebih fokus menyoroti masalah kepentingan perempuan sehari-hari. Dengan cara kerja yang didasarkan pada pemikiran yang sempit, Gerwis kemudian menamakaan periode 1950-1954 sebaagai periode sektarianisme dan Gerwis tidak mengikuti strategi front Persatuan (Hikmah Diniah, 2007: 93-94).
Gerwis kemudian mengadakan kongres II di Jakarta pada tahun 1954. Dalam konggres kedua jumlah anggota mencapai 80.000 orang yang berasal dari 230 cabang. Sesuai dengan hasil konggres yang telah disepakati dan diputuskan pada konggres I, untuk mengubah nama dan perjuangan yang lebih menyatu dengan perjuangan buruh, tani, dan gerakan yang ada di basis massa, akhirnya nama Gerwis diganti menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Perubahan nama ini dimaksudkan untuk menghilangkan karateristik sempit pada tubuh Gerwis. Sejak itu, Gerwani secara keanggotaaan terbuka untuk semua kaum perempuan dari golongan manapun, yakni wanita yang sudah berumur 16 tahun atau sudah menikah serta tidak mendukung salah satu partai politik, agama dan suku yang ada di Indonesia. Dengan memakai nama Gerwani yang semboyannya “organisasi pendidikan dan perjuangan” menjadikan penyemangat bagi para kader dan anggotanya. Setelah kongres II ini, para anggota dari Gerwani pergi ke desa-desa dan kampung untuk mendiskusikan berbagai permasalahan dengan perempuan tani terutama dengan para buruh. Selain itu, Gerwani juga melakukan kampanye buta huruf, perubahan UU Perkawinan yang lebih demokratis, menuntut hukuman yang berat untuk penculikan dan perkosaan, kegiatan sosial ekonomi untuk kaum buruh dan tani perempuan.
Menjelang pelaksanaan pemilu 1955, Gerwani mulai melakukan serangkaian kegiataan yang berbeda. Keegiatan yang dilakukan yaitu mulai menitikberatkan kegiatannya pada pemilu 1955. Ketika kampanye pemilu dimulai Gerwani turut ambil bagian untuk kampanye para calon PKI, namun tidak mengajukan nama calonnya sendiri. Sebanyak 23.480 orang anggota Gerwani terlibat dalam kampanye pemilu 1955. Pada awal menjelang pemilu ini, gerakan perempuan mulai hancur karena masing-masing partai politik menjadikan organisasi perempuan sebagai alat kampanye. Dampaknya pada waktu itu timbul perpecahan antara kelompok perempuan nasionalis dengan golongan perempuan Islam. Selain itu, jurang pertikaian dalam gerakan perempuan progresif dengan sejumlah golongan yang menentangnya semakin tajam, hal ini disebabkan semakin besarnya pengaruh kiri. Perselisihan yang terjadi membuat sebagian besar organisasi Islam bersatu dengan sejumlah lawan Gerwani, yaitu Perwari dan Bhayangkari. Seperti telah diungkapkan pada bagian atas bahwa perselisihan antara Gerwani dan Perwari terkait dengan masalah UU Perkawinan. Ketiga organisasi ini bersatu dalam rangka menghadapi kekuatan progresif (Hikmah Diniah, 2007: 80).
Fase selanjutnya berkembang bermacam-macam kegiatan, antara lain, balai-balai perempuan, bank-bank perempuan, bahkan surau perempuan didirikan. Bermunculan juga berbagai macam organisasi dan majalah perempuan, tetapi pada kenyataanya hampir semua kegiatan ini justru semakin terikat pada partai politik (laki-laki), gerakan keagamaan (laki-laki), ataupun pada organisasi pejabat laki-laki (Hikmah Diniah, 2007: 101). Sementara itu, hasil pemilu tahun 1955 sangat mengecewakan kaum perempuan, beberapa alasannya antara lain. Pertama, sangat sedikitnya wakil perempuan yang terpilih di dalam parlemen. Kedua, Partai Wanita Rakyat yang didirikan pada tahun 1946 tidak mendapat kursi dan sesudah pemilu gerakannya justru tidak terlihat lagi terutama dalam perjuangan monogami. Ketiga, tidak ada kaum laki-laki yang giat dan serius mengkampayekan reform perkawinan.
Dalam upaya memperkuat propagandanya, Gerwani menerbitkan dua majalah, Api Kartini dan Berita Gerwani. Api Kartini terutama ditujukan bagi permbaca lapisan tengah yang sedang tumbuh. Isinya bukan hanya memuat tulisan-tulisan tentang masak-memasak, pengasuhan anak, mode, dan lain-lain, tetapi juga soal-soal yang lebih "feminis" dan "kiri" seperti kebutuhan akan taman kanak- kanak, kejahatan imperialisme, poligini, dan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Permasalahan lain yang sering ditulis diantaranya soal buruh dan petani perempuan, pertanian yang terbengkalai, imperialisme asing di Indonesia dan kesehatan perempuan. Majalah ini juga pernah meliput pertemuan perempuan petani yang agendanya untuk mengakhiri imperialisme dan menghapuskan sisa-sisa feodalisme. Api Kartini adalah majalah pertama di Indonesia yang menunjukkan pengaruh buruk film-film Amerika yang bermutu rendah yang saat itu banyak beredar, dan baru belakangan PKI melontarkan masalah imperialisme kebudayaan Barat. (Luviana, Jurnal perempuan No 52 Tahun 2007: 54)
Berita Gerwani adalah majalah intern organisasi, dengan berita-berita tentang konferensi-konferensi yang akan datang, laporan kunjungan ke organisasi-organisasi perempuan di negera-negera sosialis, dan lain-lain. Apabila Api Kartini terutama terbit untuk menarik perempuan golongan tengah, dan meyakinkan mereka bahwa Gerwani pun memberikan perhatian pada masalah-masalah "tradisional" perempuan, Berita Gerwani yang lebih radikal bermaksud memberikan dukungan kepada kader-kader daerah dan membantu mereka dalam menghadapi tugas-tugas yang akan mereka hadapi. (Saskia Eleonora Wieringa, http://www.geocities.com/CapitolHill/Parliament/2385/).
Gerwani selanjutnya melaksanakan konggres ke III pada tahun 1957. Pada kongres ke III ini kelihataan bahwa Gerwani telah mengalami perkembangan yang pesat, hal ini terlihat dari jumlah anggota yang mencapai 631.342 orang. Dalam konggres ini Gerwani berhasil menetapkan resolusi-resolusi seperti pembebasan Irian Barat, tuntutan UU Perkawinan yang demokratis, buku-buku sekolah dengan harga yang murah, kesetiaan pada Pancasila, hukuman berat bagi pemerkosa, usaha mengatasi kenakalan pada anak-anak, dan mengubah berbagai peraturan yang deskriminatif. Dilihat dari isi yang terkandung dalam resolusi ini, jelas menunjukkan bahwa Gerwani semakin tengelam di dalam politik nasional Demokrasi Terpimpin. Setelah konggres III, pada tahun 1958 anggota anggota Gerwani mendorong kerjasama yang lebih erat antara berbagai golongan kiri yang ada dalam KWI atau Kowani dengan maksud agar KWI ini menjadi lebih peka dan aktif dalam masalah-masalah yang relevan bagi kaum perempuan miskin. Sebagai realisasinya dibentuklah "Gerakan Massa" di dalam KWI. Golongan kiri (termasuk sejumlah organisasi perempuan Islam) berusaha mendorong KWI memperingati Hari Perempuan Internasional setiap tanggal 8 Maret, dengan lebih menegaskan hubungan antara emansipasi perempuan dengan gerakan sosialisme. Beberapa orang pengurus KWI, seperti Maria Ulfah, dengan sengit menentang usaha yang disebutnya "infiltrasi" atau penyusupan Gerwani ini, dan "Gerakan Massa" pun dibubarkan.
Gerwani kemudian mengadakan konggres ke IV di Jakarta pada bulan Desember 1961. Konggres ini terakhir sebelum Gerwani dihancurkan pada Oktober 1965. Pada konggres ini, jumlah anggota telah mencapai 1.125.000 orang. Bertambah hampir 50 % pada saat kongres ke III tahun 1957. Beberapa resolusi yang ditetapkan dalam kongres ini antara lain pembebasan Irian Barat, membantu pelaksaan lands reform, UU Perkawinan yang demokratis, keamanan nasional, penurunan harga, dan perdamaian. Konggres ini menghasilkan program-program perjuangan, meliputi masalah hak-hak perempuan dan anak-anak, demokrasi dan keamanan, kemerdekaan penuh dan perdamaian. (Hikmah Diniah, 2007: 113). Bersamaan dengan meningkatnya suhu politik pada awal tahun 1960an, anggota-anggota Gerwani ikut berperan serta di dalam gerakan aksi sepihak Barisan Tani Indonesia (BTI). Gerakan ini dilancarkan untuk menuntut dilaksanakannya undang-undang lands reform. Bersamaan dengan itu, Gerwani berhasil merebut hak-hak politik kaum perempuan (misalnya hak perempuan untuk bisa dipilih menjadi kepala desa). Hal ini telah menimbulkan ketegangan diantara para golongan konservatif desa yang masih memegang amanat patriarki. Pada tahun-tahun terakhir sayap feminis pada organisasi ini kalah terhadap lebarnya sayap komunisme sehingga hubungan antara Gerwani dengan PKI dan presiden Soekarno menjadi sangat erat.
Gerwani akhirnya menyebarkan model tentang keibuan yang militan, dimana ibu-ibu harus bertanggung jawab terhadap pendidikan moral anak-anak mereka dan mengarahkan anak-anak agar menjadi anggota berguna dari keluarga manipol yang sejati. Model keibuan militan ini mengabungkan dua unsur yaitu fungsi keibuan perempuan dengan aktivitas politik (Ita F Nadia, 2007: 10-11). Akibat hubungannya dengan PKI inilah Gerwani harus menelan “pil pahit” seiring dengan pasang gelombang Gestapu 1965. Sayangnya stigma Gerwani sampai saat ini masih identik dengan wanita pelacur dan tidak beradab. Stigma seperti ini, seperti halnya yang terangkum dalam berita yang dimuat Berita Yudha Minggu.
Diantara djenasah itu ada yang dikebat dengan tali diantara dua majat…ditjungkil matanya…dipotong kelaminnja…dan banyak hal lain di luar perikemanusiaan. (dari) hasil penjelidikan…njatalah bahwa mereka…(pelakunya adalah “Gerwani” jang merupakan mantel…PKI. (Berita Yudha Minggu, 10 Oktober 1965: Buletin Ampera No.1/Th.II)

C. Penutup
Pejuangan perempuan Indonesia untuk memperbaiki nasibnya dan mengembalikan hak-hak mereka dari budaya patriarki (mental bapak) sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Banyak sekali tokoh perjuangan wanita yang secara gigih memperjuangkan kemerdekaan dengan caranya sendiri yaitu dengan berjuang agar para perempuan Indonesia dapat meraih pendidikan dan hak yang sama dengan kaum pria. Sementara itu, organisasi perempuan Indonesia baru mulai tumbuh pada sekitar abad ke 20, ditandai dengan banyak berkembanganya organisasi wanita modern sebagai salah satu organisasi kebangsaan. Perjuangan perempuan melawan penjajah Belanda pada waktu itu telah memberikan inspirasi dan dorongan bagi perempuan-perempuan generasi berikutnya untuk berjuang mewujudkan emansipasi kaumnya sekaligus memiliki peranan partisipasi dalam mengisi kemerdekaan. Perjuangan kaum perempuan pada waktu itu bukan hanya sekedar berjuang di garis belakang saja, tetapi juga banyak yang ikut berjuang dalam revolusi fisik.
Pada periode 1945-195 gerakan wanita banyak mengalami kebangkitan, hal ini ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi baru dengan tujuan yang beragam diantaranya Perwari dan Gerwani. Namun pada dasarnya mereka mempunyai kesamaan tujuan antara satu dengan yang lain yaitu tujuan untuk meraih persamaan dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. Perjuangaan wanita ini kadang harus menghadapi tantangan yang berat terutama dari golongan konservatif yang masih menggunakan tata cara feodalisme.
Berbagai corak gerakan mereka usung sesuai dengan karateristik masing-masing, bukan hanya mengurusi permasalahan-permasalahan sosial, kewanitaan, pendidikan, ataupun agama saja. Namun muncul pula organisasi sosial wanita yang terjun di gelanggang politik secara nyata. Pada masa ini juga ditandai dengan hubungan yang tidak harmonis antar organisasi perempuan terbesar yaitu Perwari dan Gerwani. Pertentangan ini disebabkan karena perbedaan ideologi ataupun arah dan tujuan organisasi yang berseberangan. Gerwani sendiri akhirnya tumbang bersamaan dengan derasnya arus Gestapu 1965, sedangkan Perwari meskipun masih tetap eksis tetapi gerakannya sangat dibatasi oleh pemerintah, terutama masa Orde Baru. Semoga pada masa sekarang ini muncul kembali gerakan-gerakan perempuan dalam rangka memperbaiki kondisi bangsa dan mempunyai inspirasi untuk lebih memajukan bangsa ini. Tentunya gerakan yang harus dilakukan adalah gerakan yang relevan dengan jamannya dan tetap bekaca pada sejarah.
Daftar Pustaka
Adam, Cindys. Soekarno an Autobiography as Told to Cindy Adams. ab. Major Abdul Malik Bar Salam. (1982). Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: PT Gunung Agung.

De Stuers, Cora Vreede. The Indonesians Woman: Struggles and Achievement. ab Elvira Rossa (dkk). (2008). Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencampaian. Depok: Komunitas Bambu.

Irwan Abdullah. (1997). Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan. Dalam Irwan Abdullah (ed). Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ita F Nadia. (2007). Suara-Suara Perempuan Korban Tragedi ’65. Yogyakarta: Galangpress.

K. Hikmah Diniah. (2007). Gerwani bukan PKI Sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia. Yogyakarta: Caraswatibooks.

Kowani. (1986). Sejarah Setengah Abad Kasatuan dan Persatuan Wanita Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Kuntowijoyo. (1994). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.

Rambe, Hanna. (1983). Mencari Makna Hidupku: Bunga Rampai Perjalanan. Jakarta: Sinar Harapan.

Ricklefs, M.C. A History a Modern Indonesia Since c. 1200 Third Edition, ab. Satrio Wahono (dkk). (2007). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. serambi Ilmu Semesta.

Sri Retna Astuti. (1990). Peranan Dapur Umum Dalam Masa Revolusi 1945-1949 di DIY. Yogyakarta: Depdikbud, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Sukarno. (1965). Di Bawah Bendera Revolusi._____________

_______. (1963). Sarinah. Jakarta: Panitya Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden soekarno.

_______. (1984). Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia. Jakarta: Idayu Press-Yayasan Pendidikan soekarno.

Wieringa, Saskia Eleonora. The Politizationof Gender Relations in Indonesia. a.b. Hersri setiawan. (1999). Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta: Garda Budaya.

Internet

Wieringa, Saskia Eleonora. Kuntilanak Wangi: Organisasi-Organisasi Perempuan sesudahtahun 1950, tersedia pada http://www.geocities.com/CapitolHill/Parliament/2385/, diakses tanggal 28 April 2008, jam 15.00 WIB.

Rusiyati. Sepintas Gerakan Wanita Indonesia dalam Perkembangan Sejarah, tersedia pada http://www.egroups.com/group/milis-spiritu, diakses tanggal 28 April 2008, pukul 15.00 WIB.

Jurnal
Luviana. “Identitas Perempuan Indonesia Dalam Koran dan Majalah”. Jurnal Perempuan, No 52 Tahun 2007.
Surat Kabar
Buletin Ampera No.1/ Th II. 10 Oktober 1965.

East imor

Resensi Jurnal
Oleh: Ana Ngatiyono S.Pd

Title :Indonesian Casualties In East Timor, 1975-1999:Analysis Of List
Author : Gerry Von Klinken
Journal : Indonesia , Number 80, Edition October 2005
Page : 109-123


Indonesian Casualties In East Timor, 1975-1999: Analysis of List
Demokratic East Timor is a small state in Australian North side and part of Timor island east. Besides this state region also cover Goat island or Atauo, Jaco, and Oecussi-Ambeno eksklave in West Timor. Before proclaiming as state independence at May 20, 2002 which is previous to be marked with opinion determination at 1999, During 20 year since year 1975 previous East Timor become Portugal country grabbed by Indonesia under New Order regime. During this 20 year of government finishing many fund to development in East Timor, despitefully during this two decade problems of collision and hardness to human right continue happened. In this Garry Von Klinken article study to regarding the amount of victim, good victim dying and also hurt victim from military and civil people in network occupying Indonesia in East Timor during 20 year. got data come from various its result him comparison, either from obtained from governmental version ( version and also military or from Timor East combatant alone.
Do not there are systematic and definitive data regarding victim fight in East Timor, this matter later; then become work all journalist for the expressing in newspaper. However since year 1990s a few openness in the effort solution concerning war in East Timor that is after Soeharto president and military leaders permit to be performed discussion concerning the problems. Abbatoir Santa Cruz is one of the most interesting study to be expressed to public. Incident Santa Cruz (also known as by Abbatoir Santa Cruz) is shooting of East Timor protest in Santa Cruz grave, Dili town mother at November,12, 1991. All protest, most student, performing their protest action to governance of Indonesia at obsequies their friend, Sebastião Gomes, picked off by Indonesia team one month previously. All student have anticipated parliament delegation arrival from Portugal, what still confessed by PBB legally as Timor East administration power. This plan canceled by after Jakarta objection because attending of Jill Joleffe as that delegation member. Joleffe is a Australian journalist which looked into support movement independence “Fretilin”. In funeral procession, all student perform banner for the self determination of independence and, presenting leader picture independence of Xanan Gusmao. At the time of the procession enter grave, Indonesia team start to shoot. From people who demonstrate in grave, 271 defeated, 382 injuring, and 250 disappearing. But many all pensioned officer because informing boldness about East Timor. Mean while General Murdani as one who run duty in East Timor advise about data which detail regarding commissioned army in East Timor by then. There are also many journalist laying open Dili abbatoir event 1975 by holding an interview with anonymous army which have conducting abbatoir and impinge human right in East Timor. But in the year 1999 after performed by opinion determination referendum and result East Timor chosen to secede from Indonesia felt very disappointed to all veteran fight because have many soul sacrificed to grab East Timor to Indonesia. All that felt cannot pay 3.700 dead Indonesia army and 2.400 suffering bodily injury.
When bloody tragedy in East Timor end in victim thousands of soul from Indonesia side (TNI), later then RI armed forces build a monument in Jakarta by the name of Seroja monument. This Monument of allotment do not openly for public society and only allotment to all family and victim every day warrior namely every November, 10. In the monument depicted from the aspect of look into military, Indonesian nation struggle grab East Timor and United States role in giving aid to RI in order to freeing East Timor from communism danger and its result can terminate terrorizing from Fretlin. One other depicted in relief is death from Lt. Nainggolan and trapped St. Trimakno and murdered by Faintil ( Military Iiberation of East Timor), differing from GAM, Faintil not many killing individually.
Remarkable matter which there are from Seroja monument to load data which its contents mourn requirement an military regime in this case Soeharto regime with diplomatic requirement in order to denying the operation mentioned as an collision action to human right. To get complete data regarding Seroja we earn to access with http://www website. Seejarahni.Mil.Id / index.php?cid : 1756. In it contain to regarding name, unity, date of death from all army and police dying in the effort grabbing East Timor . among others St Trimakno and Lt Naingolan.
Amount of monument at Monument Seroja is 3.804 which consist of 2.277 police and army and 1.527 from Timor East civil society. But their unclear death do by resulted because accident and or because becoming victim at the time of RI army struggle to grab Timor East in the year 1975. In 1993 General Muradani confess that taking place 247 encounter come up with year 1979 which by estimated the amount of victim both for bodily injury and also die from civil and also military amount to 25.000 until 30.000.
Later from submitted data via website will arise new question do data which accurate in it because only informing that victim die from military circle only 2.277. And data 1527 Timor East citizen dying do clear as warrior dying in the effort Iiberation of East Timor or die because other reason. All these Matter unclear him. But Megawati president open monument in the year 2003 explaining that East Timor citizen dying encounter effect in East Timor most is Ratih, Militia, Milsas, Wanra, Kamra. From the victim units semi from victim die is Militia (Wamil). Meanwhile, to look for accurate data regarding the amount of all East Timor victim can use the amount of military service card had every team in concerned in encounter. After identified by the amount of from military service card owner is 2.089. This compared to slimmer amount of data which there are in Seroja monument that is 2.277. This matter of showing that amount of victim in irregular East Timor tragedy.
If using harsh number comparison in order to searching the amount of hurt victim hence can be used comparison 3:1 namely every 3 people injure surely there is one who die. From way of this in getting possibility of sore victim amount to 10.800. this Amount much more big from released data is TNI that is 2400 people. People who injure and become veteran fight by government made room in Seroja complex in Jakarta town .
Other data express that is half the than victim dying to be resulted by encounter between Armed Forces Timor East (Falintil) maintain East Timor with Armed Forces Republic Of Indonesia. But victim immediately decrease when Falintil can be paralysed in Matibean mount in the 1998s. Hereinafter many death from East Timor combatant and civil citizen because of hunger effect of war.
Hardness that happened in East Timor East in the year 1990an have never decreased, but this matter don’t make military image decline because them still has image either due can defeat Falintil in the 1988s so that make situation a few is normal. At this decade, ever greater police role in taking care of East Timor security, so that no wonder if victim a lot fall from police units. The example in the year 1997 Falintil moment trap truck entourage bringing 31 police to protect general election to win Functional group party (Golkar), their thrown by grenade causing 16 police and 1 army defeated.
Other victim also come from unity of Petty officer ( NCOs) which is on year 1990s becoming many victim resulted to give battle with all combatant Iiberation of East Timor . Estimated almost 45 % officer ( NCOs) die as victim in East Timor. But this data not yet real correct of course because possible many mistake at adapted for archives power desire during 30th. Become during 15th conflict East Timor can be collected counted 580 amount of encounter causing death. its Big event in East Timor which causing many victim that is accident of estimated by patrol helipcopter effect of good weather so that defeat 10 body including is Major Yudomo, 4 colonel, and 5 lieutenant colonel. From this accident add unity becoming fatal death victim become to amount to 238 units.
Concept look for victim with concept look for per this unity can be told not too precise because half to almost totalize from team is battalion. This list also there are three brigade which consist of three battalion. East Timor armed strength which based on practice shoot more than two decade. More than that, strength organization change over at that time. Nevertheless, larger ones unit in long list of amounting to 238 fair so that easily can be recognized and stabilize. One hundred ten, or half almost, is Battalion. Open Vehicle Basin place totally of Battalion in Armed forces Indonesia 1995 a number of 137 units. Uncertainty of Commemoration above, looking because about 80 percentage of all natural Battalion Indonesia one or more accident in the East Timor. From this method is got that amount of victim die almost semi happened in the year 1975-1978. And victim dying many there are from Kostrad and Kopassus, biggest loss that is experienced of by kopassus because during year 1975 have loss 37 battalion units. Kostrad Battalion, 502 people lose during fifteen until twenty five year during a period of occupying. Some Kostrad Battalion hang on to coattail rear, both having bearing totally death in encounter. Other unit which also a lot victim becoming die devoted East Timor combatant at Indonesia. This Battalion joined in infantry with battalion category 744 ( Dili) and 745 ( Lospalos). Conflict not merely happened in big town but also happened in ground storey until storey countryside so that cause kodim 1628 and 1629, in Baucau and Lospalos run duty to give battle during 11 times by successively during year 1990an.
Clearly, don’t be elaborated by struggle with hundreds of death in single tragedy. Because Indonesia, most of war, even before November 1978, is an operation counterinsurgency, classifying like its intensity conflict lower. Even at assault early to the Dili at December,7 1975, if we earn this number trust regarding missing victim, from 140 the people disseminate in 40 unit. There are also other evidence which express that during period 1975-1999 victim dying [in] tired Timor East 3.600 people. Estimated also, 40 percentage of the amount of data dying still is unclear.
Seen from amount of victim, good of victim die and also East Timor bodily injury represent arena most bloody in the history of Indonesia Indonesian history and bloody event Indonesian nation expectation as in East Timor don’t recurred again. Particularly again after at September’4, 1999 Secretary General PBB kofi Anam announce result of referendum East Timor and its result 79% rightful claimant resident chosen to want to independence to get out of Indonesia, 21% will remain to be part of Indonesia with wide of status. This result make stare entire Indonesian nation and Habibie regime start is blaming each other one another. This ironic fact really because fought for area is Indonesian nation during almost 20th start from grabbing till development with thousands of nation patriot become victim in the reality is easily discharged by Indonesian nation

Mesianisme


Oleh: Ana Ngatiyono S.Pd
GERAKAN MESIANIS KORERI DI PAPUA: GERAKAN PERLAWANAN TERHADAP IMPERIALISME DAN KOLONIALISME (1938-1943)
A. Pendahuluan
The Land Time Forgot. Istilah tersebut sering digunakan oleh para anthropolog Barat untuk menyebut wilayah di ujung timur Indonesia yaitu Papua atau Irian Jaya. Wilayah Papua yang luas, unik dan kekayaan alam yang melimpah tidak membuat Papua menjadi pusat perhatian bangsa-bangsa di di dunia. Selama ratusan tahun lamanya, masyarakat Papua tidak memiliki kontak dengan dunia luar. Tidak adanya dunia luar dikarenakan oleh isolasi alam dimana 244 kelompok suku bangsa hidup dengan beragam bahasa, terpasung selama ribuan tahun dalam budaya yang dapat dikatakan mirip dengan budaya batu. Bahkan kehadiran Papua masih tetap terlupakan ketika Belanda menjajah Indonesia maupun Indonesia secara syah melalui hukum internasional berhasil mengintegrasikan Papua ke dalam wilayah NKRI. Mantan Residen Belanda di Irian Barat, Jan van Eechoud, bahkan menyebut Papua dulunya adalah “Tanah yang terlupakan” (vergeten Aarde). Belanda sendiri baru menaruh perhatian pada Papua pada tahun 1828 dan menjadikan tanah tersebut sebagai tanah pembuangan bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia. (Syamsul Hadi dkk, 2007: 97).
Akibat dari kedatangan bangsa Belanda atau Jepang yang menanamkan kekuasaanya di sekitar Papua telah menimbulkan reaksi perlawanan rakyat Biak dan Irian melalui suatu gerakan yang dinamakan dengan Koreri. Gerakan koreri pada awalanya adalah gerakan pembebasan orang-orang Biak dan Irian dari pengaruh kebudayaan asing. Gerakan ini sifatnya politis religious karena di dalamnya termuat tujuan dari gerakan itu yaitu menentang pemerintahan Belanda maupun Jepang dan agama Kristen yang telah dianggap sebagai penyebab dari penderitaan masyarakat. Sebenarnya proses pengKristenan atau dikenal dengan Zending telah menimbulkan akulturasi budaya antara kebudayaan Barat dengan kebudayaan asli. Menurut Lauer, akulturasi dianggap terjadi sebagai akibat pengaruh kebudayaan yang kuat dan bergengsi atas kebudayaan yang lemah dan terbelakang. Interaksi ini bukan hanya dihasilkan dari interaksi saja, tetapi dari rencana yang disengaja oleh kebudayaan yang kuat.Dalam proses terjadinya akulturasi ini yang perlu diperhatikan adalah proses terjadinya akulturasi itu yaitu melalui pemaksaan atau sukarela. (Robert H Lauer, 2003: 402). Gerakan Koreri ini juga dapat dikategorikan sebagai gerakan nativistik (Nativistic Movement) yang menurut pengertian Rapl Linton dianggap sebagai usaha yang sadar atau sengaja dari kelompok masyarakat untuk mempertahankan atau menghidupkan terus menerus aspek-aspek budayanya. Upaya masyarakat untuk terus-menerus menghidupkan kembali budayanya terjadi apabila sebuah masyarakat itu sadar bahwa ada budaya lain dan budayanya sendiri dimana eksistensi dari budaya sendiri sedang terancam. Pengertian menurut Rapl Linton ini nantinya dapat menganalisis bagaimana latar belakang munculnya gerakan ini secara sosiologis. (Bas Nanlohy, http://teologipapua.blogspot.com/2008/08/akulturasi-dalam-gerakan-koreri.html)
Sementara itu, rasa tidak aman di bawah Jepang dalam keberadaan faktual orang Biak Numfor mendorong mereka mendambakan realitas ideal, tempat ada kebabasan hidup sehari-hari. Kenyataan faktual banyak berisis krisis hidup seperti penyakit dan kematian, tanah yang tidak subur, perang-perang antar suku, wabah yang sewaktu-waktu mengorbankan banyak orang, kuasa ghaib yang menimbulkan rasa takut, panen yang gagal karena hama dan cuaca yang buruk, praktek sihir hitam dan lain sebagainya. Eksistensi faktual yang tidak dicita-citakan orang Biak Numfor ini menimbulkan rekasi negatif mereka. Bagi penduduk yang tidak menyukai realitas itu ingin membebaskan dirinya, namun keterbatasan dalam berbagai hal baik pengetahuan maupun kekuasaan tidak dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Oleh kerena itulah mereka mencoba menerobos ke dalam realitas mistis yang akan mewujudkan realitas dan dunia yang ideal sesuai dengan keyakinan mereka. Oleh karena itulah, untuk mencapai kenyataan itu suku Biak Numfor berusaha mewujudkan Koreri dengan mencoba mentransendensi realitas faktual itu supaya realitas ideal bisa diwujudkan. Tokoh itu yang dapat mewujudkan realitas itu ialah Manarmakeri. Nama itu berarti, lelaki kudis (man: laki-laki; armakeri: kudis). Sebutan-sebutan lain yang dikenakan untuk nama tersebut adalah, Kayan Byak (Kekayaan Biak), Kayan Sanau (Kekayaan Kudis), Mansern Manggundi (Tuhan Sendiri).


B. Latar Belakang Gerakan Koreri
Koreri merupakan sebuah mitologi yang mengisahkan seorang tua dari pulau Biak yang mengetahui dan memiliki rahasia tentang kehidupan abadi, yang dalam bahasa Biak disebut Koreri. Orang tersebut bernama Mananarmakeri, atau sering disebut Kayan Sanau atau Kayan Biak. Ia meninggalkan Biak bersama rahasia Korerinya dan berjanji akan kembali pada suatu saat. Kepergiannya dikarenakan sifat orang Biak yang cenderung pada kelaliman nafsu duniawi, ketidakjujuran, ketidakadilan dan suka menumpahkan darah. Jika sifat-sifat ini ditinggalkan oleh orang-orang Biak, maka ia akan kembali dengan rahasia Koreri untuk mereka.
Kisah tentang penemuan rahasia Koreri dimulai pada petualang Kayan Sanau melalui peristiwa dialognya dengan snon soroka (manusia dari negeri roh-roh). Kepergian Mananarmakeri ke arah Barat kali ini merupakan perpisahan ini bukan merupakan perpisahan untuk selama-lamanya. Karena ia sendiri berjanji bahwa ia akan kembali membawa Koreri bagi orang-orang Biak. ”Perjanjian Mananarmakeri” itu sebagai mitologi yang bercocok messianistis tetap hidup terutama dalam situasi-situasi sosial yang tegang. Mananermakeri pasti pada suatu saat akan kembali, karena itu orang-orang Biak tetap menunggu. Hal tersebutlah yang pada akhirnya membawa tokoh-tokoh di Biak menjadikan mitos itu untuk melegitimasi posisinya dalam masyarakat untuk melawan dominasi asing di Biak. Dari banyak gerakan mesianis di Melanesia (termasuk Papua) diketahui bahwa mite merupakan dasar timbulnya gerakan, dan memberikan dorongan dinamis untuk mengusahakan pembaruan dalam masyarakat. (F.C. Kamma, 1972: 31).
Koreri berasal dari dua kata, Ko yang berarti kita dan Rer yang berarti ganti kulit dengan ditambahkan imbuhan i untuk menjadikan kata itu menjadi kata sifat. Sehingga arti dari koreri adalah kita menggantikan kulit, yang maknanya kita menjadi baru kembali dalam arti yang luas. Dalam arti yang lebih luas, korer dengan imbuhan i berarti suatu kehidupan yang tidak mengenal penderitaan fisik maupun batin, tidak ada tekanan ekonomi, tekanan politik, penyakit atau mati, suatu kehidupan bahagia yang abadi sifatnya. Gerakan Koreri merupakan pemusatan kelompok kecil dan besar akan kembalinya Tuhan Negara Bahagia dan kondisi bahagia meirip surga yang dibawanya dan dikenal dengan koreri. Mereka berkumpul untuk menantikan kembalinya sang pahlawan mistis dan dunia baru yang akan diciptakannya.
Gerakan Koreri di Biak dan Irian ini hampir sama dengan gerakan milleniarisme di berbagai wilayah di Indonesia, yaitu menunjukkan suatu abad keharmonisan akan segera dipulihkan. Gerakan milleniarisme tentang kebahagiaan dan perdamaian yang sempurna ini biasanya akan ditandai dengan bencana alam, kemerosotan moral, dan kemelaratan dikalangan masyarakat. Hampir sama dengan gerakan di Jawa, gerakan Koreri juga mengharapkan gerakan milleniarisme difokuskan pada para pemimpin mesianis. (Sartono Kartodirdjo, 1973 :55-57). Dalam konteks gerakan koreri adalah Pengharapan mesianis orang Biak-Numfoor biasanya dihubungkan dengan tokoh Yawi Nusyado alias Manarmakeri, yang kemudian hari diberi gelar Manseren Manggundi (Tuhan Sendiri). Tokoh ini dianggap penting karena ia mampu memberikan kemerdekaan, kesejahteraan dan kehidupan baru bagi orang Biak-Numfoor. Untuk menyambut sang pahlawan dan kondisi baru, para penganut koreri melakukan berbagai persiapan antara lain:
a. Membangun rumah baru untuk Manseren Manggundi;
b. Memperbesar rumah masing-masing untuk menampung orang-orang yang akan dibangkitkankembali;
c. Mempersiapkan segala sesuatu, termasuk kayu bakar, sebab akan terjadi kegelapan selama tiga hari, yang mendahului kedatangan Manseren Manggundi.
d. Jangan memakan sayur labu dan babi. Alasannya ialah karena sayur labu dan babi, yang menjadi penyebab Manarmakeri meninggalkan kampung Sopen
e. Jangan makan daging ular dan udang. Alasannya ialah karena hewan-hewan yang bertukar kulit mempunyai sangkut pautnya dengan peristiwa perubahan kulit dari Manarmakeri. (F Ukur, 1977: 15)
Suatu gerakan Koreri ini timbul karena tampil seorang pelopor, pendahulu, perintis, atau semacam perantara yang disebut dengan Konoor. Kata konor dibentuk dari kon dan or. Kon berarti menduduki, menguasai, sedangkan or berarti matahari (lambang kehidupan). Maka konor berarti penguasa matahari, penguasa kehidupan. Karena or juga berarti “kuasa gaib”, maka konor mengandung pula makna “pemilik kuasa gaib”. Tak heran bila ke-konora-an berhubungan dengan kegiatan perdukunan atau pemimpin. Pada umumnya ia memberikan kesaksian bahwa ia memperoleh suatu penampakan Manseren Mangundi melalui suatu penglihatan atau mimpi. Sang pahlawan mistis mengatakan padanya akan datang kembali dengan membawa rahasia koreri. Rahasia Koreri tersebut adaah akan datangnya kehidupan seperti sorga yang di dalamnya orang mati akan hidup kembali dan mereka yang masih hidup akan memasuki kondisi keselamatan hidup yang utuh karena mereka akan mengala perubahan hakekat hidup. Untuk mencapai kenyataan ideal itu.
C. Wujud Gerakan Koreri
Gerakan koreri yang berlangsung di Biak selama periode 1938-1943, berdasarkan lama gerakannya, jumlah pengikut, serta intensitas pergolakan yang ditimbulkannya, dapat digolongkan menjadi tiga gerakan besar yang muncul secara terorganisir dan terarah serta beberapa gerakan-gerakan kecil lainnya yang muncul secara sporadis.
1. Gerakan Koreri di bawah pimpinan Angganitha.
Angganitha yang dianggap dewa oleh penduduk yang dirahasiakan dari pemerintah dan Zending, akhirnya terungkap juga pada pertengahan tahun 1941. hal tersebut berdasarkan penyelidikan dari pemerintah Belanda dan Pendeta Kristen yang kemudian meminta Angganitha menghentikan gerakannya, permintaan itu ditolak oleh Angganitha. Pemerintah kemudian melakukan pembakaran semua rumah termasuk rumah Angganitha, pemerintah juga melarang penduduk kampung Sowek untuk membangun rumah di pulau Insumbabi, tatapi dalam beberapa bulan saja para penduduk sudah membangun kembali rumah di daerah itu bahkan dengan jumlah yang lebih banyak dari sebelumnya.
Pemerintah kemudian bergerak kembali dan menangkap serta membawa Angganitha ke Bosnik dan kemudian dibawa ke Serui, setelah Angganitha dibebaskan dengan perjanjian ia tidak boleh menerima tamu dan tidak boleh menghidupkan kembali gerakannya. Angganitha dengan terbuka menyerang pemerintah dan Zending. Angganitha kemudian berusaha meningkatkan pengaruhnya. Rapat-rapat massal yang berlangsung di Insumbabi diikuti dengan pertentangan-pertentangan yang mengundang pertumpahan darah antara mereka yang pro agama Kristen dan yang pro Angganitha. Pertentangan semakin berkobar.
Angganitha berusaha memperkuat diri dengan melantik pembantu-pembantu yang dapar mewakilinya di setiap kampung dengan jabatan Tuan Damai atau Bin Damai. Tuan Damai menjalankan tugasnya untuk mempropagandakan pergerakan itu. Kemudian terjadi pertengkaran antara Tuan Damai dan polisi pemerintah yang kemudian membunuhnya pada tahun 1942. Padatanggal 8 Mei 1942 Angganitha ditangkap dan dibawa ke Bosnik. Tanggal 29 Juni 1942 Angganitha diasingkan ke Manokwari oleh pemerintah Jepang. Pengasingan Angganitha ke Manokwari merupakan penutup bagi babak pertama dari pergerakan Koreri yang dimulai dan dipimpin oleh dirinya yang bercirikan sinkretisme antara agama Nasrani dengan Mitologi Mananarmakeri.
2. Gerakan Koreri di bawah pimpinan Stephanus Simopyaref (1942)
Stephanus Simonpyaref berasal dari Manswam, Biak Selatan. Ketika ia dipenjarakan di luar Irian Jaya, yaitu di Jawa dan Maluku, ia banyak belajar mengenai Islam dan tentang ilmu kebathinan dan sulap. Ketika terjadi pengeboman di Manokwari, Stephanus dan para napi lainnya dibebaskan dan dalam perjalanan pulang ke Biak, Stephanus dan rekan-rekannya mengadakan rapat dan menghasilkan keputusan :
- Untuk melaksanakan perluasan dan tetap mempertahankan kesatuan maka perlu diadakan banyak propaganda.
- Angganitha harus dibebaskan dari penjara.
- Semua yang menentang pergerakan harus dibasmi dan semua penduduk asli yang tidak turut dalam pergerakan harus dipaksa untuk bersedia ikut serta.
- Tenaga Koreri akan diberi nama A.B. dan diambil seluruh penduduk Irian.
- Simbol pergerakan Koreri digunakan sebuah tanda salib berwarna biru pada bagian putih dan sebuah bintang di bagian merah pada bendera tersebut.
- Tentara Jepang tidak boleh diganggu kecuali keadaan terpaksa.
- Seluruh Irian mulai dari pulau dari pulau Gebe sampai Merauke dan Jayapura Timur akan berada dalam bendera Koreri.
- Kedudukan; 1. Angganitha harus diakui sebagai Ratu untuk seluruh Irian, 2. Stephanus akan menjadi Jendral atau panglima perang Angkatan Bersenjata A.B. 3. Semua fungsionaris yang ditunjuk oleh Angganitha harus diakui.
Dalam situasi yang berkobar-kobar dari masa pendukung Koreri yang berkumpul di Pulau Rani, tiba-tiba pada tanggal 13 Juli 1942 tibalah kapal Ursula dari Manokwari. Untuk membebakan Angganitha maka diperlukan perundingan dengan pihak Jepang. Dalam perundingan tersebut Stephanus menyampaikan beberapa tuntutan salah satunya yaitu pembebasan Angganitha. Jepang yang diwakili Iwata menjawab pembebasan terhadap Angganitha dapat dilakukanasalkan Stepanus pergi sendiri ke Manokwari untuk menyampaikan permintaannya kepada pimpinan Jepang di sana. Stephanus akhirnya memutuskan untuk ikut ke Manokwari guna membebaskan Angganitha.
Berselang beberapa waktu terdengar kabar bahwa Stephanus dan Angganitha dipancung oleh orang-orang Jepang pada Agustus 1942. Jan, Zadrak dan Kaleb Ronsumbre yang ditunjuk oleh Stephanus sebagai wakil-wakilnya menyelenggarakan suatu rapat di Rani yang membahas tindakan gerakan itu selanjutnya andaikata kedua pimpinan tersebut tidak kembali. Suatu penyerangan untuk membebaskan Stephanus dan Angganitha sepertinya sulit dilakukaan, kerena persenjataan pasukan Amerika Babo yang terdiri dari pentungan dan anak panah tidak dapat mematahkan pasukan jepang. Pendekatan yang dijalankan adalah membebaskan semua orang Irian yang anti Koreri yang dipenjarakan di Rani. Juga semua orang Irian yang Amber, yaitu para Guru, yang dipenjarakan harus dibebaskan, dan boleh kembali menjalankan tugas mengajarnya. Keputusan rapat ini baru direalisasikan pada tanggal 19 Juli 1942.

3. Gerakan Koreri di bawah pimpinan Birmori
Birmori merupakan teman sepenjara Stephanus di Manokwari dan ketika waktu pembebasan, ia ikut dibebaskan dan pulang ke kampungnya di Wapes, sebelah Barat Laut Biak. Setelah memudarnya gerakan Koreri yang berpusat di Rani, ia pergi mengunjungi Yamnaibori bekas tempat ladang Mangundi kemudian kembali dan menyatakan diri sebagai Raja Damai Wopes. Birmori berusaha untuk mendapat banyak pengikut melalui perbuatan-perbuatan yang sifatnya sinkretis antara Agama Nasrani dengan mitologi Biak dan penggunaan ilmu sihir. Beribu-ribu orang berduyun-duyun ke Wopes, yang dijadikan Birmori sebagai pusat pergerakannya, untuk menyaksikan dan menyediakan diri menjadi pengikut gerakan tersbeut. Dan ketika gerakan Koreri yang berpusat di Rani mengalami kemunduran, gerakan Koreri yang berpusat di Wopes mulai masa perkembangannya.
Birmori yang sejak awalnya tidak mau bekerja sama dengan Jepang, pada bulan Desember 1942 menyatakan pendiriannya secara terang-terangan terhadap Jepang. Hal pertama yang ia lakukan ialah tidak mau bekerja sama dengan pihak Jepang dalam hal apapun, kedua sekolah-sekolah harus ditutup karena mewajibkan penggunaan bahasa Jepang, ketiga Semua orang Amber yang berperan sebagai orang Jepang dan Mata-mata Jepang harus dihukum, serta dibunuh. Sikap Birmori yang terang-terangan menentang Jepang mengundang Jepang untuk melawannya. Pemerintrah Jepang mengatakan bahwa Birmori adalah seorang penghasut, pemberontak dan pengecut. Karena jumlah pasukan Jepang lebih sedikit, akhirnya pasukan Jepang melarikan diri. Birmori yang menyadari akan adanya serangan balasan melarikan diri ke hutan dan bersembunyi. Istreri Birmori terbunuh dalam salah satu bentrokan. Ketika Birmori ingin menggali liang lahat untuk istrinya, ia dibunuh oleh salah satu anggota keluarga dekatnya. Kepala Birmori kemudian dipotong dan diserahkan pada orang-orang jepang di Kodiro.
4. Beberapa peristiwa lain dalam Gerakan Koreri.
a. Peristiwa Andei di Numfor. Gerakan Koreri yang secara luas mempengaruhi banyak penduduk di Biak dan Numfor mempengaruhi jga Sangaji Namber, sehingga ia menolak menerima bendera Jepang yang mau diserahan kepadanya pada tanggal 15 Agustus 1942.
b. Peristiwa Manswam. Ketika kegiatan pergerakan di Rani mulai mengendor tiga orang bersaudara yang menjadi wakil Stephanus, masing-masing Jan, Zadrak dan Kaleb Ronsumbre memindahkannya ke Manswam, kampung asal mereka.
c. Peristiwa Serangan 25 januari 1943. salah satu peristiwa berdarah lainnya adalah serangan atas pusat pemerintahan Bosnik oleh pasukan A.B. yang dipimpin oleh Hanok dari kampung Sor pada tanggal 25 Januari 1943. (F.C Kamma, 1972: 36-41).
D. Penutup
Koreri merupakan gerakan mesianis yang cukup terkenal dan mempunyai pengaruh yang luas di Papua. Gerakan Koreri pada mulanya merupakan suatu pergerakan pembebasan orang-orang Biak dan Irian dari pengaruh kebudayaan asing. Gerakan ini distimulir oleh mitologi Manarmakeri. Pada tahap berikut, gerakan Koreri merupakan suatu gerakan yang bersifat politis-religius, karena menentang pemerintah (Belanda, Jepang) dan agama Kristen yang dianggap sebagai pembawa atau penyebab penderitaan masyarakat. Pada dasarnya gerakan-gerakan ini tidak hanya merupakan spekulasi tentang kejadian-kejadian, tetapi juga mendorong ke arah tindakan untuk mengubah situasi.
Gerakan Koreri juga dapat dikategorikan sebagai gerakan Nativistik yaitu gerakan yang mendambakan kebahagiaan dan lepas dari penderitaan dunia melalui datangnya seorang juru selamat (mesias). Gerakan Koreri ini merupakan bentuk realitas gaib atau mistis dunia ideal karena secara faktual mereka tidak dapat mengatasi berbagai bentuk kesulitan yang mereka alami. Hampir sama dengan gerakan Milleniarisme di Indonesia yang lain, gerakan Koreri sangat tergantung pada pemimpin gerakan sebagai sang juru selamat yang akan membebaskan rakyat dar ketidakadilan. Oleh sebab itu, ketika para pemimpin gerakan yang dianggap rakyat sebagai perantara datangnya manamarkeri ditangkap maka gerakan Koreri ini semakin lama semakin surut dan berakhir. Meskipun tidak menutup kemungkinan pada masa yang akan datang muncul kembali gerakan-gerakan mesianis yang lain, sebagai cotohnya muncul kembali gerakan Koreri gaya baru yang disebut dengan Farkahin pada sekitar tahun 1998.

E. Daftar Pustaka
Kamma, F.C. 1972. Koreri, Mesianic Movements in The Biak-Numfor Area. The Hague: Martinus Nijhoff.
Lauer, Robert H. 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Sartono Kartodirdjo. 1973. Ratu Adil. Yogyakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Syamsul Hadi, dkk. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru Negara Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta: Yayasan Obor.
Ukur F. 1977. Benih yang Tumbuh VIII. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI.
Internet
Bas Nanlohy. “Wacana Perubahan Sosial”. Diakses dari http:// teologipapua.blogspot.com/2008/08/akulturasi-dalam-gerakan- koreri.html. Tanggal 21 Maret 2010.

Perlawanan Petani

Oleh; Ana Ngatiyono S.Pd
PERLAWANAN PETANI DI JAWA PADA MASA KOLONIAL HINDIA BELANDA (1800-1942)
A. PENDAHULUAN
Ekspansi kekuasaan kolonial pada abad ke-19 merupakan gerakan kolonialisme yang paling besar pengaruhnya dalam membawa dampak perubahan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan di negara-negara yang mengalami penjajahan termasuk di Indonesia. Penetrasi kekuasaan politik dan ekonomi Barat telah mengakibatkan proses transformasi struktural dari struktur politik dan ekonomi tradisional kearah struktur politik dan ekonomi kolonial dan modern. Dampak penting dari gerakan kolonialisme adalah timbulnya sistem kolonial (colonial system) dan situasi kolonial (colonial situation) di negara jajahan. Sistem dan situasi kolonial ini telah menciptkan sistem hubungan kolonial antara pihak penguasa kolonial dengan penduduk pribumi yang dikuasai, dan antara pihak negara jajahan dengan negara induknya.
Ciri pokok hubungan hubungan kolonial pada dasarnya berpangkal pada prinsip dominasi, eksploitasi, diskriminasi, dan depedensi. Prinsip ini sangat kental sekali dalam pola pertanian tanaman pangan dan tanaman ekspor selama periode kolonial. Hal ini dikarenakan gerakan kolonialisme yang didukung oleh perkembangan kapitalisme agraris Barat, memandang tanah jajahan sebagai sumber kekayaan bagi negara induk. Tersedianya tanah dan tenga kerja murah yang melimpah di tanah jajahan memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi produksi pertanian yang menguntungkan bagi pasaran dunia. Eksploitasi yang dilakukan telah menyebabkan berbagai reaksi ketidakpuasan dari petani. Mereka menuntut dan menghendaki perbaikan tingkat kehidupan. Akan tetapi karena tekanan yang begitu besar maka cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki hajat hidupnya adalah dengan melakukan gerakan-gerakan perlawanan terhadap penguasa, baik penguasa tradisional maupun kolonial.
B. Latar Belakang Munculnya Perlawanan Petani di Jawa
Dalam perjalanan bangsa Indonesia, konflik pertanahan yang bercorak agraris ini selalu ada dan tidak pernah terlewatkan. Dari masa ke masa, kasus-kasus menyangkut sengketa tanah selalu bermunculan, yang seringkali menempatkan rakyat dalam posisi berhadapan dengan penguasa. Dalam posisi seperti itu, radikalisasi massa menjadi satu-satunya aksi perlawanan. Sejak jaman Majapahit sudah dimulai proyek-proyek besar untuk membuka tanah dan membangun sarana perairan dengan menggunakan alat-alat dari besi. Oleh karena itu, pada masa Majapahit salah satu konsekuensi yang diharapkan dari sebuah perlindungan raja adalah pemberian alat-alat petani oleh pemerintah. Untuk membuktikan pernyataan tersebut ada beberapa prasasti yang menyebutkan alat pertanian diantara hadiah yang diberikan raja pada waktu pensucian sima atau upacara pendirian desa baru. Prasasti tersebut diantaranya adalah Prasasti Lintakan (919) yang menjelaskan secara rinci alat-alat besi ataupun alat kuningan yang diberikan oleh pendiri desa kepada sebuah masyarakat baru. Akan tetapi pada masa itu budidaya padi masih berkembang lamban, dalam hal ini daerah persawahan masih merupakan kantung yang terbatas dan dibuka ditengah-tengah hutan.
Disekililing kantung tersebut masih memeiliki hutan yang lebat. Dalam syair yang diungkapkan oleh Mpu Prapanca meyebutkan bahwa tata agraris pada masa Majapahit telah mengalmi perkembangan yang sempurna, namun semenjak abad 15 dan 16 negara agraris Majapahit ini mengalami kemunduran sampai akhirnya tata agraris yang telah dibentuk hilang untuk beberapa waktu. Penyebab runtuhnya tata agraris ini dapat disebabkan oleh adanya perubahan hubungan antara raja dan kaum rohaniwan. Raja pada awalnya telah memberikan hak istimewa terhadap para rohanwan dengan imbalan kekuasaan mereka semakin dkuatkan dengan hadirnya para tokoh agama ini. Akan tetapi otonomi yang diberikan kepada para rohaniwan terutama setelah diberlakukan sistem sima maka wilayah yang masih berada di sekitar kerajaan masih menjadi hak milik raja, namun wilayah yang jauh di luar jangkauan raja secara syah menjadi milik para rohanwan. Dengan system yang berlaku pada waktu itu dapat disimpulkan bahwa memag sejak abad 15 bahkan jauh sbebelumnya kaum rohaniwan sudah menunggu tanah tanpa menunggu izin dari raja.
Sebelumnya yaitu pada sekitar abad ke- 14 keadaaan agraris di Majapahit sedikit mengalami perubahan yaitu terdapat sejumlah lungguh besar yang berada di bawah kekuasaan langsung para bangsawan. Walaupun bangsawan tersebut merupakan keluarga raja, mereka mempunyai kekuasaan nyata di daerah tersebut, bahkan mereke menyandang namanya. Swastanisasi di bidang pertanian juga mulai terasa di bidang pertanian, awalnya hanya dikenal mula-mula pada taraf desa dengan hak istimewa raja untuk mwmungut pajak. Yang menjadi hak petani adalah panen sebagai hasil dari pekerjaannya.
Selanjutnya pada masa Mataram politik agraris raja-raja mataram kurang meyakinkan, meskipun disisi lain dalam bidang agraris relatif cukup mendapat perhatian. Dari laporan duta van Goens dari Semarang ke Mataram menyebutkan bahwa wilayah persawahan di setiap jalan yang dilewatinya relatif sangat luas terutama di gerbang Silimbi yang merupakan pintu masuk Mataram. Terdapat pula petunjuk lain yang menyatakan bahwa pertanian di Mataram mengalami kemajuan yang pesat yaitu berkurangnya kawasan hutan bahkan kawasan-kawasan tertentu hampir hilang sama sekali. Pada perkembangan selanjutnya, Mataram mengalami kegagalan dalam mewujudkan kesatuan Jawa yang sudah menjadi cita-cita sejak raja pertama. Namun kegagalan dalam bidang politik sedikit banyak dapat diimbangi oleh kesuksesan dalam bidang pertanian (ekonomi). Mulai tahun 1755 samai dengan 1825 Mataram mengalami masa perdamaian dengan produksi pertanian yang bertambah banyak dan kesejahteraan umum yang bertambah baik. Dampak yang ditimbulkan jelas adalah berkurangnya fungsi hutan karena digunakan untuk lahan pertanian. Pertumbuhan ekonomi ini juga dibarengi dengan pertambahan jumlah penduduk yang cukup berarti. Dengan dikuasainya sebagian wilayah Mataram maka perkembangan agraris bukan hanya meliputi wilayah persawahan yang luas tetapi juga terdapat perkebunan besar dengan hal ini maka muncul golongan-golongan yang diantaranya adalah munculya para sikep.
Memang dalam realita kehidupan yang terjadi dalam lembaran sejarah di Indonesia petani sering kali menjadi objek eksploitasi oleh pemerintah kerajaan dan setelah pemerintah kolonial masuk eksploitasi terhadap mereka semakin besar. Sejak tahun 1800-an pemerintah kolonial merubah cara eksploitasi dari cara lama yang konservatif yaitu diatangan VOC mejadi pengelolaan modern dibawah pemerintah dan swasta. Eksploitasi modern ini memusatkan pada pemanfaatan faktor produksi yang utama di Indonesia yaitu tanah dan tenaga kerja. Dengan tersedianya faktor produksi tersebut maka pemerintah mengganti tanaman tradisional (traditional corp) menjadi tanaman perdagangan (comersial corp) yang berarti membuka lalu lintas Jawa bagi lalu lintas dunia.
untuk mendapatkan komoditas ekspor sebanyak-banyaknya dengan harapan keuntungan sebesar-besarnya pemerintah mengatur dengan cara modern yaitu melalui birokrasi modern dengan aparaturnya. Pemerintah memanfaatkan asset utama yaitu tanah, karena itu masa awal pemerintah kolonial (1800-1830) menarik pajak tanah dari petani. Selain pajak tanah juga diberlakukan sistem swastanisasi oleh perusahaan swasta. Namun karena upaya tersebut belum dapat mendapatkan asset yang besar maka semenjak tahun 1830 diterapkan sistem tanam paksa di Hindia Belanda. Sejak berlakunya sistem tanam paksa yang diikuti dengan sistem liberal dan sistem etis maka eksploitasi agraris semakin intensif dan kebanyakan petani mengalami penderitaan.
Dengan diperkenalkannya tanaman komersial maka maka mulai masuknya pengaruh perkebunan ke pedesaan-pedesaan Jawa, bukan hanya kelembagaannya saja tetapi sistemnya sehingga lembaga-lembaga tradisional fungsinya semakin terdesak. Sebelum mnunculnya perkebunan kehidupan para petani relatif lebih baik karena ada keseimbangan antara pendapatan dan pajak, namun setelah datangnya perkebunan para petani ini tidak bisa bebas untuk mengelola tanah tetapi justru lebih banyak dituntut untuk bekerja di perkebunan. Para petani menjadi hidupnya sangat bergantung pada perkebunan, dengan demikian sistem monetisasi mulai berkembang dengan adanya upah kerja.
Tanaman ekspor adalah tanaman pertanian dengan hasil tanaman dagang, seperti tebu, kopi, tembakau, dan lainnya, sedangkan pertanian tradisional adalah tanaman pertanian dengan hasil tanaman sebagai pemenuhan kebutuhan pokok (subsisten), seperti palawija, padi, buah-buahan, atau sayur-sayuran. Karena itu kehadiran sistem perkebunan dengan orientasi utama tanaman perkebunan pada lingkungan masyarakat agraris tradisional di tanah jajahan seperti di Indonesia dianggap telah menciptakan tipe perekonomian kantong (enklave economics) yang bersifat dualistis (dualistic economy). Kehadiran perkebunan telah digambarkan telah menciptakan sektor perekonomian “modern”, yang berorientasi ekspor dan pasaran dunia, ditengah-tengah lingkungan komunitas sektor perekonomian “tradisional” atau “subsisten”. Sektor modern dan tradisonal dalam kehidupan perekonomian negara-negara kolonial seperti Indonesia sering digambarkan seperti hubungan perekonomian ganda atau dualistis yang dikemukakan oleh J.H Boeke.
Menurut J.H Boeke di Indonesia terdapat dua sistem ekonomi sosial yang disebut sebagai “pra-kapitalisme dan “kapitalisme tinggi”. Sistem “pra-kapitalisme” sama dengan rumah tangga desa yang memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak mengenal lalulintas (ekonomi) dan menganggap rumah tangga pedesaan di Indonesia sebagai pedesaan yang kolot yang hanya memenuhi kebutuhan sendiri dan menutup diri dari lalulintas ekonomi serta tidak mengenal uang. Lalulintas uang desa dan perdagangan hanya hanya beredar dalam batasan desa. Sementara kapitalisme tinggi terdiri atas perusahaan-perusahaan Barat yang besar dan modern. Lalulintas uang dan perdagangan dualistis menyangkut hubungan antara desa yang sifatnya pra-kapitalis dengan lingkungan yang sifatnya kapitalis tinggi.
Teori J.H Boeke ini dengan jelas mengambarkan bahwa munculnya sistem perkebunan dan budidaya tanaman ekspor menimbulkan masuknya golongan kapitalis, yaitu tampilnya pengusaha-pengusaha Eropa untuk mengelola industri perkebunan dan golongan buruh yang terdiri dari golongan pribumi. Kondisi ini memunculkan bentuk pertanian baru, yaitu pertanian tanaman pangan yang harus berdampingan dengan pertanian tanaman ekspor. Dalam kepemilikan tanah petani harus berkompetisi dengan para kapitalis Belanda. Persaingan yang terjadi adalah persaingan yang tidak seimbang karena pihak penguasa Hindia Belanda memiliki modal dan dukungan politik yang kuat.
Membanjirnya arus perkebunan ke pedesaan telah mendesak berbagai keadaan. Lembaga tradisional mulai terdesak keberadaannya begitu pula dengan kehidupan sosial petani yang mulai terancam. Dalam masyarakat Indonesia terutama Jawa terdapat hubungan antara patron-klien atau dapat diartikan sebagai konsepsi gusti-kawula yaitu raja sebagai patron dan rakyat sebagai klien. Raja bertindak sebagai patron bertindak sebagai penguasa wilayah sekaligus sebagai penguasa politik. Kedudukan raja sebagai penguasa wilayah ditunjukkan dengan kepemilikan tanah. Disisi lain rakyat sebagai klien yang mempunyai hubungan harmonis karena keduanya saling memerlukan bantuan. Fungsi patron sendiri adalah melindungi dan berusaha agar kebutuhan rakyat terpenuhi, dan hidup tenteram di lingkungan luar maupun dalam kerajaan. Memang pada dasarnya patron mempunyai kesempatan besar untuk melakukan eksploitasi terhadap rakyat akan tetapi biasanya raja membatasi tindakannya agar tidak dianggap sewenang-wenang.
Dengan dibukanya tanah partikelir untuk perkebunan di Jawa maka terjadilah pergantian patron. Dengan demikian kedudukan raja diganti oleh patron baru yaitu para penyewa tanah. Kebijakan politik yang dilakukan oleh penyewa adalah dengan mengeluarkan peraturan yang diperkuat oleh sanksi pidana yang dilegalisasikan oleh pemerintah. Para penyewa tanah ini mendapatkan backing dari pemerintah untuk merealisasikan tindakannya. Selain itu peraturan yang dibuat merugikan dan mengikat rakyat yaitu agar rakyat mensuplai tanah dan tenaga kerja semaksimal mungkin. Pada perkembangan selanjutnya para kepala desa tidak lagi berorientasi pada patron tetapi pada pemilik perkebunan, mereka telah menjadi handlanger pabrik dan perkebunan. Para patron baru ini biasanya mendapatkan bagian hasil pertanian yang lebih besar, selain itu patron juga menuntut upeti dan pajak dari rakyat berupa natura, uang, dan tenaga kerja, dan pajak insindental yang jumlahnya tidak terbatas dan berdasarkan situasi. Terdapat pula para patron yang menintimidasi kebudayaan setempat agar ia tetap kokoh dan memiliki kuasa dan wibawa seperti penguasa tradisiona. Sebagai contohnya di Surakarta Dezentje yang membuat rumah dan hidup layaknya bangsawan Jawa dalam hidup dan kebiasaannya
Di pedesaan terjadi pula kelompok yang menduduki stratifikasi sosial lebih tinggi yaitu oleh para sikep dan kuli kenceng erhadap kuli lain yang lebih rendah kedudukannya. Oleh karena itu para petani rendahan tidak mempunyai posisi tawar sehingga kehidupannya hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten. Kehidupan petani lebih berat lagi di tanah partikelir karena harus membayar pajak dan layanan yang disebut dengan cuke. Sebenarnya besarnya cuke adalah seperlima dari jumlah panen akan tetapi dalam prakteknya sering kali jumlah punggutannya jauh lebih besar. Selain itu, petani juga dikenakan layanan kerja yang disebut dengan kompenian yaitu kerja wajib yang dilakukan lima hari dalam sebulan, garol yaitu kerja wajib tiga hari setiap bulan, dan kemit yaitu tugas jaga (ronda). Tidak jauh dengan di tanah partkelir, di tanah di wilayah vorstenlanden juga mengalami hal yang sama yaitu pendapatannya setelah dikurangi oleh biaya produksi termasuk pajak, penyerahan wajib, dan sumbangan.
Praktek perkebunan memang tidak memberikan hak hidup bagi petani. Perkebunan telah menelan tanah dan tenaga kerja mereka yang berimbas pada penderitaan para petani. Makin buruknya kehidupan sosial ekonomi petani karena makin kuatnya desakan perkebunan menimbulkan perasaan tidak puas petani. Ketidakpuasan ini kemudian dimunculkan dalam tindakan secara tradisional yang prinsipnya adalah balance and power yaitu dengan kekuatan merebut kekuatan miliknya dari tangan perkebunan. Hal tersebut banyak dilakukan dengan berbagai tindakan yaitu diantaranya tindakan destruktif dan kriminal seperti halnya pembakaran, pencurian, dan pembunuhan.

C. Bentuk-Bentuk Perlawanan Petani
Dalam catatan sejarah, segenap bentuk perlawanan massa yang berkaitan dengan persoalan agraria tidak lepas dari corak pemerintahan yang tengah berkuasa saat itu. Hal demikian dimungkinkan, mengingat pertanahan acapkali menjadi bagian dari perpolitikan, sebagai alat bagi kepentingan penguasa. Di sisi lain, upaya perlawanan pun tidak terjadi dengan sendirinya, sebagai letupan emosi spontan para petani. Di balik aksi tersebut, keberadaan pihak-pihak yang bersimpati pada penderitaan petani mampu memberikan akses dan bahkan mewujudkan perlawanan tersebut. Beberapa kesan seperti ini begitu kental terlihat dalam berbagai kasus sengketa pertanahan. Diantaranya pemberontakan petani Banten dan berbagai kasus perbanditan sosial dalam masyarakat petani pedesaan.
Untuk kasus pemberontakan atau perlawanan petani di Banten mulai muncul ketika tahun 1808, Daendels mengapuskan tanah-tanah milik sultan lalu memungut seperlima bagian dari hasil panen sebagai pajak tanah untuk seluruh daerah dataran rendah di Banten. Beberapa tahun kemudian Raffles menjadikan sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah. Pemegang-pemegang hak atas tanah menerima ganti rugi atas kehilangan pendapatan dari upeti dan kerja bakti. Namun, hal ini justru memunculkan peluang-peluang pamongpraja untuk melakukan korupsi. Disinilah kemudian timbul suatu konflik kepentingan yang mencekam masyarakat Banten sampai meletusnya pemberontakan. Hubungan antara kaum petani dan elite sudah ditandai oleh konflik-konflik kepentingan yang ada dan dicetuskan oleh pembaharuan-pembaharuan dalam bidang perekonomian agraris. Perpecahan-perpecahan sosial itu dipergawat oleh persoalan-persoalan lain yang berhubungan dengan kerja-kerja bakti yang diwajibkan. Serta efek yang mengganggu dari penetrasi perekonomian uang sudah mulai dirasakan mengakibatkan pemindahan hak atas tanah dan pemusatan pemilikan tanah.
Proses perubahan yang menyertai masuknya budaya barat secara progresif telah melahirkan golongan-golongan sosial baru dan menyebabkan re-stratifikasi sosial dalam masyarakat Banten. Pada mulanya, hirarki status sosial tradisional terdiri atas kelas-kelas sebagai berikut :
1. Sultan dan golongan kerabat sultan, yang terdiri atas bangsawan tinggi dan bangsawan rendah.
2. Pejabat-pejabat tinggi yang pada mulanya merupakan pengikut-pengikut pribadi sultan.
3. Golongan mardika atau kaum yang terdiri atas orang-orang yang sukarela masuk Islam.
4. Kaum abdi atau hamba, yakni mereka yang telah dikalahkan oleh penakluk-penakluk Islam dan dipaksa masuk Islam. Dalam kelas ini juga masuk golongan utangan, yakni mereka yang diwajibkan menjadi prajurit untuk memerangi bajak laut.
Masuknya penetrasi kolonial membuat kaum bangsawan yakni, aristrokat tradisional kemudian merosot kedudukannya dan menjadi miskin karena tidak mempunyai kekuasaan politik lagi meskipun masih memiliki prestise sosial.
Di dalam struktur negara tradisional kekuasaan sultanlah yang mempunyai prerogratif baik dalam urusan politik maupun urusan agama. Langsung dibawah sultan adalah pangeran anggota keluarga sultan dan bangsawan lainnya. Diantara mereka ada yang bertugas mengawasi pasukan pengawal keraton dan budak-budak, akan tetapi sebagai anggota-anggota golongan sultan biasanya mereka tidak dimasukkan dalam organisasi administratif. Bagian adminstratif diserahkan kepada rakyat biasa yang cakap. Meskipun demikian ikatan-ikatan kekerabatan sering digunakan untuk mempererat hubungan antara sultan sebagai patron dan rakyat sebagai klien untuk memudahkan seseorang memperoleh jabatan. Akhirnya, yang menduduki jabatan birokrasi tetaplah kerabat-kerabat sultan. Dengan diberlakukannya administrasi barat sistem itu mulai mengalami perubahan berangsur-angsur tetapi tetap mendasar. Pemberlakuan sistem administrasi modern membutuhkan orang-orang yang benar-benar cakap dalam tugasnya. Sebagai permulaan, pemerintah kolonial memang masih menggunakan aristokrasi tradisional untuk menjembatani pemerintahan kolonial dan rakyat. Namun, karena mereka cenderung tidak efektif dan korupsi dalam menjalankan tugas maka pemerintah kolonial membuka kesempatan bagi rakyat biasa untuk menduduki jabattan administrasi.
Dalam menghadapi disintegrasi sosial kaum aristrokat tradisional pada akhirnya bekerjasama dengan petani untuk melancarkan pemberontakan terhadap penetrasi sistem-sistem barat. Semakin meningkatnya pengawasan politik oleh Belanda telah menimbulkan rasa tersingkir dan frustasi dari kalangan elite agama hingga akhirnya mengadakan persekutuan dengan dua golongan sebelumnya. Golongan baru yang dapat diidentifikasikan sebagai aristokrat modern terdiri atas pegawai negeri atau birokrat. Golongan itu muncul bersamaan dengan ekspansi administrasi Belanda sebagai golongan elit baru yang menganjurkan modernisasi sementara mereka sendiri tetap berpegang pada nilai tradisional. Arisktokrasi lama melihat dalam perkembangan ini satu kesempatan untuk mempertahankan prestise dan pengaruh sosialnya, sementara mereka berusaha memulihkan kedudukan mereka dengan jalan memperkuat afinitasnya dengan elite baru. Meskipun perlawanan tersebut dapat dipadamkan tetapi paling tidak telah membuktikan bahwa ada tantangan dan tanggapan, yaitu reaksi rakyat terutama petani pedesaan untuk menghadapi berbagai tekanan baik dari pemerintah colonial maupun para elit politik setempat.
Bentuk perlawanan petani ini juga dapat terlihat dari bentuk gerakan resistensi petani yang dipimpin oleh dua orang tokoh, Entong Tolo dan Entong Gendut dikenal sebagai pemimpin bandit sosial yang bercampur motivasi politik di salah satu distrik Jatinegara. Mereka dikenal sebagai “Robin Hood” Batavia yang anti tuan tanah. Entong Tolo 50 tahun seorang pedagang asal Pondok Gede kemudian pindah ke Pagerarang, Jatinegara. Dalam situasi masyarakat yang tidak menentu Entong Tolo mengambil keuntungan, dia membantu petani yang tinggal di tanah partikelir yang menderita karena tekanan berbagai pajak. Polisi agak kewalahan memenjarakan Tolo karena tidak mempunyai bukti. Akhirnya dia ditangkap pemerintah pada bulan November 1908. Dua anak Entong Tolo, yang pertama dihukum kerja paksa di Bekasi tahun 1904 dan anak kedua di hukum karena menjadi penyamun.
Perbanditan Entong Gendut terjadi pada tahun 1916, dia meneriakkan suara ketidakpuasan petani di tanah partikelir Tanjung Timur, Asisten Wedana Pasar Rebo, Afdeling Jatinegara. Resistensi petani di tanah partikelir ini kemudian berkembang menjadi gerakan Quasi-Religius. Entong Gendut menghalangi eksekusi penduduk Batuampar dan Balekambang, Condet yang tidak melunasi hutang dan kewajiban mereka terhadap tuan tanah. Pengikut Entong Gendut bertambah banyak dan ia menyebut dirinya Raja Muda yang dibantu delapan orang patih. Perbanditan Entong Gendut pada dasarnya adalah perbedaan kepentingan yang bermaksud melindungi petani dari penghisapan dan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah yang membakar rumah mereka, keberanian para bandit itu diikat oleh nilai religious.
Terjadi pula perlawanan petani dengan orientasi utama adalah anti tuan tanah partikelir. Gerakan ini dipimpin oleh seorang pemimpin bernama Kaiin Bapa Kayah dari desa pangkalan mempunyai tujuan untuk membebaskan penduduk dari cengkeraman tuan tanah Cina. Dia seorang petani kecil seperti umumnya petani Tangerang, status petaninya sebagai bujang sawah (buruh) dan pernah menjadi petani bagi hasil. Rumahnya didirikan di pekarangan kakak perempuannya dan uang kompenian tidak pernah dibayar dengan baik. Dia pernah menjadi mandor , opas Asisten Wedana Teluknaga dan kemudian pindah ke Batavia menjadi opas komisaris polisi. Kaiin Bapa Kayah memimpin untuk mengusir Cina dan merampas tanahnya, karena menurut mereka tanah Pangkalan adalah milik mereka sejak leluhurnya. Resistensi petani di wilayah lainnya juga banyak dilakukan dengan cara pembakaran terhadap lahan perkebunan. Pembakaran tebu dan los tembakau dan sejenisnya banyak terjadi di daerah Surakarta. Namun demikian laporan colonial tidak member porsi yang wajar terhadap resistensi petani berupa pembakaran.
Contoh lain dari reaksi petani terhadap kondisi masyarakat kolonial dapat dilihat dari gerakan masyarakat Samin. Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih. Gerakan Samin ini dipimpin oleh tokoh yang bernama Surantika Samin (1859-1914). Gerakan ini muncul di wilayah Blora yang kurang subur dimana pemerintah kolonial Belanda menganti pertanian tradisional dengan perkebunan jati.
D. Kesimpulan
Dalam catatan sejarah bentuk perlawanan massa yang berkaitan dengan persoalan agraria tidak lepas dari corak pemerintahan yang tengah berkuasa saat itu. Hal demikian dimungkinkan, mengingat pertanahan acapkali menjadi bagian dari perpolitikan, sebagai alat bagi kepentingan penguasa. Di sisi lain, upaya perlawanan pun tidak terjadi dengan sendirinya, sebagai letupan emosi spontan para petani. Di balik aksi tersebut, keberadaan pihak-pihak yang bersimpati pada penderitaan petani mampu memberikan akses dan bahkan mewujudkan perlawanan tersebut. Beberapa kesan seperti ini begitu kental terlihat dalam berbagai kasus sengketa pertanahan. Pada era kolonialisme, kebijakan tanam paksa dan penerapan pajak tanah merupakan awal dari tertanamnya rasa kebencian masyarakat, terutama bagi mereka yang berada jauh dari lingkaran kekuasaan. Bentuk-bentuk paksaan dan pungutan yang sangat eksploitatif ini dianggap merusak sistem pemilikan tanah di pedesaan. Dalam sekejap, tanah rakyat menjadi semakin terfragmentasi, menyusut dan membuat kehidupan ekonomi petani semakin melarat.
Perubahan konstelasi politik pemerintah kolonial Belanda dari kaum konservatif kepada kalangan liberal tidak memberikan kemajuan yang berarti bagi rakyat. Dihapusnya sistem tanam paksa, lahirnya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870, justru melahirkan bentuk penderitaan baru. Pada saat inilah para pemodal asing, terutama pengusaha Belanda, memiliki kesempatan luas menggunakan lahan untuk berusaha perkebunan tanaman ekspor. Dengan mudah para kapitalis asing ini memperoleh hak penguasaan tanah dengan jangka waktu tidak terbatas di lingkungan kota (hak Eigendom), hak sewa tanah turun-temurun untuk menjalankan usaha (hak Erfpacht), hak konsensi, maupun hak sewa jangka pendek.
Meskipun Agrarische Wet diberlakukan, di sisi lain keberadaan hukum adat pun tetap diakui. Artinya, pihak penguasa memberikan pengakuan terhadap keberadaan para tuan tanah, kaum feodal lama. Berbagai pihak memandang kebijakan tersebut dipertahankan dengan sengaja, yaitu secara tidak langsung dapat dijadikan alat untuk melanggengkan langkah pengusaha perkebunan asing dalam memperoleh lahan maupun tenaga kerja. Kebijakan ini dirasakan semakin mengikat rakyat, para petani kecil. Berbagai faktor itulah yang kemudian menyebabkan banyaknya perlawanan rakyat terhadap para penguasa.
E. Daftar Putaka
Boeke, J.H dan D.H Burger. 1973. Ekonomi Dualistis: Dialog Antara Boeke dan Burger. Jakarta: Bhratara.
Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaankerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
Sartono Kartodirdjo. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka jaya. 1984.
Suhartono. Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis 1850-1942 di Jawa.1993. Yogyakarta: aditya Media.