JAMPRIBADI

Minggu, 18 April 2010

Kehidupan Para Nyai Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Oleh: ANA NGATIYONO S.Pd
KEHIDUPAN PARA NYAI DAN PEREMPUAN BELANDA YANG MENIKAH DENGAN LAKI-LAKI INLANDER PADA MASA KOLONIAL DI HINDIA BELANDA
“Jika sejarah adalah memori kolektif umat manusia dan memberikan pembenaran moral untuk masa kini, maka ketiadaan perempuan dalam sejarah adalah sama saja dengan menyesatkan sejarah, dengan membuatnya seolah-olah hanya lelaki yang berperan serta dalam kejadian-kejadian yang dipandang sebagai berjasa dalam memelihara, dan dengan menyajikan gambaran yang salah tentang bagaimana yang terjadi.” (Kleimberg S Jay dalam Lolly Suhenty, 2007: 37)
A. Pendahuluan
Perempuan secara langsung menunjuk pada salah satu jenis kelamin. Marginalisasi perempuan yang muncul menunjukkan bahwa perempuan sering disebut sebagai warga kelas dua, yang keberadaanya tidak begitu diperhitungkan. Dikotonomi alam (nature) alam dan budaya (culture) digunakan untuk menunjukkan pemisahan jenis kelamin ini, yang satu dianggap rendah dari yang lainnya. Perempuan yang mewakili sifat alam (nature) harus ditundukkan agar mereka lebih berbudaya (culture). Usaha membudayakan perempuan tersebut telah mengakibatkan proses produksi dan reproduksi ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan. (Irwan Abdullah, 1997:3).
Dalam perjalanan sejarah khususnya di Indonesia, berkembangya feminisme telah membuat perempuan mempertanyakan kembali identitas yang menyagkut asal-usul dan status keberadaan mereka. Perempuan menganggap bahwa mereka tidak diberikan tempat karena sejarah yang berkembang saat ini masih dominan menggunakan perpekstif laki-laki. Dapat dikatakan bahwa penelitian sejarah yang mengungkapkan perempuan masih sangat lambat. Meskipun perempuan hadir dalam setiap titik waktu sejarah, mengikuti dinamika ruang dan waktu, namun kedudukannya selalu hanya dijadikan sekedar aktor yang tidak penting atau “figuran”. Dalam edisi pertama buku metodologi Sejarah, Kuntowijoyo menulis kemugkinan dilakukannya penelitian dengan lebih mengembangkan tema sejarah perempuan, lengkap dengan metodologinya, teori, dan konsep-konsepnya. (Kuntowijoyo, 1974: 79-110).
Penulisan sejarah dengan menggunakan metodologi sejarah perempuan menurut Kuntowijoyo bukan berarti bahwa tulisan sejarah yang dihasilkan harus bersigat gynocentris (sejarah yang berpusat pada perempuan), melainkan sejarah yang lebih adil dan proporsional, yaitu sejarah yang menempatkan posisi antara laki-laki dan perempuan secara seimbang dan tidak ada deskriminasi diantara keduanya. Kuntowijoyo menyebutnya sebagai tulisan sejarah yang bersifat androgynous. (Kuntowijoyo, 1974: 98-99).
Memahami berbagai konsep yang berbeda-beda tentang perempuan dalam berbagai kebudayaan , tidak akan ada gunanya apabila kemudian dicocokkan dengan praktek kebudayaan yang bersangkutan dalam memperlakukan perempuan. Dengan kata lain, sekalipun terdapat berbagai konsep yang baik tentang perempuan, namun dalam prakteknya hanya terdapat satu kenyataan yaitu perempuan di bawah dominasi laki-laki. Dan bagi perempuan mau tidak mau kondisi tersebut berarti segalanya bagi perempuan dalam sejarah kebudayaan manusia. Sejarah manusia, baik yang sakral yaitu yang diambil dari kitab-kitab suci dan mitos, maupun yang sekular, yakni yang disusun secara ilmiah, senantiasa menunjukkan diri sebagai sejarah lelaki. Kaum lelaki itulah yang membangun dunia dimana terdapat perempuan di dalamnya. Dengan kata lain, antara lelaki dan perempuan tidak setara. (Imam Akhmad, 1993: 49).
Sejarah mencatat bahwa pada masa kolonial perempuan Indonesia harus berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan hak-hak peribadinya, baik hak untuk memperoleh kemerdekaan, hak untuk bersekolah, maupun hak dalam berorganisasi. Pada dasarnya perempuan Indonesia masa itu masih harus berjuang merubah sistem untuk memperbaiki kelas sosial mereka yang selalu dianggap lebih rendah dari pada laki-laki Indonesia dan laki-laki Eropa berkulit putih. (Luviana, 2007: 48). Situasi mereka yang dinomorduakan itulah yang membuatnya dianggap tidak penting dalam kehidupan, namun perlu diingat bahwa merekalah sebagai mediator utama antara dua kebudayaan yaitu Indonesia dan Belanda .
Dari sedikit latar belakang diatas ada ketertarikan penulis untuk menulis bagainana kehidupan perempuan Indonesia dan Belanda diantara dua kebudayaan yang berbeda. Konsep ini dapat diartikan mengenai bagaimana perempuan pribumi menghadapi persinggungan dua budaya berbeda yaitu budaya pribumi dan Belanda, ataupun perempuan Belanda dalam menghadapi persingungan dua budaya yaitu budaya pribumi dan Belanda. Kehidupan terhadap mereka mencangkup berbagai substansi isi antara lain bagaimana perlakuan yang mereka terima dari berbagai kalangan baik dari kalangan pribumi atau orang-orang Belanda sendiri terutama kaum laki-laki, bagaimana perempuan pribumi atau Belanda menghadapi situasi tersebut, dan apa saja hasil budaya yang dihasilkan dari persinggungan dua budaya itu.
B. Awal Munculnya Nyai dan Kehidupannya di Hindia Belanda
Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa Hindia Belanda termasuk wilayah terpentingnya di Pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan yang jauh berbeda tetapi disisi lain hubungan itu semakin akrab. Kebudayaan Eropa (Barat) dan kebudayaan Timur (Jawa), yang masing-masing didukung oleh etnik yang berbeda dan mempunyai struktur sosial yang berbeda pula bercampur semakin mendalam dan erat. Akibat pertemuan dua kebudayaan tersebut, kebudayaan bangsa pribumi (Jawa) diperkaya oleh kebudayaan Barat. (Djoko Sukiman, 2000: 21). Alasan mengapa lebih mengarah pada kebudayaan Jawa karena hanya di Jawalah yang terdapat percampuran budaya (kemudian dikenal dengan budaya Indies), namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa di wilayah Hindia Belanda di luar Jawa juga terdapat percampuran dua budaya akibat pertemuan dua budaya dengan waktu yang relatif lama.
Pertumbuhan budaya baru ini pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda. Larangan membawa istri (kecuali pejabat tinggi) dan mendatangkan wanita Belanda ke Hindia Belanda memacu terjadinya percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran dan menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-Pribumi, atau gaya Indis. Kata “Indis” berasal dari bahasa Belanda Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan Belanda di seberang lautan yang secara geografis meliputi jajahan di kepulauan yang disebut Nederlandsch Oost Indie, untuk membedakan dengan sebuah wilayah jajahan lain yang disebut Nederlandsch West Indie, yang meliputi wilayah Suriname dan Curascao. Konsep Indis di sini hanya terbatas pada ruang lingkup di daerah kebudayaan Jawa, yaitu tempat khusus bertemunya kebudayaan Eropa (Belanda) dengan Jawa sejak abad XVIII sampai medio abad XX. Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di Pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan yang jauh berbeda itu makin kental. Kebudayaan Eropa (Belanda) dan Timur (Jawa), yang berbeda etnik dan struktur sosial membaur jadi satu.Golongan masyarakat atas adalah pendukung utama kebudayaan Indis.
Memang pada masa awal kehadirannya di nusantara, peradaban kedudukannya dominan atas budaya Indonesia. tetapi lambat laun terjadi pembauran, tetapi sebelum terjadinya pencampuran budaya ini, peradaban ini sudah tinggi, maka peran suku Jawa dalam proses pencampuran ini sangat aktif sehingga budayanya tidak lenyap dan tenggelam. Peran kepribadian bangsa (local genius) Jawa ikut menentukan dalam member warna kebudayaan Indies. Peran cendekiawan dalam ikut serta dalam mengembangkan kebudayaan Indis sangat besar, terutama dalam bidang pendidikan, teknologi pertanian, dan transportasi terutama setelah sistem liberal diterapkan di Indonesia. Dalam tahap berikutnya para pelajar Indonesia yang mendapat pendidikan Eropa dalam melanjutkan pendidikan Belanda, menuntut berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Para pemuda Indonesia yang mendapatkan pendidikan Barat umumnya adalah anak laki-laki dari para priyayi pribumi, kedudukan mereka akan lebih istimewa apabila mereka dapat menempuh pendidikan lanjut di Europese Lagere School (Sekolah Dasar Eropa), atau Hogere Burger School (Sekolah Menengah Atas Eropa). Sementara itu, kondisi berbeda dialami oleh perempuan di Indonesia, oleh pemerintah kolonial Belanda mereka dianggap sebagai lambang tradisi sehingga perempuan cenderung merupakan penengah antara inovasi dan tradisi dan menjadi penengah antara dorongan yang berorientasi pada masa depan dan mempertahankan tradisi yang masih dipegang oleh masa lampau. Perempuan Indonesia juga dijadikan ikon diskursif oleh pemerintah kolonial Belanda.(Frances Gouda, 2007: 145). Dalam menganalisis proses akulturasi dua kebudayaan tersebut, sudah dapat diduga bahwa peranan penguasa kolonial Belanda sangat menentukan, sementara bangsa Indonesia menerima nasib sebagai bangsa terjajah serta harus menyesuaikan diri terhadap penguasa jajahan dan kolonial. Hasil perpaduan nampak dari unsur-unsur budaya Barat yang lebih menonjol.
Untuk mendeskripsikan orientasi nilai budaya wanita pribumi yang sudah dipengaruhi oleh budaya Belanda akibat hubungan yang sangat panjang dapat dilakukan dengan melihat sikap, sifat, tingkah laku wanita ketika berhadapan dengan konflik, yaitu bagaimana ia menghadapi permasalahan, menyikapi, menyelesaikannya, serta menindak lanjuti yang pada akhirnya bermuara pada konsep hidupnya. Selain itu dapat pula dilihat dari hasil-hasil kebudayaan baru yang terbentuk dari hubungan itu. Hasil tersebut dapat digeneralisasikan pada akhirnya sebagai orientasi nilai-nilai budaya.
Menurut Kluckhon, orientasi nilai budaya yang menetap dan menjadi dasar bertindak pada setiap manusia didasarkan pada beberapa persoalan dasar, yaitu hakekat hidup, hakekat karya, persepsi manusia tentang waktu, pandangan manusia terhadap alam, hakekat hubungan manusia dengan sesamanya, hakekat nilai-nilai tanggung jawab, serta hakekat nilai-nilai keadilan. Perempuan hasil persilangan dua kebudayaan biasanya akan menghasilkan perempuan yang memiliki orientasi nilai tentang hakekat hidup yang bersifat ideal. Orientasi semacam ini menurut Kluckhon , adalah orientasi tentang hakekat hidup yang memandang bahwa hidup hari ini buruk sehingga manusia harus berusaha untuk mewujudkan hidup ini lebih baik. Dengan demikian, orientasi nilai tentang hakekat hidup ini akan menyebabkan tokoh-tokoh wanita atau individu tokoh berbuat, bersikap dan bertindak untuk memperbaiki keadaan hidup di masa lalu atau hari ini yang dianggap belum sempurna. Pada masa kolonial tersebut mulai terjadi perubahan pola pikir atau sikap dari para perempuan Indonesia untuk memperbaiki hidupnya. Dalam kajian ini, sebagian perempuan mulai berorientasi lebih pada materi yang mereka anggap akan melepaskannya dari penderitaan. Untuk mewujudkan tujuan hidup itu mereka rela dijadikan Nyai atau gundik atau dapat disebut juga dengan wanita simpanan para pejabat kolonial. Oleh karena itu, baik secara langsung maupun tidak langsung mereka akan menjadi perempuan yang hidup diantara persinggungan dua budaya. (Toha Machsum, http://supartobrata.com/?p=76)
Hubungan antara perempuan pribumi dengan orang-orang Belanda sebenarnya telah terjalin semenjak kedatangan pertama mereka. Memang pada masa awal pemerintahan VOC di Hindia Belanda terutama masa pemerintahan JP. Coen sangat keras terhadap pelanggaran seksual karena dianggap sebagai faktor utama kemandulan, pengguguran kandungan, pembunuhan bayi, terkadang peracunan terhadap suami orang Belanda oleh para gundik yang cemburu (Leonard Blusse,1987: 261). Namun setelah masa JP. Coen berakhir pemerintahan Belanda di bawah VOC mulai melonggarkan saksi terhadap hubungan seksual di luar pernikahan. Institusi selir antara orang Belanda dengan pribumi mulai dibiarkan. Salah satu alasan adalah karena sangat sedikit wanita Belanda yang datang ke Asia sehingga terpaksa diadakan perlonggaran bahkan anjuran kearah hubungan seksual antara lelaki Belanda dengan selir bukan Belanda yang perempuan pribumi. Selir-selir yang bukan Belanda ini statusnya mirip dengan budak. Karena itu di masyarakat kolonial kemudian timbul Pranata Nyai, yaitu wanita yang dipelihara oleh para pejabat Belanda atau swasta-swasta belanda yang kaya. (Onghokham, 1991 :71) Sedikitnya wanita Belanda di Hindia Belanda dikarenakan adanya kegagalan dari rencana Coen untuk mendatangkan kiriman anak anak dan gadis Belanda sertav meminta banyak keluarga Belanda yang baik untuk bermigrasi ke Batavia. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan nantinya akan dididik, dan diajar. Untuk perempuan biasanya setelah akil balig akan dikawinkan dengan laki-laki yang dianggap baik. Ternyata anak-anak yang dikirim dari Belanda berasal dari kalangan yang kurang baik sehingga kehidupan di Hindia Belanda juga disesuaikan dengan sifat asal mereka. Alasan lain adalah rata-rata perkawinan suami istri di Hindia sering mandul, keguguran dan kematian anak-anak lazim terjadi. Selain itu biaya pengiriman para perempuan dan keluarga Belanda ke Hindia Belanda membutuhkan biaya yang mahal. (Leonard Blusse,1987 : 248).
Dalam sastra kolonial yang dikenal dengan Indish Literatuur di Nederlands mengungkapkan bahwa Nyai merupakan lambang romantisme seksual yang member kunci bagi kesuksesan kolonialisme. Dengan memelihara Nyai atau sering disebut dengan perempuan simpanan ini maka para pejabat Belanda dapat dengan mudah mempelajari adat istiadat, budaya, dan segala misteri di dunia timur. Lembaga Nyai ini nantinya akan berakhir ketika wanita-wanita Belanda datang dan membentuk keluarga di Hindia Belanda. Berakhirnya lembaga ini diikuti dengan larangan para bujang Belanda untuk mempunyai selir (Onghokham, 1991: 72). Namun karena seorang laki-laki yang telah kawin dnegan perempuan pribumi tidak diijinkan membawa untuk pergi ke belanda dengan membawa istri dan anaknya sehingga yang terjadi banyak dari pejabat kompeni yang kemudian dilanjutkan oleh para pejabat kolonial lebih suka hidup bersama dengan para Nyai nya (Leonard Blusse, 1987 :268).
Sebagai contoh seperti di wilayah perkebunan di Deli Golongan Eropa yang masih rendah wanita Eropa di lingkungan kerjanya oleh karenanya banyak dari pejabat rendahan Eropa (opzichter atau asisten) mengambil mengambil wanita pribumi sebagai Nyai atau concumbine (gundik). Mereka memakai hak istimewa untuk memilih wanita yang baru didatangkan dari Jawa atau tempat lain. Kebanyakan hubungan tidak dikukuhkan dengan hubungan perkawinan. Alasan kenapa pegawai rendahan banyak memanggil wanita pribumi sebagai gundik atau “pelayan seks” karena pada waktu itu di lingkungan bangsa Eropa berlaku aturan yang melarang pagawai rendahan membawa isteri, alasannya karena kondisi hidup mereka yang belum memadai untuk menjamin kalangsungan hidup rumah tangganya. Selain itu, suasana hidup terpencil menuntut kehidupan moral yang begitu berat. Alasan mengapa pemerintah hindia Belanda menerapkan aturan larangan tersebut karena dkhawatirkan keturunan mereka mengalami pauperisme sehingga dikhawatirkan akan membahayakan status quo masyarakat kolonial.
Sementara kehadiran wanita pribumi dan Cina menunjukkan bahwa memang ada usaha untuk mendatangkan wanita pribumi, baik sebagai pekerja buruh atau sebagai calon isteri para pekerja yang telah lama bekerja di perkebunan. Yang menarik menurut deskripsi dari Koentowijoyo adalah keterlibatan atasan dalam proses perjodohan, terkadang wanita itu tidak sampai kepada calon suaminya karena terlebih dahulu diinginkan oleh para pengawas muda Belanda untuk dijadikan gundik atau Nyai. Bentuk pergundikan adalah bentuk yang memenuhi kebutuhan dan mendapatkan toleransi dari kalangan kaum kulit putih dan pihak pribumi tidak dapat mencegahnya. Kondisi ini berubah setelah kemakmuran di kalangan masyarakat kolonial bertambah, mereka dapat leluasa untuk mendatangkan wanita dari Belanda, dengan diberlakukannya sistem ini maka sistem pergundikan di daerah perkebunan mulai berkurang. Dampak langsung yang akan diterima oleh wanita-wanta yang menjadi gundik ini adalah anggapan rendah rakyat terhadap mereka walaupun dilihat dari tingkat materialnya terpenuhi, bahkan lebih ekstrem lagi mereka selalu mendapatkan cercaan, cemoohan, dan hinaan dari bangsa sendiri. Mereka telah dianggap sebagai penghianat bangsa.Anak-anak yang dilahirkan dengan mendapat status ayahnya selalu berlaku kurang hormat terhadap ibunya. Meskipun status formalnya sama dengan kaum Belanda totok, dalam kenyataannya golongan peranakan dipandang rendah oleh kaum totok atau kaum Belanda asli.
Kehidupan Nyai hidup diantara dua dunia menimbulkan marginalisasi dengan akibat mengaburkan identitasnya, maka keduduknnya baik di dunia Eropa maupun dunia pribumi menjadikan mereka menjadi non entitas. Para Nyai ini akan kehilangan ikatan-ikatan primodialismenya antara lain ikatan kerabat, ikatan desa, ikatan eligius dan lain sebagainya. Di satu sisi mereka mendapatkan materi yang melimpah tetapi disisi lain mereka mendapat tekanan batin karena tidak diterima oleh kalangan pribumi ataupun kalangan Belanda totok. Dengan kata lain para Nyai atau bahasa kasarnya gundik ini tidak mendapat perlakuan layak dan dianggap rendah di dunianya. Di kalangan Eropa para Nyai tidak diakui sebagai istri orang Belanda, karenanya mereka sudah sulit sekali masuk dunia orang-orang Belanda totok. Sementara itu dikalangan pribumi mereka dijauhi atau dikucilkan maka tidak ada keleluasaan bergaul dengan komunitas pribumi. Hubungan pergundikan ini akhirnya tidak menghasilakn akulturasi tetapi kemudian menghasilkal golongan Meztizen cultuur, ialah kebudayaan kaum mestizo atau golongan peranakan. Gaya hidup mestizo ini dapat terlihat dalam bentuk arsitektur, pakaian, makanan, dan sebagainya. (Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1994: 152-155) .
Walaupun ada kekuatan fiktif persamaan (egalite) dan persaudaraan (fraternite) kulit putih yang tidak ambigu, orang-orang Belanda tidak hanya hidup dengan perempuan-perempuan setempat, tetapi menikah dengan penduduk pribumi asli maupun yang berdarah campuran, namun hal ini dianggap sebagai kebiasaan yang normal. Masalah perempuan simpanan dalam dalam masyarakat Hindia Belanda dapat dikatakan unik. Bangsa kulit putih ini telah menjalin hubungan dengan perempuan pribumi hampir di setiap masyarakat kolonial, dengan kata lain hampir di wilayah kolonial seperti di Asia, Afrika, maupun di Amerika Latin pasti terdapat permasalahan mengenai seks. Namun ada yang membedakannya dengan yang terjadi di Hindia Belanda pertautan antar ras berkembang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bentangan budayanya. Pertautan antar ras menjadi bagian dari moral dan adat kebiasaan wilayah tersebut yaitu dengan para pria lajang baik kelas atas maupun kelas bawah hidup bersama dengan perempuan simpanannya. (Frances Gouda, 2007 : 290-291)
Bagaimanapun juga Nyai adalah ibu dari kaum indo berdarah campuran. Dari data yang diperoleh menjelaskan bahwa perempuan simpanan pada akhir 1925 ada 27,5 % dari seluruh orang Eropa yang tinggal di Indonesia, yang memilih menikah dengan penduduk pribumi atau pasangan berdarah campuran. Proporsi ini tetap bertahan tinggi sampai dnegan tahun 1940, namun ketika itu turun 20 %. Disamping itu pada sekitar tahun 1930-an hampir total dari seluruh jumlah penduduk yang termasuk ke dalam klasifikasi “orang-orang Eropa resmi yang lahir di Eropa” sedangkan 70 % sisanya banyak yang memiliki sejumlah nenek moyang di Indonesia, khususnya yang berasal dari Jawa (Frances Gouda, 2007: 291). Bangsa Belanda sendiri memperlakukan para Indo-Eropa sebagai kaum minoritas karena dianggap sebagai hasil dari Hibriditas atau pencampuran ras.
C. Perlakuan terhadap Wanita Belanda yang Menikah dengan Pribumi dan Keturunannya.
Memang sebagian anak-anak perempuan berdarah campuran dari keluarga Hindia Belanda dianggap sebagai calon pewaris kekayaan besar nenek moyangnya di masa kolonial, meskipun hal ini hanya ada pada abad ke 20 tetapi faktor itu telah menjadikan minat utama para lelaki Belanda untuk menikah dengani perempuan Eurasia (dari hasil percampuran darah Asia Eropa). Hal ini akan sangat berbeda apabila dibandingkan dengan yang dilakukan perempuan Belanda yang bersedia berpasangan dengan laki-laki Indonesia, reaksi masyarakat Eropa cenderung kurang bersahabat. Memang awalnya pada tahun 1848 hukum sipil Eropa telah bahwa laki-laki Indonesia yang menjadi pasangan resmi perempuan Belanda akan mendapatkan klasifikasi Eropa seperti istrinya seperti Eropa melalui perkawinan. Akan tetapi, dalam konggres Yuridis di Batavia tahun 1887, para ahli hukum mencantumkan keberatan mendasar mereka atas ketentuan tersebut dan menentukan kebijakan terbalik. Oleh karena itu, setiap perempuan Eropa yang secara sukarela menurunkan kehormatannya dengan menikah dengan laki-laki pribumi tidak berhak mendapatkan apa-apa yaitu tidak mendapatkan perlakuan yang layak dan perlindungan warga negara dari masyarakat Eropa. Dalam pasal 158 undang-undang yang telah direvisi pada tahun 1898 yang mengatur masalah perkawinan campuran di Hindia mengatur secara tegas “setiap perempuan yang menerima perkawinan antar ras mendapatkan status kewarganegaraan suaminya” (Frances Gouda, 2007:298-299).
Alasan yang mendasari laki-laki kulit putih untuk melindungi istri dan anak-anak perempuan mereka dari apa yang disebut dengan fecundity atau fertilitas (istilah dari Edward Said) dikarenakan kekhawatiran karena gairah seksualitas dan kekacauan orang-orang pribumi yang mengebu-gebu, baik di Asia Tengah, Asia, dan Afrika. Pandangan ini kemudian bercampur dengan kepedulian yang berkembang akan ras dan kekhawatiran untuk menjaga batas yang tegas antara penguasa dan yang dikuasai. (Frances Gouda, 2007:321).
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Konsul Jenderal AS Du Bois pada tahun 1928 sekelompok orang Indo Eropa yang melestarikan pertalian antar ras, tanpa mempermasalahkan konfigurasi gender yang akan menurunkan mereka, mereka sendiri mulai khawatir setelah melihat kecemasan politik pada sebagian besar penduduk Belanda totok yang sifatnya reaktif di Hindia Belanda.. Kelompok sayap kanan atau lebih dikenal dengan kaum Belanda totok mulai memandang kelompok Indo sebagai kelompok sosial yang menyusahkan dan tidak jelas status identitasnya. Orang-orang Eropa konservatif dalam masyarakat kolonial seperti anggota kelompok ultra reaksioner verlandsche club (klub patriotik) mulai memperlakukan kaum Indo dengan prasangka rasial yang tinggi dan banyak upaya untuk mempermalukan mereka dengan penindasan-penindasan ringan. Pada waktu yang bersamaan kelompok blijver (yang menetap) dalam proporsi Eurasia mulai menuntut posisi yang istimewa bagi konstituennya karena mereka lahir dan besar di Hindia atau dengan kata lain mereka memiliki moral atas tanah kelahiran mereka. Upaya ini terlihat dari upaya kelompok indo Eropa pada tahun 1930-an yang membujuk volskrad untuk memberikan hak mereka atas tanah dan menggagalkan keputusan dari Undang-Undang Agraria 1870.
Kedudukan kaum Indo ini semakin terpojok ketika pada tahun 1919 Encyclopaedie van Nederlandsche Indie telah menyebutkan istilah orang miskin yang berbahaya dan Indo gembel yang keras dan kasar yang menjadi pengacau di kampong. Situasi terhadap orang-orang Indo ini semakin terlihat buruk selama tahun 1930-an ketika muncul orang-orang berpendidikan tinggi mulai menghalangi mata pencaharian kaum Indo Eropa dengan mengancam akan membatasi jumlah pekerjaan di bidang birokrasi atau industri swasta yang secara tradisi telah dipersiapkan bagi mereka. Dan hanya dalam waktu 10 tahun proporsi orang Indonesia diantara para pekerja tekhnik meningkat. Meningkatnya kemiskinan kaum Indo sejak tahun 1930-an membuat masyarakat totok reaksioner lebih bersikap ambivalen terhadap sekelompok besar laki-laki dan perempuan Belanda yang secara rasial tidak jelas. Masyarakat Belanda kolonial yang konservatif mulai mengucilkan gadis-gadis Indo dan para perempuan lajangnya dengan gadis yang tidak bermoral dan indolen (asusila). Perlakuan yang kurang baik dari kelompok reaksioner yang cenderung fasis menimbulkan nasionalisme yang tinggi yang kemudian menjadi oposisi dari gerakan-gerakan nasionalisme pribumi. Antara kelompok nasionalis pribumi dan golongan Indo terjalin hubungan atau simbiosis mutualisme . dari hubungan tersebut akhirnya mengilhami organisasi-organisasi pergerakan diantaranya adalah Insulinde.
Kedudukan kaum Indo sendiri di seluruh wilayah di Hindia Belanda tidaklah sama. Di Jawa memang mereka bersama-sama dengan kaum pribumi dianggap tidak mempunyai arti apa-apa apabila dibadingkan dengan Belanda totok yang mempunyai kekayaan. Namun apabila melihat konteksnya di wilayah pedalaman Hindia Belanda misalnya di Papua, para golongan Indo ini tetap mendapatkan perlakuan yang terhormat. Mereka tetap memiliki kedudukan, kekuasaan, dan lebih hebat bahkan mereka dijadikan sebagai seorang “patriot pamong” apabila dibandingkan dengan penduduk primitive papua.
Pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda sendiri mulai muncul pembahasan mengenai tempat yang layak diperuntukkan untuk para kaum Indo-Eropa. Pandangan ini kemudian berpengaruh terhadap perkembangan feminisme yang lebih banyak membahas mengenai hilangnya kekuasaan para kaum Ibu dari Hindia (Jawa) setelah melahirkan anak-anak mereka yang berdarah campuran sementara mereka tetap menajadi Nyai. Pandangan mengenai feminisme ini kemudian membentuk pandangan umum mengenai pengabdian dan kelemahan yang secara hakiki berhubungan dengan tertindasnya kebudayaan pribumi oleh peradaban Barat dari pihak laki-laki dari kalangan Eropa atau ayah dari kaum Indo Eropa yang menikah dengan wanita Hindia. Bagaimanapun juga kedudukan laki-laki Eropa berhak untuk menentukan para pembantu mereka termasuk di dalamnya adalah para Nyai atau perempuan simpanan mereka. (Frances Gouda, 2007:309). Perempuan Indo-Eropa maupun pribumi sering kali dianggap sebagai perempuan yang tidak terdidik dan hanya menyenangi kesenangan sesaat, sehingga mereka tidak tertarik dengan sisi-sisi kehidupan lain.
D. Bentuk-Bentuk Percampuran Budaya
Gaya hidup golongan pendukung pada masyarakat kebudayaan Indis termasuk di dalamnya adalah pendukung dari golongan wanita peranakan berdarah campuran anak dari wanita pribumi yang yang menjadi Nyai (perempuan simpanan dari para pejabat Belanda) atau anak dari wanita Belanda yang menikah dengan laki-laki pribumi menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan kelompok-kelompok sosial lainnya, terutama dengan kelompok tradisional Jawa. Para perempuan simpanan atau Nyai ini umumnya mereka hanya berorientasi pada materi semata, sehingga yang kemudian terjadi pada peranakan darah campuran mereka adalah tidak mempunyai identitas yang pasti atau disisi lain berbeda dengan akar budaya Belanda dan disis lain berbeda dengan akar budaya Jawa. Hal yang sama juga terjadi pada keturunan perempuan Belanda yang menikah dengan laki-laki pribumi. Perbedaan itu terlihat jelas pada ketujuh unsur budaya.
Orang Eropa yang bertempat tinggal di Jawa sudah sejak lama berdampingan dengan dunia pribumi dan membangun peradaban campuran. Masyarakat Belanda di Jawa telah menyatukan rangkaian kosmologi Jawa yang telah bercampur dengan kepraktisan bangsa Belanda yang dikatakan bukan hanya sekedar omong kosong, moral keadilan diri, dan kekhawatiran spiritual. Namun meskipun saling bertentangan, gagasan, dan realitas gaya budaya Hindia yang dirajut sendiri dan sinkretik ini tetap bertahan hingga pecahnya perang dunia II. Perbedaan itu terlihat jelas pada ketujuh unsur budaya.
1. Bahasa.
Sejak masa akhir abad XVIII sampai awal abad XX mulai nampak dengan kuatnya peran bahasa Melayu pasar yang berbaur dengan bahasa Belanda, yang berawal dari bahasa komunikasi yang dipergunakan oleh keluarga dalam lingkungan indische landshuizen yang kemudian dipergunakan oleh golongan Indo-Belanda. Di Batavia kemudian bahasa ini berkembang. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur proses perpaduan bahasa Jawa dengan bahasa Belanda dipergunakan oleh sebagian masyarakat pendukung kebudayaan Indies yang menimbulkan kebudayaan Pidqin atau bahasa campuran yang pada umumnya dipergunakan oleh orang-orang keturunan Belanda dengan ibu Jawa. Dari keluarga tipe ini pengaruh kebudayaan Jawa sangat besar, lingkungannyapun adalah lingkungan Jawa dan sehari-hari mereka mendengarkan bahas ibu serta menyaksikan tingkah laku orang Jawa. Selain itu anak-anak ini harus mendengar bahasa Belanda dari ayahnya sehingga mereka mengucapkannya lafal dan lidah Jawa. Bahasa campur ini juga digunakan oleh Cina keturunan dan timur asing. Meskipun terdapat banyak upaya dari kaum Belanda sayap kanan (kaum totok) pada tahun 1930-an yang menciptakan pemilihan yang lebih jelas antara kelompok-kelompok ras yang berbeda di Hindia Belanda. Beberapa generasi ketiga atau keempat Hindia Belanda tidak dapat melafalkan beberapa abjad atau kata-kata tertentu dengan benar dan berbicara petjok atau Belanda bengkok. Hal ini mengundang ejekan terutama dari kalangan perempuan kulit putih yang kemungkinan besar baru datang dari Belanda. (Frances Gouda , 2007 : 293).
2. Kelengkapan hidup.
Unsur rumah tempat tinggal yang mengadopsi kenyamanan tenpat tinggal keluarga di Eropa yang berukuran besar dan berhalaman luas yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan alam tropis. Penggunaan kelengkapan dan peralatan hidup yang umum digunakan di Eropa diperkenalkan pada masyarakat Indonesia seperti lemari, kursi, tempat tidur,meja. Untuk penggunaan peralatan ini awalnya para bangswan dan priyayi yang menggunakan peralatan rumah tangga yang disebut dengan meubelair. Sementara untuk pakaian dan perlengkapannya yang mengkombinasikan kultur Eropa, Cina dan Jawa. Kaum wanita Indis akibat pengaruh pembantu rumah tangga dan para Nyai, mengenakan sarung dan kebaya. Kain dan kebaya ini juga di pakai untuk kehidupan sehari-hari di rumah oleh kaum wanita Eropa, sedangkan pria mengenakan sarung dan baju taqwo atau pakaian tidur motif batik walaupun untuk pakaian resmi, pakaian Eropalah yang digunakan. Alat berkarya yang dikenalkan oleh orang Eropa seperti mesin jahit, lampu gantung, lampu gas, kereta sado, kereta dengan roda berjeruji. Aneka masakan dan makanan yang mengkombinasikan dua selera barat dan timur.
3. Gaya rumah atau tempat tinggal kebudayaan Indis.
Gaya hidup dan bangunan rumah Indis pada tingkat awal cenderung banyak bercirikan budaya Belanda. Hal ini terjadi karena para pendatang bangsa Belanda pada awal datang ke Indonesia membawa kebudayaan murni dari Belanda. Pengaruh afektif kebudayaan Belanda yang sangat besar lambat laun makin berkurang, terutama setelah anak keturunannya dari hasil perkawinan dengan bangsa Jawa makin banyak. Perkawinan di antara mereka melahirkan masyarakat Indo. Mereka menyadari akan perlunya kebudayaan Belanda untuk tetap diunggulkan sebagai upaya untuk menjaga martabat sebagai bangsa penguasa. Masyarakat Indo dan para priyayi baru ini masih tetap menganggap perlu tetap adanya budaya masa lampau yang dibanggakan. Mereka menganggap perlunya menggunakan budaya Barat demi karier jabatan dan prestisenya dalam hidup masyarakat kolonial. Hal semacam ini tampak, misalnya dalam cara mereka bergaul, dalam kegiatan hidup sehari-hari, seperti menghargai waktu, cara dan disiplin kerja, dsb.
Pentingnya si “jago” di atas rumah di lain sisi akibat pertemuan dan percampuran peradaban Jawa dan Eropa (Belanda) melahirkan gaya budaya campuran, gado-gado. Di mata suku Jawa ada pendapat budaya Indis adalah kasar atau tidak Jawa. Sementara di mata orang Belanda dianggap rendah dan aneh. Di berbagai kota di Jawa terdapat nama jalan atau kampung dengan memakai nama orang atau bahasa Belanda (Eropa) yang acap kali orang sudah tidak mengenalnya. Sementara itu hiasan di atas atap rumah juga menjadi salah satu ciri budaya Indis. Di Jawa sendiri, hiasan di bagian atap rumah kurang mendapat tempat, kecuali pada bangunan-bangunan peribadahan (masjid, gereja, pura, dan candi). Pada bangunan rumah Eropa, hiasan kemuncak mendapat perhatian dan mempunyai arti tersendiri, baik dari sudut keindahan, status sosial, maupun kepercayaan. Banyak rumah penduduk di Demak, Jawa Tengah, pada bubungan atapnya dihiasi dengan deretan lempengan terakota yang diwujudkan seperti gambar tokoh-tokoh wayang, berderet-deret dengan gambar gunungan tepat di tengah-tengah. Masing-masing lempengan terakota dihiasi dengan mozaik pecah-pecahan cermin, sehingga di siang hari memantulkan sinar yang gemerlapan. Hiasan atap rumah-umah di Demak ini jelas hanya berfungsi sebagai hiasan semata-mata, tanpa mempunyai arti simbolik tertentu.Kehadiran bangsa-bangsa Eropa di Indonesia sejak awal abad XVI mempengaruhi berbagai unsur kebudayaan di antaranya juga dalam hal hiasan kemuncak bangunan rumah.
4. Bidang pendidikan dan pengajaran.
Sebagai contohnya pada keluarga bangsawan dan priyayi Jawa, anak-anak diasuh oleh para pembantu (yang disebut emban yang bertugas mengasuh anak, inya bertugas menyusui, wulucumb/abdi pendamping). Hal demikian rupanya diikuti oleh keluarga Belanda, Indo, dan priyayi baru, yang anak-anaknya diasuh oleh pembantu (babu, jongos, supir, yang bertugas sebagai pamong anak-anak yang dinekal di negri Belanda). Proses pendidikan tradisonal Jawa mempengaruhi. Yang semula berfungsi sebagai pelestarian budaya dan berkesinambungan generasi telah melunakan masyarakat Indis. Banyak unsure-unsur budaya jawa mempengaruhi anak-anak keturunan Eropa dan sebaliknya. Pendidikan mengantarkan anak-anak priyayi Jawa sebagai elit baru. Awalnya para priyayi menuntut kemajuan para puteranya dengan pendidikan modern, dengan maksud mereka dapat menduduki jabatan dalam administrasi pemerintahan, suatu profesi tertentu yang dipandang dalam masyarkat Jawa.
5. Kesenian.
Pengaruh unsur kesenian Eropa ditemukan dan bercampur dengan budaya Jawa pada seni kerajinan, seni pertunjukan, sastra dan film.
6. Ilmu Pengetahuan dan kemewahan gaya hidup.
Peran orang-orang kaya Eropa dan Indo dalam pengembangan ilmu pengetahuan sangat besar, seperti pendirian teropong bintang, pusat-pusat penelitian tanaman kehutanan dan perkebunan, pembangunan rumah mewah, villa. Dsb.
i. Religi.
Kaitannya dengan religi terdapat enkulturasi yaitu suatu proses pembentukan budaya dari dua bentuk kelompok budaya yang berbeda sampai muncul pranata yang mantab. Dalam pembahasan kajian teologi enkulturasi dapat dikatakan sebagai rancang bangun teologi lokal. Proses ini tidak hanya didukung oleh keseluruhan penyesuaian diri dalam kehidupan sosial, tetapi juga didukung oleh pengalaman-pengalaman sosial seperti bentuk upacara atau bahasa, tingkah laku, lambang, dan symbol, serta sistem kepercayaan. Proses enkulturasi yang berjalan baik akan memunculkan suatu bentuk perpadauan dalam keharmonisan, sedngkan enkulturasi yang mengalami kegagalan akan mendatangkan antara enkulturasi dan daya cipta. Kegagagalan ini terjadi apabila dalam prosesnya berkembang dengan sistem pemaksaan, tidak luwes, tidak bebas ataupun tidak lancar. Sedangkan rancang bangun lokal disebut dengan inkulturasi. Inkulturasi ini diformulasikan dalam bentuk sinkretisme kebudayaan, kesenian, dan agama setempat. Sebagai contohnya di gereja Jawa, percampuran tampak dalam penggunaan gamelan, wayang, dan bahasa, pakaian dalam liturgy gereja. Pematungan Sang allah Bapa, Putra dan Roh Kudus dalam langgam arca gaya Jawa Tengahan. (Djoko Sukiman, 2000:44-107)

5. Kesimpulan
Keberadaan para Nyai atau perempuan simpanan para pejabat kompeni atau pejabat kolonial Belanda sudah ada sejak kedatangan bangsa Belanda di Indonesia. Awalnya memang praktek-praktek pergundikan atau oleh pejabat tinggi VOC pada waktu itu sebagai pelanggaran seksual tidak diperbolehkan, namun karena ada pelarangan pengiriman wanita Belanda ke Hindia Belanda dengan berbagai alasan maka untuk memenuhi kebutuhan seks para pejabat Belanda itu meminta perempuan pribumi untuk dijadikan pembantu (baboe) sekaligus sebagai pelayan dalam hubungan seksual. Para perempuan simpanan pejabat Belanda itulah yang nantinya disebut dengan Nyai. Karena dianggap hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan materi maka perlakuan terhadap para Nyai ini, baik dari kalangan penduduk pribumi maupun kalangan Eropa sering kali kurang menyenangkan dan mereka adalah pengecualian dari kedua golongan sosial masyarakat tersebut. Hal iini yang kemudian berdampak pada keturunan mereka atau sering disebut dengan Indo Eropa (Eurasia) tidak mendapatkan status dan pengakuan yang pasti, baik dari kalangan pribumi maupun orang Belanda totok. Mereka adalah pendukung utama kebudayaan Indis. Jadi para Nyai inilah yang berperan besar terciptanya kebudayaan Indis yang banyak ditemukan di Jawa dan kemungkinan besar mungkin dapat ditemukan di luar Jawa.
Institusi Nyai kemudian tergeser setelah ada kebijakan baru dari pemerintah kolonial untuk mendatangkan perempuan Belanda ke Hindia Belanda. Kebijakan ini yang kemudian banyak melahirkan hubungan antara perempuan Belanda yang menjalin percintaan dengan para laki-laki pribumi. Akibat bagi para perempuan Belanda yang menikah dengan laki-laki pribumi adalah tidak diakui sebagai bagian dari kelompok Eropa sehingga tidak mendapatkan perlakuan selayaknya golongan Eropa. Hal ini dikarenakan dalam Undang-undang yuridis yang mengatur hubungan perkawinan antara perempuan Belanda dan laki-laki Pribumi memutuskan bahwa dalam posisi seperti itu perempuan Belanda harus ikut kedudukan atau status suaminya sebagai pribumi. Pelarangan itu dikarenakan ada anggapan dari kelompok Belanda konservatif bahwa keturunan mereka akan mengancam status quo pemerintah kolonial dan ingin membuat garis yang tegas antara pihak yang dikuasai dengan pihak penguasa. Keturunan mereka atau disebut sebagai golongan Indo juga mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari golongan Belanda totok bahkan mereka cenderung akan disingkirkan dari jabatan-jabatan yang prestise. Pada perkembangan selanjutnya kelompok Indo yang merasa disingkirkan oleh kaum Belanda konservatif itulah yang kemudian membentuk organisasi pergerakan seperti halnya insulinde bersama dengan pemuda-pemuda pribumi. Baik keturunan Indo dari para Nyai maupun dari keturunan perempuan Belanda yang menikah dengan laki-laki pribumi inilah yang menjadi pendukung kebudayaan Indis yang nampak pada ketujuh unsur budaya dalam masyarakat. Kebudayaan yang nampak adalah percampuran kebudayaan Barat (Eropa) dan kebudayaan Timur (Jawa). Meskipun kebudayaan Eropa lebih unggul tetapi karena posisi kebudayaan Jawa (Timur) tetap aktif maka yang terjadi adalah percampuran bukan penghilangan salah satu budaya.

Daftar Pustaka
Blusse, Leonard. (1987). Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC. Jakarta: PT. Pustakazet Perkasa.
Djoko Sukiman. (2000). Kebudayaan Indis dan Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad 18-20. Yogyakarta: Bentang.
Djoko Suryo dan Sartono Kartodirdjo. (1991). Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
Gouda, Frances. (2007). Dutch Cultuur Overseas: Praktek Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Jakarta: Serambi.
Imam Akhmad.”Perempuan Dalam Kebudayaan”. Dalam buku Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. (1993). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Irwan Abdullah. (1997). Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan. Dalam Irwan Abdullah (ed). Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kuntowijoyo. (1994). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.

Jurnal
Luviana. “Identitas Perempuan Indonesia Dalam Koran dan Majalah”. Dalam Jurnal Perempuan, No 52 Tahun 2007.
Lolly Suhenty. “Menemukan Sejarah Perempuan Yang Dihilangkan”. Dalam Jurnal Perempuan No 52 Tahun 2007.
Onghokham. “Kekuasaan dan Seksualitas Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial”. Dalam Prisma, 7 Juli 1991.

1 komentar: