JAMPRIBADI

Minggu, 18 April 2010

Mesianisme


Oleh: Ana Ngatiyono S.Pd
GERAKAN MESIANIS KORERI DI PAPUA: GERAKAN PERLAWANAN TERHADAP IMPERIALISME DAN KOLONIALISME (1938-1943)
A. Pendahuluan
The Land Time Forgot. Istilah tersebut sering digunakan oleh para anthropolog Barat untuk menyebut wilayah di ujung timur Indonesia yaitu Papua atau Irian Jaya. Wilayah Papua yang luas, unik dan kekayaan alam yang melimpah tidak membuat Papua menjadi pusat perhatian bangsa-bangsa di di dunia. Selama ratusan tahun lamanya, masyarakat Papua tidak memiliki kontak dengan dunia luar. Tidak adanya dunia luar dikarenakan oleh isolasi alam dimana 244 kelompok suku bangsa hidup dengan beragam bahasa, terpasung selama ribuan tahun dalam budaya yang dapat dikatakan mirip dengan budaya batu. Bahkan kehadiran Papua masih tetap terlupakan ketika Belanda menjajah Indonesia maupun Indonesia secara syah melalui hukum internasional berhasil mengintegrasikan Papua ke dalam wilayah NKRI. Mantan Residen Belanda di Irian Barat, Jan van Eechoud, bahkan menyebut Papua dulunya adalah “Tanah yang terlupakan” (vergeten Aarde). Belanda sendiri baru menaruh perhatian pada Papua pada tahun 1828 dan menjadikan tanah tersebut sebagai tanah pembuangan bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia. (Syamsul Hadi dkk, 2007: 97).
Akibat dari kedatangan bangsa Belanda atau Jepang yang menanamkan kekuasaanya di sekitar Papua telah menimbulkan reaksi perlawanan rakyat Biak dan Irian melalui suatu gerakan yang dinamakan dengan Koreri. Gerakan koreri pada awalanya adalah gerakan pembebasan orang-orang Biak dan Irian dari pengaruh kebudayaan asing. Gerakan ini sifatnya politis religious karena di dalamnya termuat tujuan dari gerakan itu yaitu menentang pemerintahan Belanda maupun Jepang dan agama Kristen yang telah dianggap sebagai penyebab dari penderitaan masyarakat. Sebenarnya proses pengKristenan atau dikenal dengan Zending telah menimbulkan akulturasi budaya antara kebudayaan Barat dengan kebudayaan asli. Menurut Lauer, akulturasi dianggap terjadi sebagai akibat pengaruh kebudayaan yang kuat dan bergengsi atas kebudayaan yang lemah dan terbelakang. Interaksi ini bukan hanya dihasilkan dari interaksi saja, tetapi dari rencana yang disengaja oleh kebudayaan yang kuat.Dalam proses terjadinya akulturasi ini yang perlu diperhatikan adalah proses terjadinya akulturasi itu yaitu melalui pemaksaan atau sukarela. (Robert H Lauer, 2003: 402). Gerakan Koreri ini juga dapat dikategorikan sebagai gerakan nativistik (Nativistic Movement) yang menurut pengertian Rapl Linton dianggap sebagai usaha yang sadar atau sengaja dari kelompok masyarakat untuk mempertahankan atau menghidupkan terus menerus aspek-aspek budayanya. Upaya masyarakat untuk terus-menerus menghidupkan kembali budayanya terjadi apabila sebuah masyarakat itu sadar bahwa ada budaya lain dan budayanya sendiri dimana eksistensi dari budaya sendiri sedang terancam. Pengertian menurut Rapl Linton ini nantinya dapat menganalisis bagaimana latar belakang munculnya gerakan ini secara sosiologis. (Bas Nanlohy, http://teologipapua.blogspot.com/2008/08/akulturasi-dalam-gerakan-koreri.html)
Sementara itu, rasa tidak aman di bawah Jepang dalam keberadaan faktual orang Biak Numfor mendorong mereka mendambakan realitas ideal, tempat ada kebabasan hidup sehari-hari. Kenyataan faktual banyak berisis krisis hidup seperti penyakit dan kematian, tanah yang tidak subur, perang-perang antar suku, wabah yang sewaktu-waktu mengorbankan banyak orang, kuasa ghaib yang menimbulkan rasa takut, panen yang gagal karena hama dan cuaca yang buruk, praktek sihir hitam dan lain sebagainya. Eksistensi faktual yang tidak dicita-citakan orang Biak Numfor ini menimbulkan rekasi negatif mereka. Bagi penduduk yang tidak menyukai realitas itu ingin membebaskan dirinya, namun keterbatasan dalam berbagai hal baik pengetahuan maupun kekuasaan tidak dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Oleh kerena itulah mereka mencoba menerobos ke dalam realitas mistis yang akan mewujudkan realitas dan dunia yang ideal sesuai dengan keyakinan mereka. Oleh karena itulah, untuk mencapai kenyataan itu suku Biak Numfor berusaha mewujudkan Koreri dengan mencoba mentransendensi realitas faktual itu supaya realitas ideal bisa diwujudkan. Tokoh itu yang dapat mewujudkan realitas itu ialah Manarmakeri. Nama itu berarti, lelaki kudis (man: laki-laki; armakeri: kudis). Sebutan-sebutan lain yang dikenakan untuk nama tersebut adalah, Kayan Byak (Kekayaan Biak), Kayan Sanau (Kekayaan Kudis), Mansern Manggundi (Tuhan Sendiri).


B. Latar Belakang Gerakan Koreri
Koreri merupakan sebuah mitologi yang mengisahkan seorang tua dari pulau Biak yang mengetahui dan memiliki rahasia tentang kehidupan abadi, yang dalam bahasa Biak disebut Koreri. Orang tersebut bernama Mananarmakeri, atau sering disebut Kayan Sanau atau Kayan Biak. Ia meninggalkan Biak bersama rahasia Korerinya dan berjanji akan kembali pada suatu saat. Kepergiannya dikarenakan sifat orang Biak yang cenderung pada kelaliman nafsu duniawi, ketidakjujuran, ketidakadilan dan suka menumpahkan darah. Jika sifat-sifat ini ditinggalkan oleh orang-orang Biak, maka ia akan kembali dengan rahasia Koreri untuk mereka.
Kisah tentang penemuan rahasia Koreri dimulai pada petualang Kayan Sanau melalui peristiwa dialognya dengan snon soroka (manusia dari negeri roh-roh). Kepergian Mananarmakeri ke arah Barat kali ini merupakan perpisahan ini bukan merupakan perpisahan untuk selama-lamanya. Karena ia sendiri berjanji bahwa ia akan kembali membawa Koreri bagi orang-orang Biak. ”Perjanjian Mananarmakeri” itu sebagai mitologi yang bercocok messianistis tetap hidup terutama dalam situasi-situasi sosial yang tegang. Mananermakeri pasti pada suatu saat akan kembali, karena itu orang-orang Biak tetap menunggu. Hal tersebutlah yang pada akhirnya membawa tokoh-tokoh di Biak menjadikan mitos itu untuk melegitimasi posisinya dalam masyarakat untuk melawan dominasi asing di Biak. Dari banyak gerakan mesianis di Melanesia (termasuk Papua) diketahui bahwa mite merupakan dasar timbulnya gerakan, dan memberikan dorongan dinamis untuk mengusahakan pembaruan dalam masyarakat. (F.C. Kamma, 1972: 31).
Koreri berasal dari dua kata, Ko yang berarti kita dan Rer yang berarti ganti kulit dengan ditambahkan imbuhan i untuk menjadikan kata itu menjadi kata sifat. Sehingga arti dari koreri adalah kita menggantikan kulit, yang maknanya kita menjadi baru kembali dalam arti yang luas. Dalam arti yang lebih luas, korer dengan imbuhan i berarti suatu kehidupan yang tidak mengenal penderitaan fisik maupun batin, tidak ada tekanan ekonomi, tekanan politik, penyakit atau mati, suatu kehidupan bahagia yang abadi sifatnya. Gerakan Koreri merupakan pemusatan kelompok kecil dan besar akan kembalinya Tuhan Negara Bahagia dan kondisi bahagia meirip surga yang dibawanya dan dikenal dengan koreri. Mereka berkumpul untuk menantikan kembalinya sang pahlawan mistis dan dunia baru yang akan diciptakannya.
Gerakan Koreri di Biak dan Irian ini hampir sama dengan gerakan milleniarisme di berbagai wilayah di Indonesia, yaitu menunjukkan suatu abad keharmonisan akan segera dipulihkan. Gerakan milleniarisme tentang kebahagiaan dan perdamaian yang sempurna ini biasanya akan ditandai dengan bencana alam, kemerosotan moral, dan kemelaratan dikalangan masyarakat. Hampir sama dengan gerakan di Jawa, gerakan Koreri juga mengharapkan gerakan milleniarisme difokuskan pada para pemimpin mesianis. (Sartono Kartodirdjo, 1973 :55-57). Dalam konteks gerakan koreri adalah Pengharapan mesianis orang Biak-Numfoor biasanya dihubungkan dengan tokoh Yawi Nusyado alias Manarmakeri, yang kemudian hari diberi gelar Manseren Manggundi (Tuhan Sendiri). Tokoh ini dianggap penting karena ia mampu memberikan kemerdekaan, kesejahteraan dan kehidupan baru bagi orang Biak-Numfoor. Untuk menyambut sang pahlawan dan kondisi baru, para penganut koreri melakukan berbagai persiapan antara lain:
a. Membangun rumah baru untuk Manseren Manggundi;
b. Memperbesar rumah masing-masing untuk menampung orang-orang yang akan dibangkitkankembali;
c. Mempersiapkan segala sesuatu, termasuk kayu bakar, sebab akan terjadi kegelapan selama tiga hari, yang mendahului kedatangan Manseren Manggundi.
d. Jangan memakan sayur labu dan babi. Alasannya ialah karena sayur labu dan babi, yang menjadi penyebab Manarmakeri meninggalkan kampung Sopen
e. Jangan makan daging ular dan udang. Alasannya ialah karena hewan-hewan yang bertukar kulit mempunyai sangkut pautnya dengan peristiwa perubahan kulit dari Manarmakeri. (F Ukur, 1977: 15)
Suatu gerakan Koreri ini timbul karena tampil seorang pelopor, pendahulu, perintis, atau semacam perantara yang disebut dengan Konoor. Kata konor dibentuk dari kon dan or. Kon berarti menduduki, menguasai, sedangkan or berarti matahari (lambang kehidupan). Maka konor berarti penguasa matahari, penguasa kehidupan. Karena or juga berarti “kuasa gaib”, maka konor mengandung pula makna “pemilik kuasa gaib”. Tak heran bila ke-konora-an berhubungan dengan kegiatan perdukunan atau pemimpin. Pada umumnya ia memberikan kesaksian bahwa ia memperoleh suatu penampakan Manseren Mangundi melalui suatu penglihatan atau mimpi. Sang pahlawan mistis mengatakan padanya akan datang kembali dengan membawa rahasia koreri. Rahasia Koreri tersebut adaah akan datangnya kehidupan seperti sorga yang di dalamnya orang mati akan hidup kembali dan mereka yang masih hidup akan memasuki kondisi keselamatan hidup yang utuh karena mereka akan mengala perubahan hakekat hidup. Untuk mencapai kenyataan ideal itu.
C. Wujud Gerakan Koreri
Gerakan koreri yang berlangsung di Biak selama periode 1938-1943, berdasarkan lama gerakannya, jumlah pengikut, serta intensitas pergolakan yang ditimbulkannya, dapat digolongkan menjadi tiga gerakan besar yang muncul secara terorganisir dan terarah serta beberapa gerakan-gerakan kecil lainnya yang muncul secara sporadis.
1. Gerakan Koreri di bawah pimpinan Angganitha.
Angganitha yang dianggap dewa oleh penduduk yang dirahasiakan dari pemerintah dan Zending, akhirnya terungkap juga pada pertengahan tahun 1941. hal tersebut berdasarkan penyelidikan dari pemerintah Belanda dan Pendeta Kristen yang kemudian meminta Angganitha menghentikan gerakannya, permintaan itu ditolak oleh Angganitha. Pemerintah kemudian melakukan pembakaran semua rumah termasuk rumah Angganitha, pemerintah juga melarang penduduk kampung Sowek untuk membangun rumah di pulau Insumbabi, tatapi dalam beberapa bulan saja para penduduk sudah membangun kembali rumah di daerah itu bahkan dengan jumlah yang lebih banyak dari sebelumnya.
Pemerintah kemudian bergerak kembali dan menangkap serta membawa Angganitha ke Bosnik dan kemudian dibawa ke Serui, setelah Angganitha dibebaskan dengan perjanjian ia tidak boleh menerima tamu dan tidak boleh menghidupkan kembali gerakannya. Angganitha dengan terbuka menyerang pemerintah dan Zending. Angganitha kemudian berusaha meningkatkan pengaruhnya. Rapat-rapat massal yang berlangsung di Insumbabi diikuti dengan pertentangan-pertentangan yang mengundang pertumpahan darah antara mereka yang pro agama Kristen dan yang pro Angganitha. Pertentangan semakin berkobar.
Angganitha berusaha memperkuat diri dengan melantik pembantu-pembantu yang dapar mewakilinya di setiap kampung dengan jabatan Tuan Damai atau Bin Damai. Tuan Damai menjalankan tugasnya untuk mempropagandakan pergerakan itu. Kemudian terjadi pertengkaran antara Tuan Damai dan polisi pemerintah yang kemudian membunuhnya pada tahun 1942. Padatanggal 8 Mei 1942 Angganitha ditangkap dan dibawa ke Bosnik. Tanggal 29 Juni 1942 Angganitha diasingkan ke Manokwari oleh pemerintah Jepang. Pengasingan Angganitha ke Manokwari merupakan penutup bagi babak pertama dari pergerakan Koreri yang dimulai dan dipimpin oleh dirinya yang bercirikan sinkretisme antara agama Nasrani dengan Mitologi Mananarmakeri.
2. Gerakan Koreri di bawah pimpinan Stephanus Simopyaref (1942)
Stephanus Simonpyaref berasal dari Manswam, Biak Selatan. Ketika ia dipenjarakan di luar Irian Jaya, yaitu di Jawa dan Maluku, ia banyak belajar mengenai Islam dan tentang ilmu kebathinan dan sulap. Ketika terjadi pengeboman di Manokwari, Stephanus dan para napi lainnya dibebaskan dan dalam perjalanan pulang ke Biak, Stephanus dan rekan-rekannya mengadakan rapat dan menghasilkan keputusan :
- Untuk melaksanakan perluasan dan tetap mempertahankan kesatuan maka perlu diadakan banyak propaganda.
- Angganitha harus dibebaskan dari penjara.
- Semua yang menentang pergerakan harus dibasmi dan semua penduduk asli yang tidak turut dalam pergerakan harus dipaksa untuk bersedia ikut serta.
- Tenaga Koreri akan diberi nama A.B. dan diambil seluruh penduduk Irian.
- Simbol pergerakan Koreri digunakan sebuah tanda salib berwarna biru pada bagian putih dan sebuah bintang di bagian merah pada bendera tersebut.
- Tentara Jepang tidak boleh diganggu kecuali keadaan terpaksa.
- Seluruh Irian mulai dari pulau dari pulau Gebe sampai Merauke dan Jayapura Timur akan berada dalam bendera Koreri.
- Kedudukan; 1. Angganitha harus diakui sebagai Ratu untuk seluruh Irian, 2. Stephanus akan menjadi Jendral atau panglima perang Angkatan Bersenjata A.B. 3. Semua fungsionaris yang ditunjuk oleh Angganitha harus diakui.
Dalam situasi yang berkobar-kobar dari masa pendukung Koreri yang berkumpul di Pulau Rani, tiba-tiba pada tanggal 13 Juli 1942 tibalah kapal Ursula dari Manokwari. Untuk membebakan Angganitha maka diperlukan perundingan dengan pihak Jepang. Dalam perundingan tersebut Stephanus menyampaikan beberapa tuntutan salah satunya yaitu pembebasan Angganitha. Jepang yang diwakili Iwata menjawab pembebasan terhadap Angganitha dapat dilakukanasalkan Stepanus pergi sendiri ke Manokwari untuk menyampaikan permintaannya kepada pimpinan Jepang di sana. Stephanus akhirnya memutuskan untuk ikut ke Manokwari guna membebaskan Angganitha.
Berselang beberapa waktu terdengar kabar bahwa Stephanus dan Angganitha dipancung oleh orang-orang Jepang pada Agustus 1942. Jan, Zadrak dan Kaleb Ronsumbre yang ditunjuk oleh Stephanus sebagai wakil-wakilnya menyelenggarakan suatu rapat di Rani yang membahas tindakan gerakan itu selanjutnya andaikata kedua pimpinan tersebut tidak kembali. Suatu penyerangan untuk membebaskan Stephanus dan Angganitha sepertinya sulit dilakukaan, kerena persenjataan pasukan Amerika Babo yang terdiri dari pentungan dan anak panah tidak dapat mematahkan pasukan jepang. Pendekatan yang dijalankan adalah membebaskan semua orang Irian yang anti Koreri yang dipenjarakan di Rani. Juga semua orang Irian yang Amber, yaitu para Guru, yang dipenjarakan harus dibebaskan, dan boleh kembali menjalankan tugas mengajarnya. Keputusan rapat ini baru direalisasikan pada tanggal 19 Juli 1942.

3. Gerakan Koreri di bawah pimpinan Birmori
Birmori merupakan teman sepenjara Stephanus di Manokwari dan ketika waktu pembebasan, ia ikut dibebaskan dan pulang ke kampungnya di Wapes, sebelah Barat Laut Biak. Setelah memudarnya gerakan Koreri yang berpusat di Rani, ia pergi mengunjungi Yamnaibori bekas tempat ladang Mangundi kemudian kembali dan menyatakan diri sebagai Raja Damai Wopes. Birmori berusaha untuk mendapat banyak pengikut melalui perbuatan-perbuatan yang sifatnya sinkretis antara Agama Nasrani dengan mitologi Biak dan penggunaan ilmu sihir. Beribu-ribu orang berduyun-duyun ke Wopes, yang dijadikan Birmori sebagai pusat pergerakannya, untuk menyaksikan dan menyediakan diri menjadi pengikut gerakan tersbeut. Dan ketika gerakan Koreri yang berpusat di Rani mengalami kemunduran, gerakan Koreri yang berpusat di Wopes mulai masa perkembangannya.
Birmori yang sejak awalnya tidak mau bekerja sama dengan Jepang, pada bulan Desember 1942 menyatakan pendiriannya secara terang-terangan terhadap Jepang. Hal pertama yang ia lakukan ialah tidak mau bekerja sama dengan pihak Jepang dalam hal apapun, kedua sekolah-sekolah harus ditutup karena mewajibkan penggunaan bahasa Jepang, ketiga Semua orang Amber yang berperan sebagai orang Jepang dan Mata-mata Jepang harus dihukum, serta dibunuh. Sikap Birmori yang terang-terangan menentang Jepang mengundang Jepang untuk melawannya. Pemerintrah Jepang mengatakan bahwa Birmori adalah seorang penghasut, pemberontak dan pengecut. Karena jumlah pasukan Jepang lebih sedikit, akhirnya pasukan Jepang melarikan diri. Birmori yang menyadari akan adanya serangan balasan melarikan diri ke hutan dan bersembunyi. Istreri Birmori terbunuh dalam salah satu bentrokan. Ketika Birmori ingin menggali liang lahat untuk istrinya, ia dibunuh oleh salah satu anggota keluarga dekatnya. Kepala Birmori kemudian dipotong dan diserahkan pada orang-orang jepang di Kodiro.
4. Beberapa peristiwa lain dalam Gerakan Koreri.
a. Peristiwa Andei di Numfor. Gerakan Koreri yang secara luas mempengaruhi banyak penduduk di Biak dan Numfor mempengaruhi jga Sangaji Namber, sehingga ia menolak menerima bendera Jepang yang mau diserahan kepadanya pada tanggal 15 Agustus 1942.
b. Peristiwa Manswam. Ketika kegiatan pergerakan di Rani mulai mengendor tiga orang bersaudara yang menjadi wakil Stephanus, masing-masing Jan, Zadrak dan Kaleb Ronsumbre memindahkannya ke Manswam, kampung asal mereka.
c. Peristiwa Serangan 25 januari 1943. salah satu peristiwa berdarah lainnya adalah serangan atas pusat pemerintahan Bosnik oleh pasukan A.B. yang dipimpin oleh Hanok dari kampung Sor pada tanggal 25 Januari 1943. (F.C Kamma, 1972: 36-41).
D. Penutup
Koreri merupakan gerakan mesianis yang cukup terkenal dan mempunyai pengaruh yang luas di Papua. Gerakan Koreri pada mulanya merupakan suatu pergerakan pembebasan orang-orang Biak dan Irian dari pengaruh kebudayaan asing. Gerakan ini distimulir oleh mitologi Manarmakeri. Pada tahap berikut, gerakan Koreri merupakan suatu gerakan yang bersifat politis-religius, karena menentang pemerintah (Belanda, Jepang) dan agama Kristen yang dianggap sebagai pembawa atau penyebab penderitaan masyarakat. Pada dasarnya gerakan-gerakan ini tidak hanya merupakan spekulasi tentang kejadian-kejadian, tetapi juga mendorong ke arah tindakan untuk mengubah situasi.
Gerakan Koreri juga dapat dikategorikan sebagai gerakan Nativistik yaitu gerakan yang mendambakan kebahagiaan dan lepas dari penderitaan dunia melalui datangnya seorang juru selamat (mesias). Gerakan Koreri ini merupakan bentuk realitas gaib atau mistis dunia ideal karena secara faktual mereka tidak dapat mengatasi berbagai bentuk kesulitan yang mereka alami. Hampir sama dengan gerakan Milleniarisme di Indonesia yang lain, gerakan Koreri sangat tergantung pada pemimpin gerakan sebagai sang juru selamat yang akan membebaskan rakyat dar ketidakadilan. Oleh sebab itu, ketika para pemimpin gerakan yang dianggap rakyat sebagai perantara datangnya manamarkeri ditangkap maka gerakan Koreri ini semakin lama semakin surut dan berakhir. Meskipun tidak menutup kemungkinan pada masa yang akan datang muncul kembali gerakan-gerakan mesianis yang lain, sebagai cotohnya muncul kembali gerakan Koreri gaya baru yang disebut dengan Farkahin pada sekitar tahun 1998.

E. Daftar Pustaka
Kamma, F.C. 1972. Koreri, Mesianic Movements in The Biak-Numfor Area. The Hague: Martinus Nijhoff.
Lauer, Robert H. 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Sartono Kartodirdjo. 1973. Ratu Adil. Yogyakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Syamsul Hadi, dkk. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru Negara Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta: Yayasan Obor.
Ukur F. 1977. Benih yang Tumbuh VIII. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI.
Internet
Bas Nanlohy. “Wacana Perubahan Sosial”. Diakses dari http:// teologipapua.blogspot.com/2008/08/akulturasi-dalam-gerakan- koreri.html. Tanggal 21 Maret 2010.

1 komentar:

  1. Orang Biak telah mengenal dunia luar sejak abad 6 jauh sebelum eropa datang ke tanah papua, jika ingin menuliskan sesuatu tentang kebudayaan orang lain, tolong perbanyak referensi.
    Anda seorang sarjana bukan sekedar pelajar yang duduk dibangku SMA. Tuliskan sesuatu yang bermanfaat, untuk mendidik generasi muda.

    Terima Kasih.

    BalasHapus