JAMPRIBADI

Minggu, 18 April 2010

Khittah NU


Oleh: Ana Ngatiyono S.Pd

Menguji Khittah 1926 : Tonggak Pandangan NU dalam Kongres Cipasung

NU atau Nahdlatul Ulama adalah organisasi Islam yang terbentuk dengan dasar pengembangan masyarakat muslim Indonesia yang berbudaya. Pada awalnya NU terbentuk karena terdapat perbedaan pandangan antara kelompok modernis Islam di Indonesia (Muhammadiyah dan PSII) pimpinan H.O.S Cokroaminoto yang menghendaki pemurnian ajaran agama Islam. Pemurnian ajaran agama Islam ini sesuai dengan ajaran Wahabi yang dicetuskan oleh Raja Suud (Raja Arab Saudi) yang hendak menghancurkan peninggalan sejarah Islam atau pra Islam yang banyak diziarahi sehingga dianggap sebagai bid’ah.
Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Akibat keputusan ini para tokoh NU seperti halnya K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan juga sesepuh NU lainnya melakukan pertentangan. Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Berangkat dari komite hejaz dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan mendasar, maka kemudian dibentuk organisasi yang memiliki cakupan luas dan lebih sistematis, dalam rangka mengantisipasi perkembangan zaman. Pada perkembangan selanjutnya diadakan diskusi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut selanjutnya ditafsirkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor. NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa Orde Baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi. Kembalinya NU pada Khitta 1926 bertujuan untuk kembali pada prinsip dasar organisasi dan mengutamakan pengembangan masyarakat muslim Indonesia dengan keberagaman budaya-nya.
Kembalinya NU pada khittah 1926 ternyata tidak memperlemah posisi NU dalam kehidupan politik nasional. Fakta yang terjadi justru NU berkembang menjadi kekuatan Islam yang mempunyai akses sosial politik yang sangat modern terutama semenjak kepemimpinan Abdurahman Wahid. Kecenderungan NU kearah politik nasional terlihat dari berbagai kebijakan yang diambil yaitu menumbuhkan masyarakat sipil (civil society), dan melakukan berbagai manufer yang menegaskan pertentangan terhadap dominasi pemerintah (Orde Baru) dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Melihat sayap NU yang semakin melebar dalam kancah politik nasional dan dianggap sebagai ancaman Orde Baru, maka pemerintah berupaya untuk membendung gerak politik NU dan menariknya kearah jalur yang dapat dikontrol pemerintah. Meskpiun demikian, NU tetap masuk dalam kancah politik.
Tetap masuknya NU dalam kancah politik dikarenakan basis masa NU yang besar. Jumlah warga NU yang merupakan basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 80 juta orang, mayoritas di pulau jawa, kalimantan, sulawesi dan sumatra dengan beragam profesi, yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU. Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basisi intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU. Sepuluh tahun berikutnya setelah kembali kekitthah 1926, NU kembali masuk daalam pusaran politik Orde Baru. Pada Muktamar ke 29 di Cipasung tahun 1994, terjadi krisis internal NU yang dipicu oleh persaingan memperebutkan kursi kepemimpinan NU antara Abdurrahman Wahid dan Abu Hasan.
Atas Kekhawatiran terhadap manuver Gus Dur dalam politik yang diangap dapat menganggu stabilitas politik Orde Baru, maka sejak tahun 1989 Soeharto berupaya untuk menghancurkan Gus Dur dalam kariernya sebagai Ketua Umum NU yaitu pada saat diadakan Muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta. Salah satu agenda Muktamar tersebut adalah memilih Ketua Umum NU. Soeharto memangfaatkan kekuatan kubu NU Situbondo untuk menggagalkan terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua Umum NU untuk kedua kalinya. Upaya tersebut gagal karena hasil dari Muktamar ini pun akhirnya memilih Gus Dur sebagai Ketua Umum NU untuk kedua kalinya.
Gagal di Yogyakarta, pada waktu diadakan Muktamar NU berikutnya (ke-29), di Cipasung, tahun 1994, lagi-lagi kubu Soeharto melakukan intervensi
untuk mengeser Gus Dur, kubu Soeharto, dengan operatornya Kassospol waktu itu, Letjen H. R. Hartono, memakai calon ketua tandingan yang merupakan calon boneka mereka, Abu Hasan. Ketika gagal, mereka menyuruh Abu Hasan melakukan tuntutan pidana kepada Gus Dur dengan melapor ke polisi, dengan tuduhan mengfitnah Abu Hasan dan telah melakukan kecurangan dalam acara pemungutan acara dalam Muktamar tersebut. Bersamaan dengan itu atas restu pemerintah, Abu Hasan mendirikan PBNU tandingan pada 17 Januari 1996, yang disebut Komite Pengurus Pusat NU (KPPNU) dengan ketuanya Abu Hasan. Lahirnya KPPNU ini semakin memperuncing krisis yang terjadi dalam tubuh organisasi masa Islam terbesar di Indonesia tersebut.
Abu Hasan sebenarnya bukan calon pemerintah sesungguhnya. Sesungguhnya yang hendak dijadikan boneka oleh pemerintah adalah K.H. Wachid Zaini, kyai pengasuh Pesantren Nurul Jadid Paiton di Probolinggo sekaligus masih memiliki hubungan saudara dengan R. Hartono. K.H Wachid Zaini juga merupakan salah satu Rais Syuruyah PWNU Jawa Timur. Atas dasar pertimbangan memiliki hubungan saudara dengan R. Hartono, maka K.H Wachid Zaini dicalonkan untuk mengusur Gus Dur dari tampuk kepemimpinan NU. Harapan kubu Soeharto untuk mencalonkan K.H Wachid Zaini akhirnya gagal karena ia tidak bersedia mencalonkan dirinya dalam upaya menandingi Gus Dur. Disisi lain Beberapa koran di Jakarta (Republika, Terbit, Pelita) yang merupakan media milik ICMI atau Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia secara rutin memuat tulisan-tulisan yang pada intinya membeberkan sisi buruk pribadi Gus
Dur, meskipun demikian usaha yang dilakukan kubu Soeharto daalam rangka melengserkan Gus Dur mengalami kegagalan.. Maka strategi selanjutnya yang diambil kubu Soeharto adalah mencalonkan Abu Hasan.
Situasi Mukatamar ke 29 NU yang syarat dengan krisis politik antara kedua kubu yang bertikai tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan politik Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICWI) yang semakin menunjukan kekuatan Islam politik yang terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan negara. Usaha ICWI ini tidak lain adalah untuk meningkatkan legitimasi keagamaan dan politiknya. ICWI merupakan organisasi yang didalamnya terdiri dari cendekiawan muslim pro Orde Baru dalam hal ini Soeharto, Habibie, dan kroni-kroninya, sehingga tidak mengherankan apabila dalam setiap berita yang dimuat dalam Republika (Koran ICWI) selalu mendiskriditkan Gus Dur.
Hasil dari Kongres Cipasung ini adalah terbentuknya dua pengurus besar NU yaitu dibawah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Abu Hasan. Untuk mengatasi dan menyelesaikan krisis dalam tubuh NU ini dapat dilakukan berbagai cara antara lain ditempuh dengan jalan damai antara kedua pemimpin NU tersebut melalui pendekatan kekuasaan melalui tokoh lain yang dipilih negara (mediasi) atau dengan membiarkan krisis sampai salah satu pihak mengalah.

1 komentar:

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.com

    BalasHapus