JAMPRIBADI

Minggu, 18 April 2010

peranan perempuan

GERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA 1945-965
(STUDI SEJARAH PERWARI DAN GERWANI)
Oleh : Ana Ngatiyono

Abtrak
Perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan, mempertahankan, dan mengisinya tidak dapat dilepaskan dari para perempuan-perempuan Indonesia. Sejarah gerakan perempuan di Indonesia telah melewati jalan yang panjang. Jauh sebelum bangsa Indonesia meraih kemerdekaan, telah muncul gerakan perempuan dan organisasi perempuan yang berdiri. Tujuan awalnya munculnya gerakan perempuan sebelum kemerdekaan ialah memperbaiki pendidikan yang pada dasarnya masih didominasi kaum pria. Organisasi-oraganisasi perempuan tersebut dibangun untuk mewujudkan tercapainya hak-hak perempuan dan mengejar emancipatie kaum ibu Indonesia yang sejak dahulu tertindas oleh budaya patriarkhy masyarakat Indonesia. Gerakan perempuan terus melebarkan sayapnya pada masa-masa selanjutnya. Setelah bangsa Indonesia meraih kemerdekaan, gerakan dan peranan perempuan Indonesia lebih terpusat pada gerakan fisik terutama pada masa-masa revolusi kemerdekaan. Hal ini dikarenakan adanya semangat kebangsaan untuk ikut serta dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Garakan-gerakan fisik ini diantaranya dilakukan melalui peranannya dalam kegiatan kepalangmerahan, dapur umum, maupun sebagai kurir.
Pada masa revolusi kemerdekaan ini, kaum perempun mulai menggalang persatuan yang kuat. Persatuan yang dimaksudkan diwujudkan melalui Konggres Perempuan pertama yang diadakan oleh organisasi perempuan. Konggres ini diselenggarakan setelah proklamasi di Klaten pada 17 Desember 1945. Konggres inilah yang kemudian menjadi pelopor perempuan Indonesia untuk lebih gigih memperjuangkan aspirasinya. Perkembangan gerakan perempuan ditunjukkan melalui organisasi-organisasi perempuan, diantaranya melalui Perwari dan Gerwani. Kedua organisasi ini merupakan organisasi perempuan yang cukup besar diantara organisasi perempuan lain yang mewarnai sejarah gerakan perempuan periode 1950-1965 sebagaimana bahasan dalam tulisan ini. Kedua organisasi ini pada perkembangannya mengalami pasang surut mengikuti arus kehidupan politik pada periode itu. Pertentangan juga terjadi antar kedua organisasi tersebut, misalnya dalam menanggapi poligami Sukarno. Gerwani akhirnya terhempas oleh gelombang pasang Gestapu 1965 karena dianggap sebagai gerakan perempuan PKI. Sementara Perwari tetap eksis meskipun gerakannya dibatasi terutama pada masa Orde Baru.
Kata kunci: organisasi perempuan, gerakan, Pewari, Gerwani,
A. Pendahuluan
Perempuan secara langsung menunjuk pada salah satu jenis kelamin. Marginalisasi perempuan yang muncul menunjukkan bahwa perempuan sering disebut sebagai warga kelas dua, yang keberadaanya tidak begitu diperhitungkan. Dikotonomi alam (nature) alam dan budaya (culture) digunakan untuk menunjukkan pemisahan jenis kelamin ini, yang satu dianggap rendah dari yang lainnya. Perempuan yang mewakili sifat alam (nature) harus ditundukkan agar mereka lebih berbudaya (culture). Usaha membudayakan perempuan tersebut telah mengakibatkan proses produksi dan reproduksi ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan. (Irwan Abdullah, 1997:3).
Dalam perjalanan sejarah khususnya di Indonesia, berkembangya feminisme telah membuat perempuan mempertanyakan kembali identitas yang menyagkut asal-usul dan status keberadaan mereka. Perempuan menganggap bahwa mereka tidak diberikan tempat karena sejarah yang berkembang saat ini masih dominan menggunakan perpekstif laki-laki. Dapat dikatakan bahwa penelitian sejarah yang mengungkapkan perempuan masih sangat lambat. Meskipun perempuan hadir dalam setiap titik waktu sejarah, mengikuti dinamika ruang dan waktu, namun kedudukannya selalu hanya dijadikan sekedar aktor yang tidak penting atau “figuran”. Dalam edisi pertama buku metodologi Sejarah, Kuntowijoyo menulis kemugkinan dilakukannya penelitian dengan lebih mengembangkan tema sejarah perempuan, lengkap dengan metodologinya, teori, dan konsep-konsepnya. (Kuntowijoyo, 1974: 79-110).
Penulisan sejarah dengan menggunakan metodologi sejarah perempuan menurut Kuntowijoyo bukan berarti bahwa tulisan sejarah yang dihasilkan harus bersigat gynocentris (sejarah yang berpusat pada perempuan), melainkan sejarah yang lebih adil dan proporsional, yaitu sejarah yang menempatkan posisi antara laki-laki dan perempuan secara seimbang dan tidak ada deskriminasi diantara keduanya. Kuntowijoyo menyebutnya sebagai tulisan sejarah yang bersifat androgynous. (Kuntowijoyo, 1974: 98-99). Realitas sejarah tersebut yang mendorong penulis untuk menulis mengenai peranan perempuan Indonesia pada masa Orde Lama dan coba dihadirkan melalui konstruk sejarah yang sifatnya adrogynous.
Sejarah gerakan perempuan di Indonesia telah melewati perjalanan yang sangat penjang. Jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekaan telah banyak muncul tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi perempuan yang berdiri. Apabila dibuka lagi lembaran sejarah Indonesia, gerakan perempuan di Indoneisia sudah ada sejak akhir abad ke 19. R.A Kartini adalah salah satu tokoh terkemuka perempuan yang ikut berjuang demi kepentingan kaum perempuan pada masanya. Pekembangan perjuangan perempuan ini merupakan dampak dan pengaruh dari politik etis yang telah menyadarkan perempuan akan nasib perempuan Indonesia yang masih sangat terbelakang atau kedudukanya hanya sekedar teman belakang yang tugasnya tidak lapas dari melayani suami dan mengasuh anak. Fungsi dan kedudukan perempuan ini lebih dikenal dengan istilah Jawa sebagai “konco wingking”. Kedudukan perempuan seperti ini sudah biasa pada masa penjajahan karena wanita Indonesia seperti terkungkung di dalam budaya feodalisme (Hikmah Diniah, 2007: 4). Pengaruh warisan cita-cita R.A Kartini untuk emansipasi wanita telah berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya, dan perhatian kaumnya.
Selanjutnya muncul tokoh perempuan generasi Kartini berikutnya yaitu Dewi Sartika. Perjuangannya melalui pengajaran dan pendidikan bagi kaum perempuan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan derajat kaum perempuan pada masa itu yang tidak pernah diakui dan juga untuk meningkatkan kecakapan bagi kaum ibu. Dengan meningkatnya perjuangan perempuan Indonesia untuk memperbaiki nasib, akhirnya didirikan organisasi perempuan pertama pada tahun 1912 di Jakarta bernama Putri Mardika. Sedangkan di Jawa didirikan Kartini Fonds yaitu beasiswa untuk mendirikan sekolah Kartini di seluruh pulau Jawa. Selain itu, masih banyak berdiri organisasi-organisasi perempuan lainnya di luar Jawa dan di daerah-daerah yang tujuanya tidak lain hanya untuk meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan dan menuntut persamaan dengan kaum pria. Dalam perkembangan selanjutnya organisasi perempuan di Indonesia berdiri dengan dasar dan tujuan yang beragam, misalnya organisasi perempuan dengan basis agama ataupun organisasi perempuan dengan tujuan politik dan perjuangan kemerdekaan.
Organisasi-oraganisasi perempuan tersebut pada dasarnya dibangun untuk mewujudkan tercapainya hak-hak perempuan dan mengejar emancipatie kaum ibu Indonesia yang sejak dahulu tertindas oleh budaya patriarkhy masyarakat Indonesia. Oleh karena itulah, perempuan Indonesia dari waktu ke waktu selalu meluaskan lapang pergerakannya, untuk mengejar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dan mengejar hak perempuan sebagai bangsa. Kedudukan antara laki-laki dan perempuan sama halnya seperti dua sayap seekor burung yang apabila dua sayap tersebut dibuat sama kuatnya, maka tidak heran apabila akan meraih cita-cita dan kemajuan setinggi-tingginya. (Soekarno, 1965:100) Perumpamaan ini bermakna sebagai tuntutan agar dibuka pintu seluas-luasnya bagi perempuan Indonesia dalam upaya menuntut persamaan hak dan persamaan derajat bagi dirinya untuk semakin memperkuat bangsanya.
Kaum kolot yang masih mengagung-agungkan sistem feodalisme dan ideologi patriarki menjadi terheran-heran ketika mendengar semboyan dari salah satu organisasi perempuan Indonesia yakni Marhaeni Bandung yang menyatakan bahwa “Kita tidak sudi ekonomi-ekonomian atau sosial-sosialan sahadja, kita tidak mendirikan perhimpunan sendiri, kita duduk dalam satu organisasi politik dengan kaum laki-laki , kita menjalankan aksi masa dengan kaum laki-laki itu!” (Soekarno, 1965:245). Pernyataan itu menjadi gebrakan baru dalam perpolitikan Indonesia bahwa perempuan yang sekian lama hanya dianggap sebagai pelengkap saja kini sudah berkembang bahkan berpartisipasi dalam kegiatan politik negara. Perjuangan Marhaeni bandung ini selanjutnya berpengaruh besar terhadap gigihnya perjuangan wanita Indonesia dan buktinya ditunjukkan dengan semakin banyaknya berdiri organisasi-organisasi perempuan, diantaranya adalah Perwari dan Gerwani. Mereka menganggap bahwa kaum laki-laki adalah musuh dan sebagai saingan yang sombong. Oleh karenanya perjuangan ini dilakukan dengan sangat gigih, meskipun mendapat banyak pertentangan dari kaum laki-laki.
Perjalanan sejarah diatas meninggalkan kesan faktual betapa sebenarnya perempuan mempunyai peran yang penting. Bahkan dalam hadist dikatakan bahwa perempuan adalah tiang Negara. Pernyataan ini apabila dikaji mengandung pengertian filosofis yang mendalam. Mengenai hal ini soekarno dalam bukunya Sarinah mengatakan “Sesunggunja benarlah perkataan Charles Faurrier kalau ia mengatakan, bahwa tinggi rendahnja tingkat kemadjuan sesuatu masjarakat, adalah ditetapkan oleh tinggi rendahnja kaum perempuan di dalam masjarakat itu.” (Soekarno, 1963:17). Pernyataan ini mengandung makna kepada kita bahwa perempuan mampu menjadi penyumbang bagi muncul dan berkembangnya peradaban. Perempuan baik secara individu maupun kelompok, telah memberikan peran dalam perjalanan sebuah bangsa. Peranan perempuan inilah yang akan dikaji oleh penulis.

A. Gerakan Perempuan Indonesia Masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1950)
Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945 telah membuka harapan dan lembaran baru perjuangan bangsa Indonesia. Perjuangan bukan lagi untuk merebut kemerdekaan tetapi bagaimana bangsa Indonesia mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang telah dicapai dengan sebaik-baiknya. Perubahan arah perjuangan ini juga berlaku bagi perjuangan perempuan Indonesia. Dengan kata lain, perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan tidak hanya didominasi oleh kaum pria saja, tetapi juga bagian dari tugas perempuan Indonesia. Demi mengintensifkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Soekarno mengajak perempuan untuk ikut berpartisipasi total. (Cindy Adams, 1982: 38). Hal itu disampaikan Soekarno dalam buku yang berjudul Sarinah, ia mengatakan:
“Kewajibanmu telah terang!... Janganlah ketinggalan dalm revolusi nasional ini… dan janganlah ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakt keadilan social dan kesejahteraan social. Di dalam masyarakat keadilan social itulah engkau nanti akan menjadi wanita yang bahagia, wanita yang merdeka!. (Soekarno, 1984: 241-147).”

Hasilnya mengutip Cora Vreede de Stuers dalam The Indonesian Women: Strugglesand Achievement, perempuan-perempuanpun secara terorganisasi bergerak dalam perang fisik dengan membentuk tim perawat, kurir, dapur umum, dan klinik berjalan.(Cora Vreede de Stuers, 2008:175).
Pernyataan diatas benar adanya karena memang pada awalnya keterlibatan perempuan ini sebagian besar melalui PMI (Palang Merah Indoneia), dapur umum dan kurir. Contoh nyatanya dapat diambil melalui perjuangan PRIP (Perjuangan Rakyat Indonesia Putri) yakni pada tahun 1945-1948. Meskipun perjuangan PRIP dalam bidang pertahanan keamanan tidak begitu terlihat, namun peranannya dalam mengobarkan semangat perjuangan harus diakui. Peranan perempuan ini diantaranya ditunjukkan melalui dapur umum. Dalam setiap pertempuran seperti halnya dalam perjuangan di Front Ambarawa dan Semarang, selain persenjataan yang memegang peranan penting, logistik dan bahan makanan juga sangatlah penting. Oleh karena itu, persediaan logistik diwujudkan dalam dapur umum. Dapur umum ini dapat diartikan sebagai bagian dari rumah atau tempat untuk kegiatan memasak, pencarian bahan makanan dan pelayanan makanan serta persediaan minuman bagi para pejuang. Bahan-bahan makanan biasanya dikumpulkan oleh para anggota PRIP dari dari kampung-kampung sekitar tempat revolusi yaitu sekitar Semarang dan Ambarawa. Selain dari hasil sukarela masyarakat, bahan makanan juga biasanya didapat dari sumbangan organisasi-organisasi perempuan antara lain Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). (Sri Retna Astuti, 1990:74-75).
Selain dapur umum, keterlibatan anggota PRIP dalam revolusi kemerdekaan diwujudkan dalam bidang Kepalangmerahan. Pada waktu pertempuran di Front Ambarawa dan Semarang mereka mengurusi masalah perawatan dan mengurusi anggota pasukan yang gugur. Di samping sebagai salah satu bentuk partisipasi perempuan, Kepalangmerahan ini juga sebagai bentuk rasa kegotongroyongan, sifat ringan tangan dan saling membantu yang merupakan sifat khas bangsa Indonesia. Obat-obatan yang tersedia pada waktu itu masih sangat sederhanan dan jenisnya belum beragam. Misalnya aspirin, naspro, obat merah, salep, perban, dan pelester. Obat-obatan yang berkaitan dengan kepalangmerahan ini biasanya didapat dari rumah sakit setempat dan juga dari Markas Besar Tentara dan Palang Merah Indonesia. Selain berperan dalam dapur umum dan Palang Merah, perempuan Indonesia juga banyak yang berperan sebagai utusan atau kurir yang tugasnya membawa surat-surat penting yang umumnya berisi berita penting dari kota yang bergerilya ke kota lain atau sebaliknya. Tugas untuk menjadi kurir ini tidak semua perempuan bisa melakukanya, hal ini disebabkan karena tugas yang mereka emban sangat sulit dengan resiko yang besar. Biasanya para kurir setelah mengantarkan surat penting dari satu kota, pulangnya membawa keperluan sehari-hari seperti halnya bahan makanan ataupun pakaian dan sebagainya. (Sri Retna Astuti, 1990: 65)
Perjuangan PRIP untuk ikut serta aktif di dalam kancah perjuangan nampaknya sangat terdorong oleh semangat revolusi yang besar. Keputusan untuk mendirikan organisasi seperti halnya PRIP ini adalah suatu langkah yang berani apalagi pada waktu itu masih banyak pertentangan kepada perempuan untuk beratisipasi dalam organisasi. Meskipun organisasi ini hanya sebatas dapur umum dan palang merah ataupun perjuangan garis depan dengan nama satu badan perjuangan maupun tergabung dengan organisasi perjuangan yang lain, namun setidaknya organisasi ini ikut berpartisipasi didalam perjuangan bangsa Indonesia masa revolusi kemerderkaan.
Di sela-sela kesibukan ikut serta dalam kegiatan fisik maupun dalam bidang sosial politik, kaum perempuan mulai berbenah diri untuk mengalang persatuan yang kuat. Persatuan yang dimaksudkan diwujudkan melalui Konggres perempuan pertama yang diadakan oleh organisasi perempuan. Konggres ini diselenggarakan setelah proklamasi di Klaten pada 17 Desember 1945. Tujuan dari diselenggarakannya konggres adalah untuk mempersatukan ideologi dan membentuk badan Persatuan Wanita Indonesia (Perwani) dan Wanita Negara Indonesia (Wani) yang kemudian dilebur (fusi) menjadi Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Tujuan awal didirikan Perwari adalah untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa ada wadah baru bagi kaum perempuan Indonesia di alam kemerdekaan dan bukanlah warisan atau terusan dari Fujinkai (Hanna Rambe, 1983: 235). Perkembangan selanjutnya melahirkan badan Konggres Wanita Indonesia (Kowani) pada bulan Februari 1946. Lahirnya Kowani kemudian menjadi perancang diselenggarakannya Konggres Wanita Indonesia ke V di Madiun pada bulan Juni 1946.
Sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk menembus blokade ekonomi dan politik, konggres ini memutuskan untuk memulai hubungan dengan luar negeri agar gerakannya lebih diakui oleh dunia dan lebih berperan dalam perjuangan bangsa Indonesia. Maka dari itu, Konggres Wanita Indonesia menjadi anggota Women’s International Democratic Federation (WIDF). Selanjutnya diselenggarakan Konggres Wanita Indonesia ke VI di Magelang Jawa Tengah pada bulan Juli 1947. Dalam konggres ini diputuskan bahwa Kowani dipimpin oleh Dewan Pimpinan sedangkan Badan Pekerja dihapuskan. Konggres berikutnya yaitu Konggres Wanita VII di Solo diselenggarakan pada bulan agustus 1948. Hasil konggres lebih menekankan pada upaya menyatukan tenaga dan penyempurnaan organisasi, serta usaha untuk tetap membantu perjuangan. (Kowani, 1986:101)
Peranan perempuan lainnya ditunjukkan melalui Laskar Wanita Indonesia (Laswi). Laswi mengikuti hijrah pasukan Divisi Siliwangi ke Yogyakarta pada tahun 1948 yaitu sebagai akibat dari perjanjian Renville. Selama di Yogyakarta Laswi selalu ikut berperan dalam kegiatan sosial dan menjadi panitia sosial. Tugas dari panitia sosial ini umumnya adalah menyiapkan dapur umum. Ketua panitia sosial ini antara lain Ny.Utami Suryadana sebagai ketua dan Ny.SY. Arujukartawinata sebagai wakil ketua. Peran perempuan semakin diakui setelah pada tahun 1948, Jawatan Kepolisian Negara di Yogyakarta untuk pertama kalinya menerima siswa polisi wanita. Gagasan ini mendapatkan dukungan penuh dari Kowani sebagai induk dari organisasi perempuan di Indonesia. Saat Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda II, polisi wanita meninggalkan tugasnya sebagai petugas keamanan dan beralih sebagai alat perjuangan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan. Mereka bersama-sama bergabung dengan para tentara dan laskar lainnya untuk ikut dalam front perjuangan. (Kowani, 1986: 107).
Selain berperan dalam bentuk perjuangan fisik, perjuangan perempuan Indonesia juga aktif di dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi perempuan. Diantaranya dilaksanakan Permusyawaratan Wanita Seluruh Indonesia pada tanggal 26 Agustus sampai 2 September 1949. Pihak yang memprakarsai Permusyawaratan Wanita Seluruh Indonesia adalah Kowani yang dihadiri oleh 82 orang orang yang tergabung di dalam organisasi wanita seluruh Republik Indonesia. Panitia Permusyawaratan Wanita Seluruh Indonesia ini diketuai oleh Ny. Burdah Yusupadi dan anggotanya terdiri dari. Ny. Siti Sukaptinah, Sunaryo Mangunpuspito, Ny.Mr. Maria Ulfah Santoso, Ny. Supeni, Ny. S Akhmad Natakusumah, dan Ny. Th. Waladouw. Bagi peserta yang berasal dari luar Jawa sebagian besar mereka harus melalui perjuangan karena harus terlebih dahulu melewati daerah yang masih diduduki oleh Belanda.
Dalam Permusyawaratan Wanita Seluruh Indonesia, diperoleh beberapa keputusan antara lain : a). Tujuan perjuangan perempuan yaitu untuk memperjuangkan dan mewujudkan kemerdekaan yang penuh bagi bangsa Indonesia. b). Membentuk badan kontak bersama ”Permusyawaratan Wanita Indonesia”, badan ini berkedudukan di Yogyakarta dengan kepenggurusannya sebagai berikut :
Ketua : Ny. Mr Maria Ulfah Santoso
Wakil Ketua : Ny. Artinah Syamsudin yang merangkap sebagai sekertaris.
Bendahara : Ny. Th Walandouw
Pembantu : Ny. Dm Hadiprabowo, Nn. Hariyati, Ny. Burdah, Ny. Supeni
Pujobuntoro, Ny. Aisyiah Hilal, Ny. D Susanto, Ny. Sunaryo Mangunpuspito, Ny. Brotowardoyo, Ny.Mr. Tuti Harahap.
Anggota Badan Kontak Permusyawaratan Wanita Indonesia antara lain Perkiwa, Muslimat, Wanita Taman Siswa, Budi Istri Bandung, Persatuan Wanita Pekalongan, Putri Nortowandowo, Perwari Pontianak, Perwari Pangkal Pinang, Partai Wanita Rakyat, PSII bagian wanita, Aisyah, Persatuan Wanita Katholik Indonesia, Pemuda Putri Indonesia, Persatuan Wanita Kristen Indonesia, Gerakan Wanita Sedar, Putri Budi Sejati, dan lain sebagainya. (Kowani, 1986:121)
Pada dasarnya arah perkembangan organisasi perempuan sampai tahun 1950 telah mencangkup beberapa hal. Pertama, sebagai kelanjutan dari kecenderungan pada masa sebelumnya, wawasan dan ruang lingkup perhatian wanita semakin meluas bukan hanya sebatas menangani permasalahan perempuan saja melainkan mereka berpartisipasi aktif dalam perjuangan politik dan pemerintahan agar dapat bersaing dengan pihak pria. Kedua, muncul organisasi-organisasi perempuan yang beragam jenis dan tujuannya. Selain organisasi yang sudah ada sebelumnya seperti halnya organisasi yang berafiliasi pada partai politik dan organisasi berasaskan agama, muncul pula organisasi khusus pada kalangan tertentu seperti halnya dikalangan istri angkatan bersenjata, dan organisasi profesi lainya. Selain itu, dengan tumbuhnya paham-paham demokrasi dalam pemerintahan, kaum perempuan berkeinginan untuk mendirikan partai politik wanita yang bertujuan menyalurkan aspirasi wanita sepenuhnya.
Ketiga, ruang gerak organisasi perempuan semakin meluas, tidak hanya berkutat pada ruang lokal atau kedaerahan serta nasional saja, tetapi gerakanya sudah meluas dikalangan internasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan masuknya Kowani sebagai anggota WIDF. Keempat, sebagai akibat orientasi gerakan yang diambil, kegiatan organisasi perempuan semakin beragam. Organisasi perempuan ini dipisahkan menjadi dua kelompok besar yakni organisasi perempuan yang mendasarkan kegiatannya pada pencampaian kesejahteraan (welfare), antara lain memperhatikan permasalahan pendidikan, perempuan, sosial maupun ekonomi. Organisasi yang kedua yaitu organisasi perempuan yang berkecimpung pada permasalahan politik. Jumlah organisasi yang bertujuan untuk kesejahteraan jumlahnya lebih banyak dari pada organisasi politik. (Rusiyati; http://www.egroups.com/group/milis-spiritu)

B. Perkembangan Gerakan Perempuan Indonesia Periode 1950-1965 (Perwari dan Gerwani)
Pada awal tahun 1950 gerakan perempuan di Indonesia mengalami kekecewaan yang mendalam karena Soekarno telah membantu mengagalkan sejumlah reform perkawinan yang telah diperjuangkan oleh gerakan perempuan termasuk juga Perwari dan Gerwani. Padahal Soekarnolah yang dianggap telah berhasil mengalang kekuatan kolektif gerakan perempuan untuk menyokong perjuangan nasional. Soekarno juga dianggap sebagai tokoh yang telah memberikan inspirasi yang besar kepada kaum perempuan, seperti halnya tercantum di dalam bukunya “Sarinah” yang telah menjanjikan kepada kaum perempuan kebebasan di dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur kelak di kemudian hari. Secara khusus berbicara mengenai partisipasi perempuan dalam perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia, Soekarno menyatakan bahwa ketertarikan perempuan hanya dapat dipenuhi dari fase sosial yang akan datang setelah fase nasional.
Untuk mempercepat datangnya sosialisme, perempuan harus “ikut serta mutlak sehebat-hebatnya di dalam revolusi kita”. Sebaliknya laki-laki harus sadar bahwa mereka tidak akan berhasil tanpa kaum perempuan. Oleh sebab itu, laki-laki Jawa harus mulai menghilangkan sistem patriarki Jawa yang masih bertahan. Selain itu, Soekarno juga berseru bahwa kaum laki-laki yang harus menjadikan kaum perempuan sebagai roda perjuangan bangsa (Saskia eleonora Wieringa, 1999: 161). Berbagai pernyataan akan perjuangannya terhadap kaum perempuan banyak diucapkan di dalam pidato setiap Konggres Perempuan dilaksanakan. Namun pada kenyataannya, Soekarno tidak konsisten terhadap apa yang diucapkanya dan tidak menepati janji untuk memperjuangkan gerakan kaum perempuan yang menolak ketidakadilan terhadap mereka di dalam perkawinan dan keluarga. Perempuan yang tadinya dijadikan mitra dalam mempertahankan kemerdekaan, justru dijadikan saingan ditinggalkan di bidang sosial oleh laki-laki. (M.C Rieklefs a.b Satrio Wahono dkk, 2007: 466). Ketidakharmonisa relasi ini berlanjut seiring dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 19 Tahun 1952 yang tidak memihak pada perempuan. Peraturan yang termuat dalam PP tersebut antara lain naikkan tunjangan gaji bagi janda pegawai negeri. Dalam kasus poligami tunjangan pensiunan diberikan dua kali jumlah yang diterimakan oleh seorang janda di pegawai agar dapat dibagi rata kepada janda-jandanya yang tidak lebih dari empat. (Saskia Eleonora Wieringa, 1999: 236). Persoalan ini memuncak setelah pada tahun 1954, Sukarno menikahi Siti Soehartini. Organisasi wanita di Indonesia pada waktu itu melakukan pembelaan dan dukungan kepada Fatmawati (istri Sukarno sebelumnya).
Organisasi-organisasi pergerakan perempuan pada periode ini diantara ditunjukkan melalui:
1. Perwari
Perwari berdiri sejak tahun 1945 sebagai organisasi perempuan sekuler yang beasaskan Pancasila, dan dengan tegas menyatakan bahwa ketua Perwari bukan dan tidak ingin menjadi anggota organisasi politik manapun. Akan tetapi, untuk anggota biasa diberikan kebebasan penuh untuk masuk anggota organisasi politik sehingga setelah kemerdekaan banyak anggota Perwari yang masuk partai-partai politik atau organisasi perempuan yang baru berdiri seperti halnya Gerwis (Hikmah Diniah, 2007: 81). Sebagai organisasi yang melibatkan diri dalam persoalan kemasyarakatan, tahun 1950 Perwari terlibat dalam berbagai bidang perjuangan, diantaranya mendirikan sekolah, biro konsultan, klinik ibu dan anak, dan buruh perempuan. Pada tanggal 17 desember 1953, yakni hari ulang tahun Perwari, organisasi ini melancarkan aksi demonstrasi terhadap keputusan Sukarno yang dianggap tidak konsekuen terhadap apa yang diperjuangkan oleh organisasi perempuan. Sebagai gambaran dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, menuturkan sebagai berikut.
Dibulan Juli 1953 segolongan orang yang beremansipasi dengan berusaha memperjuangkan undang-undang perkawinan yang memberantas poligami… tepat di tengah-tengah menghangatnya persoalan itu Presidennya mengawini istri yang kedua. Timbullah kehebohan. Wanita-wanita itu… berbaris menuju istana mengajukan protes…(Cindy Adams, 1982: 430-431).

Meskipun demonstrasi ini merupakan satu-satunya yang terjadi setelah kemerdekaan, diikuti oleh kalangan luas perempuan, dan memperjuangkan kepentingan gender perempuan, namun tidak ada satu organisasi perempuan muslim yang ikut serta. Hanya saja banyak anggota KWI yang ikut serta, meskipun mereka hanya sebatas sebagai individu saja bukan sebagai kesatuan organisasi KWI. Karena hal itulah, sejak tahun 1953 hubungan antara Gerwani dan Perwari sudah tidak baik, hal ini karena Gerwani merasa tersinggung oleh peranan Perwari sebagai protagonis utama (Saskia Eleonora Wieringa, 1999: 237).
Pada tahun 1954, Perwari mengalami kemunduran karena banyak anggota yang keluar dari organisasi terkait protes keras atas polygami yang dilakukan Presiden Sukarno pada Hartini. Alasan keluarnya para anggota ini disebabkan rasa ketakutan apabila dikaitkan dengan organisasi radikal yang sudah berani menentang presiden. Kebanyakan suami-suami dari anggota Perwari juga mendapat tekanan. Selain itu, pemimpin-pemimpin organisasi ini juga mendapatkan tekanan moral dan mendapat ancaman pembunuhan dari orang yang tidak dikenal. Perwari kemudian tidak menerima bantuan apapun untuk berbagai kegiatannya. Dengan kata lain, protes yang dilakukan Perwari justru merugikan organisasi sendiri. Bukti kemarahan Sukarno terhadap Perwari ini terlihat ketika ia hendak membubarkan organisasi sosial perempuan ini. (Saskia Eleonora Wieringa, 1999: 245).
Menjelang diselenggarakannya pemilu 1955, Perwari pada mulanya tidak mengikuti organisasi perempuan yang merupakan bagian dari partai politik, dan juga tidak berkampanye untuk calon Perwari sendiri. Alasanya, mereka yang ikut serta dalam politik berarti akan memasuki badan utama parpol, sehingga Perwari bukan hanya sebagai sayap perempuan saja, karena di dalam parpol tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Sebaliknya, Perwari bahkan menghadapkan langsung partai-partai politik dengan program “perjuanganya sendiri”. Program yang dimaksud antara lain pelaksanaan UU Perkawinan yang maju, persoalan pendidikan dan kesehatan, memperluas Angkatan Kepolisian untuk menanggulangi pelacuran, dan pengendalian harga. Program ini dikirimkan ke 15 partai politik, namun pada akhirnya hanya PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang menyetujui program Perwari ini. Pada perkembangan selanjutnya, Perwari memutuskan mengajukan calonnya sendiri setelah menyadari bahwa PSI dan PNI hanya menempatkan kepentingan partai diatas program Perwari (Saskia Eleonora Wieringa, 1999: 256). Pada masa Orde Lama persaingan antara Perwari dengan organisasi progresif seperti halnya Gerwani tidak pernah padam dan saling menjatuhkan satu sama lain. Pada pidato ketua Gerwani yang disampaikan tahun 1964 dikemukakan bahwa Gerwani bertentangan dengan organisasi-organisasi perempuan lain yang menurut kata-kata ketua ini "hanya giat berjuang untuk kepentingan nyonya-nyonya pejabat tinggi." Jelas kata-kata tersebut dialamatkan pada Perwari. (Saskia Eleonora Wieringa, http://www.geocities.com/CapitolHill/Parliament/2385/).
2. Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia)
Selain berdiri organisasi-organisasi yang berbasis pada kegiatan sosial, berdiri pula organisasi yang mengurusi masalah sosial tetapi tetap berada di gelanggang politik. Salah satu organisasi terbesarnya adalah Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang nantinya berubah menjadi Gerwani. Pendirian organisasi ini dilatarbelakangi ketidakpuasan perempuan-perempuan revolusioner dengan organisasi perempuan yang sudah ada, seperti Perwari, Wanita Sosialis, Wanita Demokrat Aisyiah, Muslimat NU dan sebagainya. Rasa tidak puas itu disebabkan berbagai faktor. Pertama, organisasi perempuan yang sudah ada hanya terbatas pada kegiatan terkait perempuan, ringan, monoton, dan tanpa resiko. Kedua, organisasi yang sudah ada hanya mengurusi soal pendidikan tanpa ada usaha perjuangan secara politik. Ketiga, organisasi yang sudah ada tidak ikut bergerak dalam usaha memperjuangkan hak-hak perempuan secara intensif. Keempat, tidak ada gerakan yang gerakannya sampai level nasional secara bersama-sama, serta kebanyakan organisasi yang sudah ada tidak ikut serta memperhatikan rakyat kecil dan buruh, misalnya dalam memperjuangkan rakyat dari lintah darat.
Alasan-alasan berdirinya Gerwis memang sesuai dengan kondisi yang terjadi sekitar tahun 1950 yaitu dengan menjamurnya partai politik dan gontok-gontokan penyusunan kabinet. Kelahiran Gerwis adalah untuk merespons kondisi ini. Aktivis Gerwis tidak hanya berjuang di perkotaan, mereka juga mempopulerkan isu-isu perjuangan perempuan dengan mengedarkan media progresif seperti Wanita Sedar hingga ke pelosok-pelosok desa. Aktivis Gerwis juga selalu mengisi rubric “Ruangan Wanita” di surat kabar Harian Rakjat yang diterbitkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Rubrik ini banyak mengisi tentang pemikiran-pemikiran progresif Gerwis tentang perempuan. Diantara para aktivis Gerwis yang selalu menulis di majlah Wanita Sedar dan Koran Harian Rakjat antara lain S.K Trimurti, Sujinah, Suharti, Sri dan Sulami. Wanita Sedar menjadi majalah pertama di Indonesia yang menulis tentang peta gerakan perempuan di dunia dan ide-ide tentang feminisme. (Luviana, Jurnal perempuan No 52 Tahun 2007: 53-54)
Meskipun latarbelakang dan tujuan berdirinya Gerwis sangat komplek, namun pada mulanya perhatian utama organisasi ini adalah pada UU Perkawinan monogami yang muncul setelah Sukarno menikah dengan Hartini, sehingga perhatian utama beralih pada masalah perjuangan untuk hak kerja dan tanggung jawab yang sama antara kaum perempuan dengan laki-laki terutama dalam perjuangan meraih kemerdekaan penuh dan untuk sosialisme. Hak-hak untuk perempuan dan anak-anak, termasuk penyelenggaraan penitipan anak dan pembangunan keluarga revolusioner merupakan tema pokok sepanjang sejarah Gerwis atau Gerwani ( Ita F Nadia, 2007: 9).
Perkembangan Gerwis dimulai ketika diselenggarakan pertemuan di Semarang yang dihadiri lima orang wakil dari organisasi se-pulau Jawa pada tanggal 4 Juni 1950. Mereka membawa misi untuk meleburkan organisasi masing-masing ke dalam wadah tunggal yaitu Gerakan Wanita Sedar (Gerwis). Ketujuh organisasi yang tergabung dalam Gerwis antara lain, Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Persatuan Wanita Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura, Perjuangan Putri Indonesia dari Pasuruan, dan Gerakan Rakyat Indonesia. Para tokoh Gerwis ini berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, namun disamakan melalui pengalaman mereka dalam pergerakan nasional.
Sekitar tahun 1951 organisasi muda Gerwis masih sibuk membenahi diri dan membangun cabang di sekitar pulau Jawa dan di luar pulau Jawa. Awalnya tujuan Gerwis adalah mendekati perempuan miskin, namun pada kenyataannya, pimpinan Gerwis tidak turun ke massa sehingga ada sikap yang di intrepretasikan sebagai tindakan yang tidak ingin bekerja sama dengan organisasi perempuan lainnya. Dampaknya, pada saat Gerwis mengadakan konggres yang pertama pada Desember 1951, jumlah anggotanya tidak lebih dari 6000 orang. Kongres yang pertama ini dilakukan analisis mengenai kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam tubuh Gerwis. Kelemahan tersebut antara lain dianggap lebih banyak memperhatikan masalah intern organisasi dan lebih fokus menyoroti masalah kepentingan perempuan sehari-hari. Dengan cara kerja yang didasarkan pada pemikiran yang sempit, Gerwis kemudian menamakaan periode 1950-1954 sebaagai periode sektarianisme dan Gerwis tidak mengikuti strategi front Persatuan (Hikmah Diniah, 2007: 93-94).
Gerwis kemudian mengadakan kongres II di Jakarta pada tahun 1954. Dalam konggres kedua jumlah anggota mencapai 80.000 orang yang berasal dari 230 cabang. Sesuai dengan hasil konggres yang telah disepakati dan diputuskan pada konggres I, untuk mengubah nama dan perjuangan yang lebih menyatu dengan perjuangan buruh, tani, dan gerakan yang ada di basis massa, akhirnya nama Gerwis diganti menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Perubahan nama ini dimaksudkan untuk menghilangkan karateristik sempit pada tubuh Gerwis. Sejak itu, Gerwani secara keanggotaaan terbuka untuk semua kaum perempuan dari golongan manapun, yakni wanita yang sudah berumur 16 tahun atau sudah menikah serta tidak mendukung salah satu partai politik, agama dan suku yang ada di Indonesia. Dengan memakai nama Gerwani yang semboyannya “organisasi pendidikan dan perjuangan” menjadikan penyemangat bagi para kader dan anggotanya. Setelah kongres II ini, para anggota dari Gerwani pergi ke desa-desa dan kampung untuk mendiskusikan berbagai permasalahan dengan perempuan tani terutama dengan para buruh. Selain itu, Gerwani juga melakukan kampanye buta huruf, perubahan UU Perkawinan yang lebih demokratis, menuntut hukuman yang berat untuk penculikan dan perkosaan, kegiatan sosial ekonomi untuk kaum buruh dan tani perempuan.
Menjelang pelaksanaan pemilu 1955, Gerwani mulai melakukan serangkaian kegiataan yang berbeda. Keegiatan yang dilakukan yaitu mulai menitikberatkan kegiatannya pada pemilu 1955. Ketika kampanye pemilu dimulai Gerwani turut ambil bagian untuk kampanye para calon PKI, namun tidak mengajukan nama calonnya sendiri. Sebanyak 23.480 orang anggota Gerwani terlibat dalam kampanye pemilu 1955. Pada awal menjelang pemilu ini, gerakan perempuan mulai hancur karena masing-masing partai politik menjadikan organisasi perempuan sebagai alat kampanye. Dampaknya pada waktu itu timbul perpecahan antara kelompok perempuan nasionalis dengan golongan perempuan Islam. Selain itu, jurang pertikaian dalam gerakan perempuan progresif dengan sejumlah golongan yang menentangnya semakin tajam, hal ini disebabkan semakin besarnya pengaruh kiri. Perselisihan yang terjadi membuat sebagian besar organisasi Islam bersatu dengan sejumlah lawan Gerwani, yaitu Perwari dan Bhayangkari. Seperti telah diungkapkan pada bagian atas bahwa perselisihan antara Gerwani dan Perwari terkait dengan masalah UU Perkawinan. Ketiga organisasi ini bersatu dalam rangka menghadapi kekuatan progresif (Hikmah Diniah, 2007: 80).
Fase selanjutnya berkembang bermacam-macam kegiatan, antara lain, balai-balai perempuan, bank-bank perempuan, bahkan surau perempuan didirikan. Bermunculan juga berbagai macam organisasi dan majalah perempuan, tetapi pada kenyataanya hampir semua kegiatan ini justru semakin terikat pada partai politik (laki-laki), gerakan keagamaan (laki-laki), ataupun pada organisasi pejabat laki-laki (Hikmah Diniah, 2007: 101). Sementara itu, hasil pemilu tahun 1955 sangat mengecewakan kaum perempuan, beberapa alasannya antara lain. Pertama, sangat sedikitnya wakil perempuan yang terpilih di dalam parlemen. Kedua, Partai Wanita Rakyat yang didirikan pada tahun 1946 tidak mendapat kursi dan sesudah pemilu gerakannya justru tidak terlihat lagi terutama dalam perjuangan monogami. Ketiga, tidak ada kaum laki-laki yang giat dan serius mengkampayekan reform perkawinan.
Dalam upaya memperkuat propagandanya, Gerwani menerbitkan dua majalah, Api Kartini dan Berita Gerwani. Api Kartini terutama ditujukan bagi permbaca lapisan tengah yang sedang tumbuh. Isinya bukan hanya memuat tulisan-tulisan tentang masak-memasak, pengasuhan anak, mode, dan lain-lain, tetapi juga soal-soal yang lebih "feminis" dan "kiri" seperti kebutuhan akan taman kanak- kanak, kejahatan imperialisme, poligini, dan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Permasalahan lain yang sering ditulis diantaranya soal buruh dan petani perempuan, pertanian yang terbengkalai, imperialisme asing di Indonesia dan kesehatan perempuan. Majalah ini juga pernah meliput pertemuan perempuan petani yang agendanya untuk mengakhiri imperialisme dan menghapuskan sisa-sisa feodalisme. Api Kartini adalah majalah pertama di Indonesia yang menunjukkan pengaruh buruk film-film Amerika yang bermutu rendah yang saat itu banyak beredar, dan baru belakangan PKI melontarkan masalah imperialisme kebudayaan Barat. (Luviana, Jurnal perempuan No 52 Tahun 2007: 54)
Berita Gerwani adalah majalah intern organisasi, dengan berita-berita tentang konferensi-konferensi yang akan datang, laporan kunjungan ke organisasi-organisasi perempuan di negera-negera sosialis, dan lain-lain. Apabila Api Kartini terutama terbit untuk menarik perempuan golongan tengah, dan meyakinkan mereka bahwa Gerwani pun memberikan perhatian pada masalah-masalah "tradisional" perempuan, Berita Gerwani yang lebih radikal bermaksud memberikan dukungan kepada kader-kader daerah dan membantu mereka dalam menghadapi tugas-tugas yang akan mereka hadapi. (Saskia Eleonora Wieringa, http://www.geocities.com/CapitolHill/Parliament/2385/).
Gerwani selanjutnya melaksanakan konggres ke III pada tahun 1957. Pada kongres ke III ini kelihataan bahwa Gerwani telah mengalami perkembangan yang pesat, hal ini terlihat dari jumlah anggota yang mencapai 631.342 orang. Dalam konggres ini Gerwani berhasil menetapkan resolusi-resolusi seperti pembebasan Irian Barat, tuntutan UU Perkawinan yang demokratis, buku-buku sekolah dengan harga yang murah, kesetiaan pada Pancasila, hukuman berat bagi pemerkosa, usaha mengatasi kenakalan pada anak-anak, dan mengubah berbagai peraturan yang deskriminatif. Dilihat dari isi yang terkandung dalam resolusi ini, jelas menunjukkan bahwa Gerwani semakin tengelam di dalam politik nasional Demokrasi Terpimpin. Setelah konggres III, pada tahun 1958 anggota anggota Gerwani mendorong kerjasama yang lebih erat antara berbagai golongan kiri yang ada dalam KWI atau Kowani dengan maksud agar KWI ini menjadi lebih peka dan aktif dalam masalah-masalah yang relevan bagi kaum perempuan miskin. Sebagai realisasinya dibentuklah "Gerakan Massa" di dalam KWI. Golongan kiri (termasuk sejumlah organisasi perempuan Islam) berusaha mendorong KWI memperingati Hari Perempuan Internasional setiap tanggal 8 Maret, dengan lebih menegaskan hubungan antara emansipasi perempuan dengan gerakan sosialisme. Beberapa orang pengurus KWI, seperti Maria Ulfah, dengan sengit menentang usaha yang disebutnya "infiltrasi" atau penyusupan Gerwani ini, dan "Gerakan Massa" pun dibubarkan.
Gerwani kemudian mengadakan konggres ke IV di Jakarta pada bulan Desember 1961. Konggres ini terakhir sebelum Gerwani dihancurkan pada Oktober 1965. Pada konggres ini, jumlah anggota telah mencapai 1.125.000 orang. Bertambah hampir 50 % pada saat kongres ke III tahun 1957. Beberapa resolusi yang ditetapkan dalam kongres ini antara lain pembebasan Irian Barat, membantu pelaksaan lands reform, UU Perkawinan yang demokratis, keamanan nasional, penurunan harga, dan perdamaian. Konggres ini menghasilkan program-program perjuangan, meliputi masalah hak-hak perempuan dan anak-anak, demokrasi dan keamanan, kemerdekaan penuh dan perdamaian. (Hikmah Diniah, 2007: 113). Bersamaan dengan meningkatnya suhu politik pada awal tahun 1960an, anggota-anggota Gerwani ikut berperan serta di dalam gerakan aksi sepihak Barisan Tani Indonesia (BTI). Gerakan ini dilancarkan untuk menuntut dilaksanakannya undang-undang lands reform. Bersamaan dengan itu, Gerwani berhasil merebut hak-hak politik kaum perempuan (misalnya hak perempuan untuk bisa dipilih menjadi kepala desa). Hal ini telah menimbulkan ketegangan diantara para golongan konservatif desa yang masih memegang amanat patriarki. Pada tahun-tahun terakhir sayap feminis pada organisasi ini kalah terhadap lebarnya sayap komunisme sehingga hubungan antara Gerwani dengan PKI dan presiden Soekarno menjadi sangat erat.
Gerwani akhirnya menyebarkan model tentang keibuan yang militan, dimana ibu-ibu harus bertanggung jawab terhadap pendidikan moral anak-anak mereka dan mengarahkan anak-anak agar menjadi anggota berguna dari keluarga manipol yang sejati. Model keibuan militan ini mengabungkan dua unsur yaitu fungsi keibuan perempuan dengan aktivitas politik (Ita F Nadia, 2007: 10-11). Akibat hubungannya dengan PKI inilah Gerwani harus menelan “pil pahit” seiring dengan pasang gelombang Gestapu 1965. Sayangnya stigma Gerwani sampai saat ini masih identik dengan wanita pelacur dan tidak beradab. Stigma seperti ini, seperti halnya yang terangkum dalam berita yang dimuat Berita Yudha Minggu.
Diantara djenasah itu ada yang dikebat dengan tali diantara dua majat…ditjungkil matanya…dipotong kelaminnja…dan banyak hal lain di luar perikemanusiaan. (dari) hasil penjelidikan…njatalah bahwa mereka…(pelakunya adalah “Gerwani” jang merupakan mantel…PKI. (Berita Yudha Minggu, 10 Oktober 1965: Buletin Ampera No.1/Th.II)

C. Penutup
Pejuangan perempuan Indonesia untuk memperbaiki nasibnya dan mengembalikan hak-hak mereka dari budaya patriarki (mental bapak) sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Banyak sekali tokoh perjuangan wanita yang secara gigih memperjuangkan kemerdekaan dengan caranya sendiri yaitu dengan berjuang agar para perempuan Indonesia dapat meraih pendidikan dan hak yang sama dengan kaum pria. Sementara itu, organisasi perempuan Indonesia baru mulai tumbuh pada sekitar abad ke 20, ditandai dengan banyak berkembanganya organisasi wanita modern sebagai salah satu organisasi kebangsaan. Perjuangan perempuan melawan penjajah Belanda pada waktu itu telah memberikan inspirasi dan dorongan bagi perempuan-perempuan generasi berikutnya untuk berjuang mewujudkan emansipasi kaumnya sekaligus memiliki peranan partisipasi dalam mengisi kemerdekaan. Perjuangan kaum perempuan pada waktu itu bukan hanya sekedar berjuang di garis belakang saja, tetapi juga banyak yang ikut berjuang dalam revolusi fisik.
Pada periode 1945-195 gerakan wanita banyak mengalami kebangkitan, hal ini ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi baru dengan tujuan yang beragam diantaranya Perwari dan Gerwani. Namun pada dasarnya mereka mempunyai kesamaan tujuan antara satu dengan yang lain yaitu tujuan untuk meraih persamaan dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. Perjuangaan wanita ini kadang harus menghadapi tantangan yang berat terutama dari golongan konservatif yang masih menggunakan tata cara feodalisme.
Berbagai corak gerakan mereka usung sesuai dengan karateristik masing-masing, bukan hanya mengurusi permasalahan-permasalahan sosial, kewanitaan, pendidikan, ataupun agama saja. Namun muncul pula organisasi sosial wanita yang terjun di gelanggang politik secara nyata. Pada masa ini juga ditandai dengan hubungan yang tidak harmonis antar organisasi perempuan terbesar yaitu Perwari dan Gerwani. Pertentangan ini disebabkan karena perbedaan ideologi ataupun arah dan tujuan organisasi yang berseberangan. Gerwani sendiri akhirnya tumbang bersamaan dengan derasnya arus Gestapu 1965, sedangkan Perwari meskipun masih tetap eksis tetapi gerakannya sangat dibatasi oleh pemerintah, terutama masa Orde Baru. Semoga pada masa sekarang ini muncul kembali gerakan-gerakan perempuan dalam rangka memperbaiki kondisi bangsa dan mempunyai inspirasi untuk lebih memajukan bangsa ini. Tentunya gerakan yang harus dilakukan adalah gerakan yang relevan dengan jamannya dan tetap bekaca pada sejarah.
Daftar Pustaka
Adam, Cindys. Soekarno an Autobiography as Told to Cindy Adams. ab. Major Abdul Malik Bar Salam. (1982). Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: PT Gunung Agung.

De Stuers, Cora Vreede. The Indonesians Woman: Struggles and Achievement. ab Elvira Rossa (dkk). (2008). Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencampaian. Depok: Komunitas Bambu.

Irwan Abdullah. (1997). Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan. Dalam Irwan Abdullah (ed). Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ita F Nadia. (2007). Suara-Suara Perempuan Korban Tragedi ’65. Yogyakarta: Galangpress.

K. Hikmah Diniah. (2007). Gerwani bukan PKI Sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia. Yogyakarta: Caraswatibooks.

Kowani. (1986). Sejarah Setengah Abad Kasatuan dan Persatuan Wanita Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Kuntowijoyo. (1994). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.

Rambe, Hanna. (1983). Mencari Makna Hidupku: Bunga Rampai Perjalanan. Jakarta: Sinar Harapan.

Ricklefs, M.C. A History a Modern Indonesia Since c. 1200 Third Edition, ab. Satrio Wahono (dkk). (2007). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. serambi Ilmu Semesta.

Sri Retna Astuti. (1990). Peranan Dapur Umum Dalam Masa Revolusi 1945-1949 di DIY. Yogyakarta: Depdikbud, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Sukarno. (1965). Di Bawah Bendera Revolusi._____________

_______. (1963). Sarinah. Jakarta: Panitya Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden soekarno.

_______. (1984). Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia. Jakarta: Idayu Press-Yayasan Pendidikan soekarno.

Wieringa, Saskia Eleonora. The Politizationof Gender Relations in Indonesia. a.b. Hersri setiawan. (1999). Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta: Garda Budaya.

Internet

Wieringa, Saskia Eleonora. Kuntilanak Wangi: Organisasi-Organisasi Perempuan sesudahtahun 1950, tersedia pada http://www.geocities.com/CapitolHill/Parliament/2385/, diakses tanggal 28 April 2008, jam 15.00 WIB.

Rusiyati. Sepintas Gerakan Wanita Indonesia dalam Perkembangan Sejarah, tersedia pada http://www.egroups.com/group/milis-spiritu, diakses tanggal 28 April 2008, pukul 15.00 WIB.

Jurnal
Luviana. “Identitas Perempuan Indonesia Dalam Koran dan Majalah”. Jurnal Perempuan, No 52 Tahun 2007.
Surat Kabar
Buletin Ampera No.1/ Th II. 10 Oktober 1965.

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Pejuangan perempuan Indonesia untuk memperbaiki nasibnya dan mengembalikan hak-hak mereka dari budaya patriarki (mental bapak) sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Banyak sekali tokoh perjuangan wanita yang secara gigih memperjuangkan kemerdekaan dengan caranya sendiri yaitu dengan berjuang agar para perempuan Indonesia dapat meraih pendidikan dan hak yang sama dengan kaum pria. Sementara itu, organisasi perempuan Indonesia baru mulai tumbuh pada sekitar abad ke 20, ditandai dengan banyak berkembanganya organisasi wanita modern sebagai salah satu organisasi kebangsaan. pendidikan sebagai kunci peran penguatan perempuan

    BalasHapus