JAMPRIBADI

Minggu, 18 April 2010

Perlawanan Petani

Oleh; Ana Ngatiyono S.Pd
PERLAWANAN PETANI DI JAWA PADA MASA KOLONIAL HINDIA BELANDA (1800-1942)
A. PENDAHULUAN
Ekspansi kekuasaan kolonial pada abad ke-19 merupakan gerakan kolonialisme yang paling besar pengaruhnya dalam membawa dampak perubahan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan di negara-negara yang mengalami penjajahan termasuk di Indonesia. Penetrasi kekuasaan politik dan ekonomi Barat telah mengakibatkan proses transformasi struktural dari struktur politik dan ekonomi tradisional kearah struktur politik dan ekonomi kolonial dan modern. Dampak penting dari gerakan kolonialisme adalah timbulnya sistem kolonial (colonial system) dan situasi kolonial (colonial situation) di negara jajahan. Sistem dan situasi kolonial ini telah menciptkan sistem hubungan kolonial antara pihak penguasa kolonial dengan penduduk pribumi yang dikuasai, dan antara pihak negara jajahan dengan negara induknya.
Ciri pokok hubungan hubungan kolonial pada dasarnya berpangkal pada prinsip dominasi, eksploitasi, diskriminasi, dan depedensi. Prinsip ini sangat kental sekali dalam pola pertanian tanaman pangan dan tanaman ekspor selama periode kolonial. Hal ini dikarenakan gerakan kolonialisme yang didukung oleh perkembangan kapitalisme agraris Barat, memandang tanah jajahan sebagai sumber kekayaan bagi negara induk. Tersedianya tanah dan tenga kerja murah yang melimpah di tanah jajahan memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi produksi pertanian yang menguntungkan bagi pasaran dunia. Eksploitasi yang dilakukan telah menyebabkan berbagai reaksi ketidakpuasan dari petani. Mereka menuntut dan menghendaki perbaikan tingkat kehidupan. Akan tetapi karena tekanan yang begitu besar maka cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki hajat hidupnya adalah dengan melakukan gerakan-gerakan perlawanan terhadap penguasa, baik penguasa tradisional maupun kolonial.
B. Latar Belakang Munculnya Perlawanan Petani di Jawa
Dalam perjalanan bangsa Indonesia, konflik pertanahan yang bercorak agraris ini selalu ada dan tidak pernah terlewatkan. Dari masa ke masa, kasus-kasus menyangkut sengketa tanah selalu bermunculan, yang seringkali menempatkan rakyat dalam posisi berhadapan dengan penguasa. Dalam posisi seperti itu, radikalisasi massa menjadi satu-satunya aksi perlawanan. Sejak jaman Majapahit sudah dimulai proyek-proyek besar untuk membuka tanah dan membangun sarana perairan dengan menggunakan alat-alat dari besi. Oleh karena itu, pada masa Majapahit salah satu konsekuensi yang diharapkan dari sebuah perlindungan raja adalah pemberian alat-alat petani oleh pemerintah. Untuk membuktikan pernyataan tersebut ada beberapa prasasti yang menyebutkan alat pertanian diantara hadiah yang diberikan raja pada waktu pensucian sima atau upacara pendirian desa baru. Prasasti tersebut diantaranya adalah Prasasti Lintakan (919) yang menjelaskan secara rinci alat-alat besi ataupun alat kuningan yang diberikan oleh pendiri desa kepada sebuah masyarakat baru. Akan tetapi pada masa itu budidaya padi masih berkembang lamban, dalam hal ini daerah persawahan masih merupakan kantung yang terbatas dan dibuka ditengah-tengah hutan.
Disekililing kantung tersebut masih memeiliki hutan yang lebat. Dalam syair yang diungkapkan oleh Mpu Prapanca meyebutkan bahwa tata agraris pada masa Majapahit telah mengalmi perkembangan yang sempurna, namun semenjak abad 15 dan 16 negara agraris Majapahit ini mengalami kemunduran sampai akhirnya tata agraris yang telah dibentuk hilang untuk beberapa waktu. Penyebab runtuhnya tata agraris ini dapat disebabkan oleh adanya perubahan hubungan antara raja dan kaum rohaniwan. Raja pada awalnya telah memberikan hak istimewa terhadap para rohanwan dengan imbalan kekuasaan mereka semakin dkuatkan dengan hadirnya para tokoh agama ini. Akan tetapi otonomi yang diberikan kepada para rohaniwan terutama setelah diberlakukan sistem sima maka wilayah yang masih berada di sekitar kerajaan masih menjadi hak milik raja, namun wilayah yang jauh di luar jangkauan raja secara syah menjadi milik para rohanwan. Dengan system yang berlaku pada waktu itu dapat disimpulkan bahwa memag sejak abad 15 bahkan jauh sbebelumnya kaum rohaniwan sudah menunggu tanah tanpa menunggu izin dari raja.
Sebelumnya yaitu pada sekitar abad ke- 14 keadaaan agraris di Majapahit sedikit mengalami perubahan yaitu terdapat sejumlah lungguh besar yang berada di bawah kekuasaan langsung para bangsawan. Walaupun bangsawan tersebut merupakan keluarga raja, mereka mempunyai kekuasaan nyata di daerah tersebut, bahkan mereke menyandang namanya. Swastanisasi di bidang pertanian juga mulai terasa di bidang pertanian, awalnya hanya dikenal mula-mula pada taraf desa dengan hak istimewa raja untuk mwmungut pajak. Yang menjadi hak petani adalah panen sebagai hasil dari pekerjaannya.
Selanjutnya pada masa Mataram politik agraris raja-raja mataram kurang meyakinkan, meskipun disisi lain dalam bidang agraris relatif cukup mendapat perhatian. Dari laporan duta van Goens dari Semarang ke Mataram menyebutkan bahwa wilayah persawahan di setiap jalan yang dilewatinya relatif sangat luas terutama di gerbang Silimbi yang merupakan pintu masuk Mataram. Terdapat pula petunjuk lain yang menyatakan bahwa pertanian di Mataram mengalami kemajuan yang pesat yaitu berkurangnya kawasan hutan bahkan kawasan-kawasan tertentu hampir hilang sama sekali. Pada perkembangan selanjutnya, Mataram mengalami kegagalan dalam mewujudkan kesatuan Jawa yang sudah menjadi cita-cita sejak raja pertama. Namun kegagalan dalam bidang politik sedikit banyak dapat diimbangi oleh kesuksesan dalam bidang pertanian (ekonomi). Mulai tahun 1755 samai dengan 1825 Mataram mengalami masa perdamaian dengan produksi pertanian yang bertambah banyak dan kesejahteraan umum yang bertambah baik. Dampak yang ditimbulkan jelas adalah berkurangnya fungsi hutan karena digunakan untuk lahan pertanian. Pertumbuhan ekonomi ini juga dibarengi dengan pertambahan jumlah penduduk yang cukup berarti. Dengan dikuasainya sebagian wilayah Mataram maka perkembangan agraris bukan hanya meliputi wilayah persawahan yang luas tetapi juga terdapat perkebunan besar dengan hal ini maka muncul golongan-golongan yang diantaranya adalah munculya para sikep.
Memang dalam realita kehidupan yang terjadi dalam lembaran sejarah di Indonesia petani sering kali menjadi objek eksploitasi oleh pemerintah kerajaan dan setelah pemerintah kolonial masuk eksploitasi terhadap mereka semakin besar. Sejak tahun 1800-an pemerintah kolonial merubah cara eksploitasi dari cara lama yang konservatif yaitu diatangan VOC mejadi pengelolaan modern dibawah pemerintah dan swasta. Eksploitasi modern ini memusatkan pada pemanfaatan faktor produksi yang utama di Indonesia yaitu tanah dan tenaga kerja. Dengan tersedianya faktor produksi tersebut maka pemerintah mengganti tanaman tradisional (traditional corp) menjadi tanaman perdagangan (comersial corp) yang berarti membuka lalu lintas Jawa bagi lalu lintas dunia.
untuk mendapatkan komoditas ekspor sebanyak-banyaknya dengan harapan keuntungan sebesar-besarnya pemerintah mengatur dengan cara modern yaitu melalui birokrasi modern dengan aparaturnya. Pemerintah memanfaatkan asset utama yaitu tanah, karena itu masa awal pemerintah kolonial (1800-1830) menarik pajak tanah dari petani. Selain pajak tanah juga diberlakukan sistem swastanisasi oleh perusahaan swasta. Namun karena upaya tersebut belum dapat mendapatkan asset yang besar maka semenjak tahun 1830 diterapkan sistem tanam paksa di Hindia Belanda. Sejak berlakunya sistem tanam paksa yang diikuti dengan sistem liberal dan sistem etis maka eksploitasi agraris semakin intensif dan kebanyakan petani mengalami penderitaan.
Dengan diperkenalkannya tanaman komersial maka maka mulai masuknya pengaruh perkebunan ke pedesaan-pedesaan Jawa, bukan hanya kelembagaannya saja tetapi sistemnya sehingga lembaga-lembaga tradisional fungsinya semakin terdesak. Sebelum mnunculnya perkebunan kehidupan para petani relatif lebih baik karena ada keseimbangan antara pendapatan dan pajak, namun setelah datangnya perkebunan para petani ini tidak bisa bebas untuk mengelola tanah tetapi justru lebih banyak dituntut untuk bekerja di perkebunan. Para petani menjadi hidupnya sangat bergantung pada perkebunan, dengan demikian sistem monetisasi mulai berkembang dengan adanya upah kerja.
Tanaman ekspor adalah tanaman pertanian dengan hasil tanaman dagang, seperti tebu, kopi, tembakau, dan lainnya, sedangkan pertanian tradisional adalah tanaman pertanian dengan hasil tanaman sebagai pemenuhan kebutuhan pokok (subsisten), seperti palawija, padi, buah-buahan, atau sayur-sayuran. Karena itu kehadiran sistem perkebunan dengan orientasi utama tanaman perkebunan pada lingkungan masyarakat agraris tradisional di tanah jajahan seperti di Indonesia dianggap telah menciptakan tipe perekonomian kantong (enklave economics) yang bersifat dualistis (dualistic economy). Kehadiran perkebunan telah digambarkan telah menciptakan sektor perekonomian “modern”, yang berorientasi ekspor dan pasaran dunia, ditengah-tengah lingkungan komunitas sektor perekonomian “tradisional” atau “subsisten”. Sektor modern dan tradisonal dalam kehidupan perekonomian negara-negara kolonial seperti Indonesia sering digambarkan seperti hubungan perekonomian ganda atau dualistis yang dikemukakan oleh J.H Boeke.
Menurut J.H Boeke di Indonesia terdapat dua sistem ekonomi sosial yang disebut sebagai “pra-kapitalisme dan “kapitalisme tinggi”. Sistem “pra-kapitalisme” sama dengan rumah tangga desa yang memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak mengenal lalulintas (ekonomi) dan menganggap rumah tangga pedesaan di Indonesia sebagai pedesaan yang kolot yang hanya memenuhi kebutuhan sendiri dan menutup diri dari lalulintas ekonomi serta tidak mengenal uang. Lalulintas uang desa dan perdagangan hanya hanya beredar dalam batasan desa. Sementara kapitalisme tinggi terdiri atas perusahaan-perusahaan Barat yang besar dan modern. Lalulintas uang dan perdagangan dualistis menyangkut hubungan antara desa yang sifatnya pra-kapitalis dengan lingkungan yang sifatnya kapitalis tinggi.
Teori J.H Boeke ini dengan jelas mengambarkan bahwa munculnya sistem perkebunan dan budidaya tanaman ekspor menimbulkan masuknya golongan kapitalis, yaitu tampilnya pengusaha-pengusaha Eropa untuk mengelola industri perkebunan dan golongan buruh yang terdiri dari golongan pribumi. Kondisi ini memunculkan bentuk pertanian baru, yaitu pertanian tanaman pangan yang harus berdampingan dengan pertanian tanaman ekspor. Dalam kepemilikan tanah petani harus berkompetisi dengan para kapitalis Belanda. Persaingan yang terjadi adalah persaingan yang tidak seimbang karena pihak penguasa Hindia Belanda memiliki modal dan dukungan politik yang kuat.
Membanjirnya arus perkebunan ke pedesaan telah mendesak berbagai keadaan. Lembaga tradisional mulai terdesak keberadaannya begitu pula dengan kehidupan sosial petani yang mulai terancam. Dalam masyarakat Indonesia terutama Jawa terdapat hubungan antara patron-klien atau dapat diartikan sebagai konsepsi gusti-kawula yaitu raja sebagai patron dan rakyat sebagai klien. Raja bertindak sebagai patron bertindak sebagai penguasa wilayah sekaligus sebagai penguasa politik. Kedudukan raja sebagai penguasa wilayah ditunjukkan dengan kepemilikan tanah. Disisi lain rakyat sebagai klien yang mempunyai hubungan harmonis karena keduanya saling memerlukan bantuan. Fungsi patron sendiri adalah melindungi dan berusaha agar kebutuhan rakyat terpenuhi, dan hidup tenteram di lingkungan luar maupun dalam kerajaan. Memang pada dasarnya patron mempunyai kesempatan besar untuk melakukan eksploitasi terhadap rakyat akan tetapi biasanya raja membatasi tindakannya agar tidak dianggap sewenang-wenang.
Dengan dibukanya tanah partikelir untuk perkebunan di Jawa maka terjadilah pergantian patron. Dengan demikian kedudukan raja diganti oleh patron baru yaitu para penyewa tanah. Kebijakan politik yang dilakukan oleh penyewa adalah dengan mengeluarkan peraturan yang diperkuat oleh sanksi pidana yang dilegalisasikan oleh pemerintah. Para penyewa tanah ini mendapatkan backing dari pemerintah untuk merealisasikan tindakannya. Selain itu peraturan yang dibuat merugikan dan mengikat rakyat yaitu agar rakyat mensuplai tanah dan tenaga kerja semaksimal mungkin. Pada perkembangan selanjutnya para kepala desa tidak lagi berorientasi pada patron tetapi pada pemilik perkebunan, mereka telah menjadi handlanger pabrik dan perkebunan. Para patron baru ini biasanya mendapatkan bagian hasil pertanian yang lebih besar, selain itu patron juga menuntut upeti dan pajak dari rakyat berupa natura, uang, dan tenaga kerja, dan pajak insindental yang jumlahnya tidak terbatas dan berdasarkan situasi. Terdapat pula para patron yang menintimidasi kebudayaan setempat agar ia tetap kokoh dan memiliki kuasa dan wibawa seperti penguasa tradisiona. Sebagai contohnya di Surakarta Dezentje yang membuat rumah dan hidup layaknya bangsawan Jawa dalam hidup dan kebiasaannya
Di pedesaan terjadi pula kelompok yang menduduki stratifikasi sosial lebih tinggi yaitu oleh para sikep dan kuli kenceng erhadap kuli lain yang lebih rendah kedudukannya. Oleh karena itu para petani rendahan tidak mempunyai posisi tawar sehingga kehidupannya hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten. Kehidupan petani lebih berat lagi di tanah partikelir karena harus membayar pajak dan layanan yang disebut dengan cuke. Sebenarnya besarnya cuke adalah seperlima dari jumlah panen akan tetapi dalam prakteknya sering kali jumlah punggutannya jauh lebih besar. Selain itu, petani juga dikenakan layanan kerja yang disebut dengan kompenian yaitu kerja wajib yang dilakukan lima hari dalam sebulan, garol yaitu kerja wajib tiga hari setiap bulan, dan kemit yaitu tugas jaga (ronda). Tidak jauh dengan di tanah partkelir, di tanah di wilayah vorstenlanden juga mengalami hal yang sama yaitu pendapatannya setelah dikurangi oleh biaya produksi termasuk pajak, penyerahan wajib, dan sumbangan.
Praktek perkebunan memang tidak memberikan hak hidup bagi petani. Perkebunan telah menelan tanah dan tenaga kerja mereka yang berimbas pada penderitaan para petani. Makin buruknya kehidupan sosial ekonomi petani karena makin kuatnya desakan perkebunan menimbulkan perasaan tidak puas petani. Ketidakpuasan ini kemudian dimunculkan dalam tindakan secara tradisional yang prinsipnya adalah balance and power yaitu dengan kekuatan merebut kekuatan miliknya dari tangan perkebunan. Hal tersebut banyak dilakukan dengan berbagai tindakan yaitu diantaranya tindakan destruktif dan kriminal seperti halnya pembakaran, pencurian, dan pembunuhan.

C. Bentuk-Bentuk Perlawanan Petani
Dalam catatan sejarah, segenap bentuk perlawanan massa yang berkaitan dengan persoalan agraria tidak lepas dari corak pemerintahan yang tengah berkuasa saat itu. Hal demikian dimungkinkan, mengingat pertanahan acapkali menjadi bagian dari perpolitikan, sebagai alat bagi kepentingan penguasa. Di sisi lain, upaya perlawanan pun tidak terjadi dengan sendirinya, sebagai letupan emosi spontan para petani. Di balik aksi tersebut, keberadaan pihak-pihak yang bersimpati pada penderitaan petani mampu memberikan akses dan bahkan mewujudkan perlawanan tersebut. Beberapa kesan seperti ini begitu kental terlihat dalam berbagai kasus sengketa pertanahan. Diantaranya pemberontakan petani Banten dan berbagai kasus perbanditan sosial dalam masyarakat petani pedesaan.
Untuk kasus pemberontakan atau perlawanan petani di Banten mulai muncul ketika tahun 1808, Daendels mengapuskan tanah-tanah milik sultan lalu memungut seperlima bagian dari hasil panen sebagai pajak tanah untuk seluruh daerah dataran rendah di Banten. Beberapa tahun kemudian Raffles menjadikan sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah. Pemegang-pemegang hak atas tanah menerima ganti rugi atas kehilangan pendapatan dari upeti dan kerja bakti. Namun, hal ini justru memunculkan peluang-peluang pamongpraja untuk melakukan korupsi. Disinilah kemudian timbul suatu konflik kepentingan yang mencekam masyarakat Banten sampai meletusnya pemberontakan. Hubungan antara kaum petani dan elite sudah ditandai oleh konflik-konflik kepentingan yang ada dan dicetuskan oleh pembaharuan-pembaharuan dalam bidang perekonomian agraris. Perpecahan-perpecahan sosial itu dipergawat oleh persoalan-persoalan lain yang berhubungan dengan kerja-kerja bakti yang diwajibkan. Serta efek yang mengganggu dari penetrasi perekonomian uang sudah mulai dirasakan mengakibatkan pemindahan hak atas tanah dan pemusatan pemilikan tanah.
Proses perubahan yang menyertai masuknya budaya barat secara progresif telah melahirkan golongan-golongan sosial baru dan menyebabkan re-stratifikasi sosial dalam masyarakat Banten. Pada mulanya, hirarki status sosial tradisional terdiri atas kelas-kelas sebagai berikut :
1. Sultan dan golongan kerabat sultan, yang terdiri atas bangsawan tinggi dan bangsawan rendah.
2. Pejabat-pejabat tinggi yang pada mulanya merupakan pengikut-pengikut pribadi sultan.
3. Golongan mardika atau kaum yang terdiri atas orang-orang yang sukarela masuk Islam.
4. Kaum abdi atau hamba, yakni mereka yang telah dikalahkan oleh penakluk-penakluk Islam dan dipaksa masuk Islam. Dalam kelas ini juga masuk golongan utangan, yakni mereka yang diwajibkan menjadi prajurit untuk memerangi bajak laut.
Masuknya penetrasi kolonial membuat kaum bangsawan yakni, aristrokat tradisional kemudian merosot kedudukannya dan menjadi miskin karena tidak mempunyai kekuasaan politik lagi meskipun masih memiliki prestise sosial.
Di dalam struktur negara tradisional kekuasaan sultanlah yang mempunyai prerogratif baik dalam urusan politik maupun urusan agama. Langsung dibawah sultan adalah pangeran anggota keluarga sultan dan bangsawan lainnya. Diantara mereka ada yang bertugas mengawasi pasukan pengawal keraton dan budak-budak, akan tetapi sebagai anggota-anggota golongan sultan biasanya mereka tidak dimasukkan dalam organisasi administratif. Bagian adminstratif diserahkan kepada rakyat biasa yang cakap. Meskipun demikian ikatan-ikatan kekerabatan sering digunakan untuk mempererat hubungan antara sultan sebagai patron dan rakyat sebagai klien untuk memudahkan seseorang memperoleh jabatan. Akhirnya, yang menduduki jabatan birokrasi tetaplah kerabat-kerabat sultan. Dengan diberlakukannya administrasi barat sistem itu mulai mengalami perubahan berangsur-angsur tetapi tetap mendasar. Pemberlakuan sistem administrasi modern membutuhkan orang-orang yang benar-benar cakap dalam tugasnya. Sebagai permulaan, pemerintah kolonial memang masih menggunakan aristokrasi tradisional untuk menjembatani pemerintahan kolonial dan rakyat. Namun, karena mereka cenderung tidak efektif dan korupsi dalam menjalankan tugas maka pemerintah kolonial membuka kesempatan bagi rakyat biasa untuk menduduki jabattan administrasi.
Dalam menghadapi disintegrasi sosial kaum aristrokat tradisional pada akhirnya bekerjasama dengan petani untuk melancarkan pemberontakan terhadap penetrasi sistem-sistem barat. Semakin meningkatnya pengawasan politik oleh Belanda telah menimbulkan rasa tersingkir dan frustasi dari kalangan elite agama hingga akhirnya mengadakan persekutuan dengan dua golongan sebelumnya. Golongan baru yang dapat diidentifikasikan sebagai aristokrat modern terdiri atas pegawai negeri atau birokrat. Golongan itu muncul bersamaan dengan ekspansi administrasi Belanda sebagai golongan elit baru yang menganjurkan modernisasi sementara mereka sendiri tetap berpegang pada nilai tradisional. Arisktokrasi lama melihat dalam perkembangan ini satu kesempatan untuk mempertahankan prestise dan pengaruh sosialnya, sementara mereka berusaha memulihkan kedudukan mereka dengan jalan memperkuat afinitasnya dengan elite baru. Meskipun perlawanan tersebut dapat dipadamkan tetapi paling tidak telah membuktikan bahwa ada tantangan dan tanggapan, yaitu reaksi rakyat terutama petani pedesaan untuk menghadapi berbagai tekanan baik dari pemerintah colonial maupun para elit politik setempat.
Bentuk perlawanan petani ini juga dapat terlihat dari bentuk gerakan resistensi petani yang dipimpin oleh dua orang tokoh, Entong Tolo dan Entong Gendut dikenal sebagai pemimpin bandit sosial yang bercampur motivasi politik di salah satu distrik Jatinegara. Mereka dikenal sebagai “Robin Hood” Batavia yang anti tuan tanah. Entong Tolo 50 tahun seorang pedagang asal Pondok Gede kemudian pindah ke Pagerarang, Jatinegara. Dalam situasi masyarakat yang tidak menentu Entong Tolo mengambil keuntungan, dia membantu petani yang tinggal di tanah partikelir yang menderita karena tekanan berbagai pajak. Polisi agak kewalahan memenjarakan Tolo karena tidak mempunyai bukti. Akhirnya dia ditangkap pemerintah pada bulan November 1908. Dua anak Entong Tolo, yang pertama dihukum kerja paksa di Bekasi tahun 1904 dan anak kedua di hukum karena menjadi penyamun.
Perbanditan Entong Gendut terjadi pada tahun 1916, dia meneriakkan suara ketidakpuasan petani di tanah partikelir Tanjung Timur, Asisten Wedana Pasar Rebo, Afdeling Jatinegara. Resistensi petani di tanah partikelir ini kemudian berkembang menjadi gerakan Quasi-Religius. Entong Gendut menghalangi eksekusi penduduk Batuampar dan Balekambang, Condet yang tidak melunasi hutang dan kewajiban mereka terhadap tuan tanah. Pengikut Entong Gendut bertambah banyak dan ia menyebut dirinya Raja Muda yang dibantu delapan orang patih. Perbanditan Entong Gendut pada dasarnya adalah perbedaan kepentingan yang bermaksud melindungi petani dari penghisapan dan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah yang membakar rumah mereka, keberanian para bandit itu diikat oleh nilai religious.
Terjadi pula perlawanan petani dengan orientasi utama adalah anti tuan tanah partikelir. Gerakan ini dipimpin oleh seorang pemimpin bernama Kaiin Bapa Kayah dari desa pangkalan mempunyai tujuan untuk membebaskan penduduk dari cengkeraman tuan tanah Cina. Dia seorang petani kecil seperti umumnya petani Tangerang, status petaninya sebagai bujang sawah (buruh) dan pernah menjadi petani bagi hasil. Rumahnya didirikan di pekarangan kakak perempuannya dan uang kompenian tidak pernah dibayar dengan baik. Dia pernah menjadi mandor , opas Asisten Wedana Teluknaga dan kemudian pindah ke Batavia menjadi opas komisaris polisi. Kaiin Bapa Kayah memimpin untuk mengusir Cina dan merampas tanahnya, karena menurut mereka tanah Pangkalan adalah milik mereka sejak leluhurnya. Resistensi petani di wilayah lainnya juga banyak dilakukan dengan cara pembakaran terhadap lahan perkebunan. Pembakaran tebu dan los tembakau dan sejenisnya banyak terjadi di daerah Surakarta. Namun demikian laporan colonial tidak member porsi yang wajar terhadap resistensi petani berupa pembakaran.
Contoh lain dari reaksi petani terhadap kondisi masyarakat kolonial dapat dilihat dari gerakan masyarakat Samin. Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih. Gerakan Samin ini dipimpin oleh tokoh yang bernama Surantika Samin (1859-1914). Gerakan ini muncul di wilayah Blora yang kurang subur dimana pemerintah kolonial Belanda menganti pertanian tradisional dengan perkebunan jati.
D. Kesimpulan
Dalam catatan sejarah bentuk perlawanan massa yang berkaitan dengan persoalan agraria tidak lepas dari corak pemerintahan yang tengah berkuasa saat itu. Hal demikian dimungkinkan, mengingat pertanahan acapkali menjadi bagian dari perpolitikan, sebagai alat bagi kepentingan penguasa. Di sisi lain, upaya perlawanan pun tidak terjadi dengan sendirinya, sebagai letupan emosi spontan para petani. Di balik aksi tersebut, keberadaan pihak-pihak yang bersimpati pada penderitaan petani mampu memberikan akses dan bahkan mewujudkan perlawanan tersebut. Beberapa kesan seperti ini begitu kental terlihat dalam berbagai kasus sengketa pertanahan. Pada era kolonialisme, kebijakan tanam paksa dan penerapan pajak tanah merupakan awal dari tertanamnya rasa kebencian masyarakat, terutama bagi mereka yang berada jauh dari lingkaran kekuasaan. Bentuk-bentuk paksaan dan pungutan yang sangat eksploitatif ini dianggap merusak sistem pemilikan tanah di pedesaan. Dalam sekejap, tanah rakyat menjadi semakin terfragmentasi, menyusut dan membuat kehidupan ekonomi petani semakin melarat.
Perubahan konstelasi politik pemerintah kolonial Belanda dari kaum konservatif kepada kalangan liberal tidak memberikan kemajuan yang berarti bagi rakyat. Dihapusnya sistem tanam paksa, lahirnya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870, justru melahirkan bentuk penderitaan baru. Pada saat inilah para pemodal asing, terutama pengusaha Belanda, memiliki kesempatan luas menggunakan lahan untuk berusaha perkebunan tanaman ekspor. Dengan mudah para kapitalis asing ini memperoleh hak penguasaan tanah dengan jangka waktu tidak terbatas di lingkungan kota (hak Eigendom), hak sewa tanah turun-temurun untuk menjalankan usaha (hak Erfpacht), hak konsensi, maupun hak sewa jangka pendek.
Meskipun Agrarische Wet diberlakukan, di sisi lain keberadaan hukum adat pun tetap diakui. Artinya, pihak penguasa memberikan pengakuan terhadap keberadaan para tuan tanah, kaum feodal lama. Berbagai pihak memandang kebijakan tersebut dipertahankan dengan sengaja, yaitu secara tidak langsung dapat dijadikan alat untuk melanggengkan langkah pengusaha perkebunan asing dalam memperoleh lahan maupun tenaga kerja. Kebijakan ini dirasakan semakin mengikat rakyat, para petani kecil. Berbagai faktor itulah yang kemudian menyebabkan banyaknya perlawanan rakyat terhadap para penguasa.
E. Daftar Putaka
Boeke, J.H dan D.H Burger. 1973. Ekonomi Dualistis: Dialog Antara Boeke dan Burger. Jakarta: Bhratara.
Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaankerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
Sartono Kartodirdjo. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka jaya. 1984.
Suhartono. Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis 1850-1942 di Jawa.1993. Yogyakarta: aditya Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar